Keraton Surakarta Hadiningrat: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k Bot: Penggantian teks otomatis (-Pranala Luar +Pranala luar) |
k clean up, replaced: cinderamata → cenderamata using AWB |
||
Baris 1:
[[Berkas:Radyalaksana The Emblem of Surakarta Kingdom.svg|thumb|200px|right|''Sri Radya Laksana'', lambang [[Kasunanan Surakarta]].]]
'''Keraton Surakarta''' ([[Bahasa Jawa]]: [[Hanacaraka]], {{jav|ꦑꦼꦫꦡꦺꦴꦟ꧀ꦯꦸꦫꦑꦂꦡꦲꦢꦶꦟꦶꦁꦫꦡ꧀}}, ''Karaton Surakarta Hadiningrat'') adalah [[keraton|istana]] resmi [[Kasunanan Surakarta]] yang terletak di Kota [[Surakarta]], [[Jawa Tengah]]. Keraton ini didirikan oleh [[Pakubuwana II|Susuhunan Pakubuwana II]] pada tahun [[1744]] sebagai pengganti Istana/Keraton Kartasura yang porak-poranda akibat [[Geger Pecinan]] [[1743]].
Walaupun [[Kasunanan Surakarta]] tersebut secara resmi telah menjadi bagian [[Republik Indonesia]] sejak tahun [[1945]], kompleks bangunan keraton ini masih berfungsi sebagai tempat tinggal Sri Sunan dan rumah tangga istananya yang masih menjalankan tradisi kerajaan hingga saat ini. Keraton ini kini juga merupakan salah satu objek wisata utama di Kota [[Surakarta]]. Sebagian kompleks keraton merupakan [[Museum Keraton Solo|museum]] yang menyimpan berbagai koleksi milik kasunanan, termasuk berbagai pemberian dari raja-raja [[Eropa]], replika pusaka keraton, dan [[gamelan]]. Dari segi bangunannya, keraton ini merupakan contoh arsitektur istana Jawa tradisional yang terbaik.
Baris 9:
[[Kesultanan Mataram]] yang kacau akibat pemberontakan [[Trunajaya]] tahun [[1677]] ibukotanya oleh [[Sunan Amral|Susuhunan Amangkurat II]] dipindahkan di [[Kasunanan Kartasura|Kartasura]]. Pada masa [[Pakubuwana II|Susuhunan Pakubuwana II]] memegang tampuk pemerintahan, Mataram mendapat serbuan dari pemberontakan orang-orang [[Tionghoa]] yang mendapat dukungan dari orang-orang [[Jawa]] anti [[VOC]] tahun [[1742]], dan Mataram yang berpusat di [[Kartasura]] saat itu mengalami keruntuhannya. Kota Kartasura berhasil direbut kembali berkat bantuan Adipati [[Cakraningrat IV]], penguasa Madura Barat yang merupakan sekutu VOC, namun keadaannya sudah rusak parah. [[Pakubuwana II|Susuhunan Pakubuwana II]] yang menyingkir ke [[Ponorogo]], kemudian memutuskan untuk membangun istana baru di Desa Sala sebagai ibukota Mataram yang baru.
Bangunan Keraton Kartasura yang sudah hancur dan dianggap "tercemar". [[Pakubuwana II|Susuhunan Pakubuwana II]] lalu memerintahkan Tumenggung Hanggawangsa bersama Tumenggung Mangkuyudha, serta komandan pasukan Belanda, J.A.B. van Hohendorff, untuk mencari lokasi [[ibu kota]]/[[keraton]] yang baru. Untuk itu dibangunlah keraton baru berjarak 20
Setelah istana kerajaan selesai dibangun, nama Desa Sala kemudian diubah menjadi '''Surakarta Hadiningrat'''. Istana ini pula menjadi saksi bisu penyerahan kedaulatan [[Kesultanan Mataram]] oleh [[Pakubuwana II|Susuhunan Pakubuwana II]] kepada [[VOC]] pada tahun [[1749]]. Setelah [[Perjanjian Giyanti]] tahun [[1755]], keraton ini kemudian dijadikan istana resmi bagi [[Kasunanan Surakarta]].
Baris 23:
[[Berkas:Sasana sumewa.jpg|thumb|right|Pagelaran Sasana Sumewa.]]
[[Berkas:Sasana Sumewa.jpg|thumb|right|Bagian dalam Pagelaran Sasana Sumewa.]]
Kompleks ini meliputi ''Gladag'', ''Pangurakan'', ''Alun-alun Lor'', dan [[Masjid Agung Surakarta]]. ''Gladag'' yang sekarang dikenal dengan Perempatan Gladag di [[Jalan Slamet Riyadi (Surakarta)|Jalan Slamet Riyadi]] [[Surakarta]]. Pada zaman dahulu, ''space area'' di sekitar ''Gladag'' dan gapura kedua dipakai sebagai tempat menyimpan binatang hasil buruan sebelum ''digladag'' (dipaksa) dan disembelih di tempat penyembelihan. Wujud arsitektur pada kawasan ''Gladag'' ini mengandung arti simbolis ajaran langkah pertama dalam usaha seseorang untuk mencapai tujuan ke arah ''Manunggaling Kawula Gusti'' (Bersatunya Rakyat dengan Raja). Alun-alun merupakan tempat diselenggarakannya upacara-upacara kerajaan yang melibatkan rakyat. Selain itu alun-alun menjadi tempat bertemunya Sri Sunan dan rakyatnya. Di pinggir alun-alun ditanami sejumlah pohon beringin. Di tengah-tengah alun-alun terdapat dua batang pohon beringin (''Ficus benjamina''; Famili ''Moraceae'') yang diberi pagar. Kedua batang pohon ini disebut ''Waringin Sengkeran'' (harfiah = beringin yang dikurung) yang diberi nama ''Dewadaru'' dan ''Jayadaru''.
Di sebelah barat alun-alun utara berdiri [[Masjid Agung Surakarta]]. Masjid raya ini merupakan masjid resmi kerajaan dan didirikan oleh [[Pakubuwana III|Susuhunan Pakubuwana III]] pada tahun [[1750]] ([[Kasunanan Surakarta]] merupakan kerajaan [[Islam]]). Bangunan utamanya terdiri dari atas serambi dan masjid induk. Di sebelah utara alun-alun terdapat bangsal kecil yang disebut ''Bale Pewatangan'' dan ''Bale Pekapalan''. Tempat ini pada zaman dahulu dipergunakan oleh prajurit dan kudanya untuk beristiahat setelah berlatih. Beberapa balai lain terdapat disekitar alun-alun yang dipergunakan untuk karyawan-karyawan keraton menempatkan kudanya. Tempat menambatkan kuda sudah tidak dapat dijumpai lagi saat ini. Bangunan-bangunan lain di sekeliling alun-alun sekarang dipergunakan sebagai kios penjual
=== Kompleks Sasana Sumewa dan Kompleks Siti Hinggil Lor/Utara ===
Baris 45:
''Kori Brajanala'' (Kori Brojonolo) atau ''Kori Gapit'' merupakan pintu gerbang masuk utama dari arah utara ke dalam halaman ''Kamandungan Lor''. Gerbang ini sekaligus menjadi gerbang ''cepuri'' (kompleks dalam istana yang dilingkungi oleh dinding istana yang disebut ''baluwarti'') yang menghubungkan Jalan Supit Urang dengan halaman dalam istana dan [[Baluwarti, Pasar Kliwon, Surakarta|Kawasan Baluwarti]]. Gerbang ini dibangun oleh [[Pakubuwana III|Susuhunan Pakubuwana III]] dengan gaya ''Semar Tinandu''. ''Semar Tinandu'' merupakan gerbang yang memiliki atap trapesium, seperti joglo, tanpa tiang dan hanya ditopang oleh dinding yang menjadi pemisah satu kompleks dengan kompleks berikutnya.
Di sisi kanan dan kiri (barat dan timur) dari ''Kori Brajanala'' sebelah dalam terdapat ''Bangsal Wisamarta Tengen'' dan ''Bangsal Wisamarta Kiwa'', sementara di sisi luarnya (menghadap Jalan Supit Urang) terdapat ''Bangsal Brajanala Tengen'' dan ''Bangsal Brajanala Kiwa''. Masing-masing tempat ini berfungsi sebagai lokasi jaga pengawal istana. Selain itu di timur gerbang ini terdapat menara lonceng, dengan lonceng besarnya yang disebut ''Jam Panggung''. Di bagian atas pintu gerbang terdapat ''sengkalan memet'' berupa kulit sapi persegi, yang diartikan sebagai ''Lulang Sapi Siji'' atau ''Wolu Ilang Sapi Siji'', yang dibaca sebagai tahun [[1708]] [[Kalender Jawa|Jawa]] ([[1782]] [[Masehi]]) yang merupakan tahun pembangunan ''Kori Brajanala'' oleh [[Pakubuwana III|Susuhunan Pakubuwana III]]. Dari halaman ini pula dapat dilihat sebuah menara megah yang disebut dengan ''Panggung Sangga Buwana'' (Panggung Songgo Buwono/Menara Songgo Buwono) yang terletak di kompleks berikutnya, Kompleks ''Sri Manganti''.
Di tengah-tengah kompleks ini hanya terdapat halaman kosong, yang juga merupakan jalan yang biasa dilalui masyarakat umum. Bangunan yang terdapat dalam kompleks ini hanya di bagian tepi halaman. Di sisi timur dan barat halaman ini terdapat barak prajurit, yang pada zaman dulu untuk barak sisi timur digunakan oleh prajurit [[Kasunanan Surakarta]] dan barak sisi barat digunakan oleh prajurit [[KNIL]]. Sekarang bangunan-bangunan tersebut berfungsi sebagai kantor-kantor. Di masing-masing sisi halaman ''Kamandungan Lor'' terdapat dua gerbang untuk menuju ke kawasan dalam [[Baluwarti, Pasar Kliwon, Surakarta|Baluwarti]], masing-masing adalah ''Kori Gapit Wetan'' dan ''Kori Gapit Kulon''.
Baris 58:
Pada zamannya ''Bangsal Smarakatha'' digunakan untuk menghadap para pegawai menengah ke atas dengan pangkat ''Bupati Lebet'' ke atas. Tempat ini pula menjadi tempat penerimaan kenaikan pangkat para pejabat senior. Sekarang tempat ini digunakan untuk latihan menari dan mendalang. Kata ''asmarakatha'' sendiri memiliki arti sebagai ''dawuh kang nengsemake'' atau perkataan yang menyenangkan. Di bagian timur ''Bangsal Smarakatha'' terdapat koridor yang menghubungkan ''Kori Kamandungan Lor'' dengan ''Kori Sri Manganti Lor''.
''Bangsal Marcukundha'' pada zamannya digunakan untuk menghadap para opsir prajurit, untuk kenaikan pangkat pegawai dan pejabat junior, serta tempat untuk menjatuhkan vonis hukuman bagi kerabat Sri Sunan. Sekarang tempat ini untuk menyimpan ''Krobongan Madirengga'', sebuah tempat untuk upacara sunat/khitan para putra Sri Sunan. Selanjutnya, di sebelah timur bangunan tersebut terdapat sebuah ruang yang menghadap ke barat, yang digunakan sebagai ''Kantor Wedana''.
Di sisi barat daya ''Bangsal Marcukundha'' terdapat sebuah menara bersegi delapan yang disebut dengan ''Panggung Sangga Buwana''. Menara yang memiliki tinggi sekitar tiga puluh lima meter ini sebenarnya terletak di dua halaman sekaligus, yaitu pada halaman ''Sri Manganti'' dan halaman ''Kedaton''. Namun pintu utamanya terletak di halaman ''Kedaton''. Bagian selatan kompleks ini terdapat ''Kori Sri Manganti Lor'' yang menghubungkan Kompleks ''Sri Manganti'' dengan Kompleks ''Kedaton'' sebagai kawasan inti dari keraton secara keseluruhan.
Baris 66:
[[Berkas:Bangsal-maligi.jpg|thumb|right|240px|Bangsal Maligi tampak dari arah timur.]]
[[Berkas:Sasana sewaka.jpg|thumb|right|240px|Bagian dalam bangunan Pendapa Sasana Sewaka dilihat dari Paningrat sisi selatan.]]
''Kori Sri Manganti Lor'' menjadi pintu untuk memasuki kompleks ''Kedaton'' dari utara. Pintu gerbang yang dibangun oleh [[Pakubuwana IV|Susuhunan Pakubuwana IV]] pada tahun [[1792]] ini disebut juga dengan ''Kori Ageng''. Bangunan ini memiliki kaitan erat dengan ''Pangung Sangga Buwana'' secara filosofis. Pintu yang memiliki gaya ''Semar Tinandu'' ini digunakan untuk menunggu tamu-tamu resmi kerajaan. Bagian kanan dan kiri pintu ini dipasang beberapa cermin besar dan dihiasi oleh ragam hias berwarna putih-biru di atas pintu gerbang. Di sisi barat gerbang ini terdapat bangunan ''Nguntarasana'' (ruang tunggu para pangeran sebelum menghadap Sri Sunan) dan ''Kantor Sasana Wilapa''.
Halaman utama Kompleks ''Kedaton'' ini dialasi dengan pasir hitam dari pantai selatan dan ditumbuhi oleh 72 batang pohon sawo kecik (''Manilkara kauki''; Famili ''Sapotaceae'') yang ditanam atas prakarsa [[Pakubuwana IX|Susuhunan Pakubuwana IX]]. Selain itu halaman ini juga dihiasi dengan patung-patung bergaya eropa. Kompleks ini memiliki bangunan utama diantaranya adalah ''Sasana Sewaka'', ''Bangsal Maligi'', ''Dalem Ageng Prabasuyasa'' atau ''Dhatulaya'', ''Sasana Handrawina'', dan ''Panggung Sangga Buwana''. Pada halaman ini juga terdapat beberapa patung-patung bergaya [[Eropa]].
''Sasana Sewaka'' aslinya merupakan bangunan peninggalan pendapa Keraton Kartasura. Pada masa pemerintahan [[Pakubuwana XII|Susuhunan Pakubuwana XII]] tepatnya pada tahun [[1985]] tempat ini (bersama dengan ''Bangsal Maligi'', ''Dalem Ageng Prabasuyasa'', dan ''Sasana Handrawina'') pernah mengalami musibah kebakaran. Di bangunan ini pula Sri Sunan bertahta dalam upacara-upacara kebesaran kerajaan seperti ''tingalandalem jumenengan'' (peringatan hari kenaikan tahta) dan ulang tahun Sri Sunan. Pendapa besar ini dikelilingi oleh selasar pada masing-masing sisinya yang disebut ''Paningrat''. Pada selasar bagian selatan terdapat dua rangkaian gamelan yaitu ''Kyai Kadukmanis'' dan ''Kyai Manisrengga''. Di tengah-tengah bangunan terdapat lampu kristal rasaksa yang disebut ''Kyai Remeng''.
Di sebelah barat bangunan ''Sasana Sewaka'' terdapat ''Sasana Parasdya'', sebuah ''pringgitan'' atau tempat menggelar pertunjukan wayang kulit. Di sebelah barat ''Sasana Parasdya'' terdapat ''Dalem Ageng Prabasuyasa'' (''praba'' = cahaya, ''suyasa'' = rumah/kediaman). Tempat ini merupakan bangunan inti dan terpenting dari seluruh bangunan yang ada di Keraton Surakarta. Di tempat inilah disemayamkan pusaka-pusaka kebesaran dan juga singgasana tahta (''Dhampar Kencana'') Sri Sunan serta regalia yang menjadi simbol kerajaan. Di lokasi ini pula Sri Sunan bersumpah ketika mulai bertahta sebelum upacara pemahkotaan dihadapan rakyat dan tamu undangan di ''Siti Hinggil Lor''. Di sisi timur ''Sasana Sewaka'' terdapat ''Bangsal Maligi'' yang dibangun pada masa pemerintahan [[Pakubuwana IX|Susuhunan Pakubuwana IX]] pada tahun [[1882]], berfungsi sebagai tempat mengkhitankan putra Sri Sunan dari permaisuri.
Bangunan berikutnya adalah ''Sasana Handrawina''. Tempat ini digunakan sebagai tempat perjamuan makan resmi kerajaan. Kini bangunan ini biasa digunakan sebagi tempat seminar maupun ''gala dinner'' tamu asing yang datang ke kota [[Surakarta]]. Di depan ''Sasana Handrawina'' terdapat tiga bangunan serupa bangsal yang berukuran kecil yaitu ''Bangsal Bujana'' (tempat menjamu pengikut tamu agung), ''Bangsal Pradangga'' (tempat memukul gamelan), dan ''Bangsal Musik'' (tempat memainkan musik moderen atau orkes). Pada bagian selatan ''Sasana Handrawina'' terdapat bangunan dua lantai yang disebut ''Sasana Pustaka'', perpustakaan istana yang berfungsi sebagai tempat menyimpan berbagai kitab kuno dan naskah-naskah kerajaan. Bangunan utama lainnya di kompleks ini adalah ''Panggung Sangga Buwana''. Menara ini digunakan sebagai tempat meditasi Sri Sunan sekaligus untuk mengawasi [[Benteng Vastenburg]] milik [[Belanda]] yang berada tidak jauh dari istana. Bangunan yang memiliki lima lantai ini juga digunakan untuk melihat posisi bulan untuk menentukan awal suatu bulan.
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Staatsiebed in de kraton van de Susuhunan van Solo Soerakarta TMnr 60001435.jpg|thumb|left|240px|Bagian dalam bangunan Dalem Ageng Prabasuyasa, dengan ''senthong'' atau ''petanen gading'' yang menghadap ke selatan (foto sekitar tahun [[1910]]-[[1930]]).]]
Baris 84:
Pada sisi timur Kompleks ''Kedaton'' terdapat [[Museum Keraton Solo|Museum Keraton Surakarta]] yang diresmikan pada masa pemerintahan [[Pakubuwana XII|Susuhunan Pakubuwana XII]]. Bangunan yang dijadikan museum tersebut merupakan bekas Kompleks ''Kadipaten'' atau ''Panti Pangarsa'', sebuah kawasan kantor-kantor urusan rumah tangga istana. Kantor-kantor yang terdapat dalam Kompleks ''Kadipaten'' adalah ''Bale Kretarta'' (Kantor Pemerintah Keraton), ''Reksa Hardana'' (Kantor Kas dan Keuangan Keraton), ''Sitaradya'' (Kantor Pembesar Pemerintah Keraton), ''Kantor Mandrasana'' (Kantor Urusan Kebutuhan Harian), ''Bale Karta'' (Kantor Urusan Perbelanjaan Keraton), serta ''Gedong Karyalaksana'' (tempat memasak). Pintu masuk utama kawasan museum ini terdapat di Jalan Sidikara (dari halaman ''Kamandungan Lor'' ke arah selatan melewati ''Kori Gapit Wetan''), sekaligus menjadi pintu masuk utama bagi wisatawan umum yang ingin menuju Kompleks ''Kedaton''.
Sebelah barat Kompleks ''Kedaton'' merupakan tempat tertutup bagi masyarakat umum dan jarang dipublikasikan sehingga tidak banyak yang mengetahui kepastian sesungguhnya. Kawasan ini juga melingkupi kawasan ''Karaton Kilen'' (harfiah = istana barat), yang merupakan tempat tinggal resmi Sri Sunan dan keluarga kerajaan yang masih digunakan hingga sekarang. Kawasan tertutup ini terhitung mulai dari sebelah barat dan selatan ''Dalem Ageng Prabasuyasa''. Di sebelah selatan bangunan ini terdapat ''Dalem Pakubuwanan'', sebagai kediaman permaisuri tertua Sri Sunan yang bertahta. Pada kawasan ''Pakubuwanan'' ini juga terdapat taman asri yang disebut ''Nganjarsari''. Di bagian selatan ''Pakubuwanan'' terdapat pendapa yang menghadap ke arah utara, dinamakan ''Pendapa Parankarsa'' yang berfungsi sebagai tempat bersantai Sri Sunan dan keluarganya.
Kompleks lain yang terdapat dalam kawasan tertutup ini adalah Kompleks ''Argapura'' atau ''Gunungan'', yang terletak di belakang ''Dalem Ageng Prabasuyasa''. Kawasan bukit buatan ini dikelilingi taman yang disebut ''Baleretna''. Fungsi dari kompleks ini adalah sebagai replika [[Meru|Gunung Meru]] (melambangkan pusat alam semesta) dalam [[mitologi]] [[Suku Jawa|Jawa]] [[Hindu|pra-Islam]] dan sebagai tempat Sri Sunan dan keluarganya berlidung jika sewaktu-waktu istana diserang musuh.
Baris 93:
[[Berkas:Pendopo Magangan Keraton Surakarta.jpg|thumb|left|Bangsal Magangan.]]
[[Berkas:Kori brojonolo kidul.jpg|thumb|left|Kori Brajanala Kidul.]]
Kompleks ''Magangan'' dahulunya digunakan oleh para calon pegawai kerajaan. Di tempat ini terdapat sebuah pendapa di tengah-tengah halaman yang disebut ''Bangsal Magangan'', yang dipugar pada masa pemerintahan [[Pakubuwana XIII|Susuhunan Pakubuwana XIII]]. Di sekeliling halaman ini ada bangunan-bangunan untuk menempatkan perlengkapan prajurit seperti keris, pedang, tombak, ''bedil'', pistol, dan pakaian seragam prajurit untuk upacara hari-hari besar kerajaan. Kompleks berikutnya, ''Sri Manganti Kidul''/Selatan dan ''Kamandungan Kidul''/Selatan hanyalah berupa halaman yang digunakan saat upacara pemakaman Sri Sunan maupun permaisuri. Di sekitar ''Kori Kamandungan Kidul'' adalah pelataran yang bersifat lebih terbuka untuk umum.
Kompleks terakhir, ''Siti Hinggil Kidul''/Selatan, memiliki sebuah bangunan kecil. Kini kompleks ini digunakan untuk memelihara pusaka keraton yang berupa sekawanan kerbau albino keturunan kerbau pusaka ''Kyai Slamet'' (hidup pada masa [[Pakubuwana II|Susuhunan Pakubuwana II]]). ''Kori Brajanala Kidul''/Selatan memberikan akses ke ''Siti Hinggil Kidul''. ''Siti Hinggil Kidul'' sendiri adalah suatu komplek bangunan pendapa terbuka, yang dikelilingi oleh barisan pagar besi pendek. Pada zaman dahulu di sekitarnya terdapat empat meriam, dua diantaranya kemudian diambil pemerintah untuk diletakkan di AMN [[Magelang]]. Berbeda dengan kompleks ''Siti Hinggil Lor'' yang megah, komplek ''Siti Hinggil Kidul'' dan bangunan maupun kori lain di sebelah selatan keraton berbentuk lebih sederhana dan dibuat dari material yang lebih sederhana pula.
Disebelah selatan ''Siti Hinggil Kidul'' dapat dijumpai ''Alun-alun Kidul''/Selatan, alun-alun ini bersifat lebih pribadi dibandingkan ''Alun-alun Lor''/Utara. ''Alun-alun Kidul'' dikelilingi oleh tembok benteng yang tinggi dan disekitarnya terdapat beberapa rumah bangsawan dan juga ''wong cilik'' yang mencari nafkah di area tersebut. Pada bagian ini, terdapat sebuah bangunan yang di dalamnya disemayamkan sebuah gerbong kereta yang digunakan untuk membawa jenazah [[Pakubuwana X|Susuhunan Pakubuwana X]] menuju ke pemakaman [[Pemakaman Imogiri|Astana Imogiri]].
Tembok yang mengelilingi alun-alun mempunyai pintu gerbang di tengah ujung selatan yang bernama ''Gapura Gading''. Gapura ini berbentuk gerbang candi bentar, seperti halnya ''Gapura Gladag''. Pada tahun [[1932]], [[Pakubuwana X|Susuhunan Pakubuwana X]], menambahkan pintu gerbang di sebelah selatan ''Gapura Gading'', dengan bentuk mengikuti bentuk gerbang masuk ''Alun-alun Kidul'' dari arah barat dan timur. Ketiga gerbang di ''Alun-alun Kidul'' ini dikenal dengan sebutan ''Tri Gapurendra''.
Baris 108:
=== Grebeg ===
''Upacara Garebeg'' atau ''Grebeg'' diselenggarakan tiga kali dalam satu tahun kalender/penanggalan Jawa yaitu pada tanggal dua belas bulan ''Mulud'' (bulan ketiga), tanggal satu bulan ''Sawal'' (bulan kesepuluh) dan tanggal sepuluh bulan ''Besar'' (bulan kedua belas). Pada hari hari tersebut Sri Sunan mengeluarkan sedekahnya sebagai perwujudan rasa syukur kepada [[Allah]] atas kemakmuran kerajaan. Sedekah ini, yang disebut dengan ''Hajad Dalem'', berupa ''pareden/gunungan'' yang terdiri dari ''gunungan kakung'' dan ''gunungan estri'' (lelaki dan perempuan).
''Gunungan kakung'' berbentuk seperti kerucut terpancung dengan ujung sebelah atas agak membulat. Sebagian besar gunungan ini terdiri dari sayuran kacang panjang yang berwarna hijau yang dirangkaikan dengan cabai merah, telur itik, dan beberapa perlengkapan makanan kering lainnya. Di sisi kanan dan kirinya dipasangi rangkaian [[bendera Indonesia]] dalam ukuran kecil. ''Gunungan estri'' berbentuk seperti keranjang bunga yang penuh dengan rangkaian bunga. Sebagian besar disusun dari makanan kering yang terbuat dari beras maupun beras ketan yang berbentuk lingkaran dan runcing. Gunungan ini juga dihiasi bendera Indonesia kecil di sebelah atasnya.
Baris 131:
Cermin besar di kanan dan kiri ''Kori Kamadungan'' mengadung makna introspeksi diri. Nama ''Kamandungan'' sendiri berasal dari kata ''mandung'' yang memiliki arti berhenti. Nama bangsal ''Marcukundha'' berasal dari kata ''Marcu'' yang berarti api dan ''kundha'' yang berarti wadah/tempat, sehingga kata ''Marcukundha'' berarti melambangkan suatu doa/harapan. Menara ''Panggung Sangga Buwana'' adalah simbol ''lingga'' dan ''Kori Sri Manganti'' di sebelah baratnya adalah simbol ''yoni''. Simbol Lingga-Yoni dalam masyarakat [[Suku Jawa|Jawa]] dipercaya sebagai suatu simbol kesuburan. Dalam upacara ''garebeg'' dikenal dengan adanya sedekah Sri Sunan yang berupa gunungan. Gunungan tersebut melambangkan sedekah yang bergunung-gunung.
Selain itu Keraton Surakarta juga memiliki mistik dan [[mitos]] serta [[legenda]] yang berkembang di tengah masyarakat. Seperti makna filosofi yang semakin lenyap, mistik dan mitos serta legenda inipun juga semakin menghilang. Sebagai salah satu contoh adalah kepercayaan sebagian masyarakat dalam memperebutkan gunungan saat ''garebeg''. Mereka mempercayai bagian-bagian gunungan itu dapat mendatangkan tuah berupa keuangan yang baik maupun yang lainnya.
Selain itu ada legenda mengenai usia Nagari Surakarta Hadiningrat. Ketika istana selesai dibangun muncul sebuah ramalan bahwa [[Kasunanan Surakarta]] hanya akan berjaya selama dua ratus tahun. Setelah dua ratus tahun maka kekuasaan Sri Sunan hanya akan selebar mekarnya sebuah payung (''kari sak megare payung''). Legenda inipun seakan mendapat pengesahan dengan kenyataan yang terjadi. Apabila dihitung dari pembangunan dan penempatan istana secara resmi pada [[1745]], maka dua ratus tahun kemudian tepatnya pada tahun [[1945]] negara [[Indonesia]] merdeka dan kekuasaan Kasunanan benar-benar merosot. Setahun kemudian pada [[1946]], [[Kasunanan Surakarta]] sebagai [[Daerah Istimewa Surakarta]] dibekukan oleh pemerintah [[Indonesia]] karena terjadi kekacauan politik saat itu dan pada akhirnya kekuasaan Sri Sunan benar-benar habis dan hanya tinggal atas tanah adat serta kerabat dekatnya saja.
|