Buruan, Blahbatuh, Gianyar: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 7:
|kecamatan =Blahbatuh
|kode pos =80581
|luas =...421 km²
|penduduk =...4799 jiwa
|kepadatan =11...3 jiwa/km²
}}
 
Baris 20:
 
Tak banyak yang mengetahui keberadaan pura ini sekarang. Padahal, pada zaman Bali Kuna dulu, Pura ini sempat begitu populer.
Berdasaran prasasti di berbagai wilayah di Bali yang menunjuk keberadaan pura ini, Pura Bukit Dharma Durga Kutri diperkirakan sudah berdiri sejak 835 caka. Pada saat itu Bali diperintah oleh Raka Sri Kesari Warmadewa. Demikian diawali Ketut Windra , Bendesa Desa Pekraman Kutri sekaligus Manggala Pura Durga Kutri.
 
Lokasi pura ini cukup mudah dicapai. Dia berada di lingkungan Banjar Kutri, Buruan di samping jalan utama menuju Blahbatuh, Gianyar. Pura ini terlihat dari luar seperti pura-pura di Bali pada umumnya. Namun, yang unik adalah pada bagian mandala utama terdapat bukit yang diselimuti hutan kecil. Pada puncaknya itulah distanakan arca ''''Durga Mahisamardini Astabuja''''.
 
Pura ini berawal dan berkembang sebagai sebuah kahyangan jagat dari pemerintahan ''Sri Kesari Warmadewa, Ugrasena, Tabanendra, Jayasingha, Mahadewi, Udayana''. Pada saat pemerintahan Udayana, beliau ditemani permaisuri ''Gunapria Dharmapatni. Maka dari itu disebut sebagai raja sejoli. Beliau berkuasa sekitar abad ke 10. Kekuasaan kerajaan Bali pada saat itu hingga mencapai Timor Timur. Demikian ditambahkan Ketut Windra. Prasasti yang mendukung keberadaan pura ini adalah Prasasti Peguyangan, Tengkulak, Trunyan, Prangsada, dsb.
 
Dalam prasasti Prangsada disebutkan: Sang Ari Anak Wungsu, Kunang Sira Sang Ibu Murwa Sira Mantuking Suryatmaka Dinarma Sira Ring Candi Ibu yang artinya Prabu Anak Wungsu meyakini ibunya Ratu Mahendradatta Udayana setelah wafat kembali ke inti Surya yaitu Wisnu, bersatu beliau secara simbol (Arcanam) di tempat pemujaan beliau (Candi Burwan).
Baris 33:
Prasasti lain yang mendukung adalah Prasasti Peguyangan. Prasasti ini menjabarkan keagungan Tuhan yang dipuja di Buruan dijadikan dasar hidup bernegara dan beragama oleh masyarakat di bawah kekuasaan Ratu Mahendradata Udayana. Barang siapa yang sudah melaksanakan hidup bermasyarakat Grahasta, diwajibkan menjalani hidup bernegara dan beragama seperi yang ditetapkan oleh pemerintah pada saat itu.
 
Apabila dalam hidup ini umat berjalan di jalan dharma sesuai dengan apa yang dipuja di Pura Bukit Dharma maka beliau akan selalu memberkati. Arca Durga Mahesamardini Astabuja yang disimbolkan dalam bentuk arca seorang wanita cantik bertangan delapan berkendaraan lembu memiliki makna perwujudan Gayatri. Arca tersebut simbol dari penyatuan kekuatan Tuhan Brahma, Wisnu, dan Siwa (Utpeti, Stiti, Pralina). Penataan Pura Bukit Dharma ditata dengan konsep ''''Tri Loka'''', ''Bru Loka'' (Pura Manik Tirtha), ''Bhuah Loka'' (Pura Pentaran Agung), ''Swah Loka'' (Pura Pucak Dharma). Pada pucak inilah distanakan arca tersebut. Konsep Tri Mandala juga tertuang dalam penataan pura yaitu Nista Mandala (di depan candi bentar), Madya Mandala (di depan candi kurung), dan Utama Mandala (setelah memasuki candi kurung).
 
Penataan Pura Bukit Dharma ditata dengan konsep Tri Loka, Bru Loka (Pura Manik Tirtha), Bhuah Loka (Pura Pentaran Agung), Swah Loka (Pura Pucak Dharma). Pada pucak inilah distanakan arca tersebut. Konsep Tri Mandala juga tertuang dalam penataan pura yaitu Nista Mandala (di depan candi bentar), Madya Mandala (di depan candi kurung), dan Utama Mandala (setelah memasuki candi kurung).
 
Ketut Windra menjelaskan, selain arca yang terdapat di pucak, di penataran agung juga terdapat beberapa arca yang masih terkait yaitu arca-arca Gedong Pesaren, Arca Budha, Siwa, Lingga Yoni, arca gedong Doho. Arca Gedong Doho ini kemungkinan berkaitan dengan leluhur Raja Sejoli. [b]