Sejarah Sumatera Barat: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Rahmatdenas (bicara | kontrib) |
k Bot: Perubahan kosmetika |
||
Baris 30:
{{utama|Kerajaan Inderapura}}
Jauh sebelum Kerajaan Pagaruyung berdiri, di bagian selatan Sumatera Barat sudah berdiri kerajaan Inderapura yang berpusat di Inderapura (kecamatan [[Pancung Soal, Pesisir Selatan]] sekarang ini) sekitar awal abad 12. Setelah munculnya Kerajaan Pagaruyung, Inderapura pun bersama [[Kerajaan Sungai Pagu]] akhirnya menjadi vazal kerajan Pagaruyung.
Setelah Indonesia merdeka sebagian besar wilayah Inderapura dimasukkan kedalam bagian wilayah provinsi Sumatera Barat dan sebagian ke wilayah Provinsi Bengkulu yaitu kabupaten Pesisir Selatan sekarang ini.
Baris 58:
Belanda memerintah diatur oleh perjanjian [[Plakat Panjang]] ([[1833]]). Di dalamnya Belanda berjanji untuk tidak mencampuri masalah adat dan agama nagari-nagari di Minangkabau. Belanda juga menyatakan tidak akan memungut pajak langsung. Hal ini menyebabkan para pemimpin Minangkabau membayangkan dirinya sebagai mitra bukannya bawahan Belanda.
Sebagaimana di daerah lain di [[Hindia Belanda]] pemerintah kolonial memberlakukan [[Tanam Paksa]] (''cultuurstelsel'') di Sumatera Barat. Sistem ini menjadikan para pemimpin adat sebagai agen kolonial Belanda.
Penjajahan Belanda berpengaruh besar pada tatanan tradisional masyarakat Minangkabau. Di Sumatera Barat Belanda membuat jabatan baru, seperti penghulu rodi. Kerapatan Nagari dijadikan sebagai lembaga pemerintahan terendah, dan kepemimpinan kolektif para penghulu ditekan dengan keharusan memilih salah seorang penghulu menjadi Kepala Nagari. Serikat nagari-nagari (laras, Bahasa Minang: lareh) yang sebenarnya merupakan persekutuan longgar atas asas saling menguntungkan, dijadikan sebagai lembaga pemerintahan yang setara dengan kecamatan.
Baris 98:
Meskipun komunisme menjadi sangat populer pada dasawarsa 1920-an kaum agama yang tak setuju dengan ideologi baru itu pun tetap berkembang. Awal tahun 1920 berdiri PGAI (Persatuan Guru Agama Islam) dengan tujuan mengumpulkan ulama-ulama di Sumatera Barat. Atas prakarsa H. Abdullah Ahmad tahun [[1924]] berdirilah sekolah Normal Islam di Padang. Sekolah ini dimaksudkan sebagai sekolah lanjutan, lebih tinggi daripada Sumatera Thawalib yang merupakan sekolah rendah.
Setelah melawat ke [[Jawa]] tahun [[1925]] dan bertemu pemimpin-pemimpin [[Muhammadiyah]] di sana Haji Rasul turut mendirikan cabang Muhammadiyah. Pertama di [[Sungai Batang, Tanjung Raya, Agam|Sungai Batang]] dan kemudian di [[Padang Panjang]]. Organisasi ini dengan cepat menjalar ke seluruh Sumatera Barat.
Muhammadiyah berperan penting dalam menentang pemberlakuan Ordonansi Guru di Sumatera Barat tahun [[1928]]. Dengan ordonansi ini guru agama diwajibkan melapor kepada pemerintah sebelum mengajar. Peraturan ini dipandang mengancam kemerdekaan menyiarkan agama. Sebelumnya Muhammadiyah di Jawa sudah memutuskan meminta ordonansi ini dicabut. Pada tanggal 18 Agustus 1928 diadakanlah rapat umum yang kemudian memutuskan menolak pemberlakuan ordonansi guru.
|