Sartono (politikus): Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Yoshua Renaldo (bicara | kontrib)
Yoshua Renaldo (bicara | kontrib)
Baris 57:
RIS tidak berlangsung lama. Pada tanggal [[15 Agustus]] [[1950]], [[DPR RIS]], Senat dan [[BPKNP]] secara bersamaan resmi mengakhiri tugasnya karena RIS akan kembali lagi menjadi Negara Kesatuan [[RI]]. Namun, terhitung keesokan harinya, seluruh ketua, wakil ketua, dan para angota ketiga dewan perwakilan tersebut diangkat kembali menjadi anggota [[DPR]] Negara Kesatuan RI dan lazim disebut sebagai DPR Sementara mengingat para anggotanya belum dipilih melalui pemilihan umum. Sartono dan semua anggota [[DPRS]] lainnya mengangkat sumpah jabatan pada tanggal [[16 Agustus]] [[1950]] malam di Gedung DPR. Jumlah seluruh anggota DPR yang dilantik sebanyak 235 orang dengan perincian sebagai berikut: [[Masyumi]] 43, [[PNI]] 42, [[PIR]] 22, [[PKI]] 17, [[PSI]] 15, [[PRN]] 13, [[Persatuan Progressif]] 10, [[Demokrat]] 9, [[Partai Katolik]] 9, [[NU]] 8, [[Parindra]] 7, [[Partai Buruh]] 6, [[Parkindo]] 5, [[Partai Murba]] 4, [[PSII]] 4, sedangkan sisanya adalah partai-partai kecil dan golongan tak berpartai. Sidang [[DPRS]] pertama berlangsung pada tanggal [[19 Agustus]] [[1950]] dengan agenda pemilihan pimpinan DPR yang baru. Berdasarkan hasil pleno tersebut, terpilih Sartono sebagai Ketua DPR, sedangkan urutan yang bertindak sebagai wakil ketua adalah [[Tambunan|Mr. Tambunan]], [[Arudji Kartawinata]] dan [[Tadjuddin Noor|Mr. M Tadjuddin Noor]].
 
=== Pernah Menjadi Formatur Kabinet ====
[[PNI]] berkeinginan untuk memimpin pemerintahan yang baru, dengan mencalonkan Sartono untuk menjadi formateur kabinet. [[Soekano|Presiden]] dengan surat keputusannya bernomor 44/1951 memberikan mandat kepada Sartono untuk membentuk kabinet. Namun, tidak seperti kebiasaan yang berlaku, di mana formatur kabinet kelak menjabat [[perdana menteri]], Sartono sejak semula mengatakan bahwa seandainya kabinet terbentuk, ia tetap akan berada di luar pemerintahan. Setelah bekerja hampir satu bulan penuh, Sartono mengembalikan mandatnya yang diterima kembali kepada [[Soekarno|Presiden Soekarno]]. Ada beberapa pendapat tentang kegagalan Sartono menyusun kabinet pada waktu itu. Beberapa kalangan Sartono menilai kegagalan tersebut terjadi karena Sartono terlalu berpikir "logis matematik parlementer". Prinsip yang terlalu memperhatikan perimbangan dukungan suara terhadap pemerintah yang akan dibentuk dengan kekuatan oposisi di parlemen. Sedangkan seharusnya orientasi yang tidak boleh diabaikan ialah orientasi terhadap program dari kabinet yang akan dibentuk. Pada waktu itu sebetulnya 11 partai di parlemen telah bersama-sama menandatangani suatu rancangan program bersama. Pernyataan tersebut antara lain dilontarkan oleh anggota parlemen [[Sudiyono Joyoprayitno]] dari [[Partai Murba]]. Di pihak lain, [[Manai Sophiaan]] dari [[PNI]] tidak sependapat dengan analisis Sudiyono tersebut. Ia berkata, Sartono memilih pola pembentukan kabinet yang berdasarkan "matematik parlementer" karena memang Sartono diberi mandat untuk membentuk kabinet parlementer. Namun, anggota lain, yaitu [[Zainal Abidin]] dari [[PRN]], mengatakan bahwa kegagalan Sartono terutama disebabkan oleh makin parahnya perseteruan antara [[PNI]] dan [[Masyumi]]. Perseteruan terjadi karena makin meningkatnya perebutan pengaruh massa di antara kedua partai yang berbeda [[ideologi]] tersebut. Namun, kenyataannya, pengganti Sartono sebagai formatur kabinet, yaitu [[Sidik Joyosukarto]], yang beraliran condong radikal kiri, berhasil membentuk kabinet koalisi Masyumi-PNI yang terkenal dengan sebutan [[Kabinet Sukiman-Suwirjo]]. Sartono yang dinilai lebih akrab dengan para tokoh Masyumi malahan tidak berhasil membentuk kabinet.