Sejarah Kota Samarinda: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Menambahkan periodisasi dari hegemoni kerajaan dan birokrasi yang mendominasi di Samarinda.
HsfBot (bicara | kontrib)
k Bot: Perubahan kosmetika
Baris 17:
# Luah Bakung ([[Loa Bakung, Sungai Kunjang, Samarinda|Loa Bakung]]);
# Sembuyutan ([[Sambutan, Sambutan, Samarinda|Sambutan]]); dan
# Mangkupelas ([[Mangkupalas, Samarinda Seberang, Samarinda|Mangkupalas]]).
 
Penyebutan enam kampung di atas tercantum dalam manuskrip (naskah) surat Salasilah Raja Kutai Kartanegara yang ditulis oleh Khatib Muhammad Tahir pada 30 Rabiul Awal 1265 H (24 Februari 1849 M), yang kemudian dikutip oleh ahli sejarah berkebangsaan Belanda, C.A. Mees.<ref>Mees, p. 134</ref>
Baris 75:
Pada pertengahan abad ke-19, situasi Samarinda terutama bagian pesisir Sungai Mahakam berada dalam suasana mencekam karena kondisi keamanan yang tidak stabil. Perampokan, pembajakan, penculikan, hingga perbudakan merupakan perilaku barbar yang marak terjadi.<ref>Sarip (2016), ''Sejarah Sungai Mahakam di Samarinda'', p. 32</ref>
 
Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Nomor 75 tanggal 16 Agustus 1896 yang ditandatangani oleh Sekretaris Umum A.D.H. Heringa, Samarinda ditetapkan sebagai wilayah Rechtstreeks Gouvernemen Bestuur Gebied alias tempat kedudukan pemerintah Belanda dan merupakan daerah yang diperintah langsung oleh Belanda. Wilayah Samarinda yang juga diistilahkan dengan Vierkante-Paal itu meliputi areal seluas ± 2 kilometer persegi, yang terbentang antara sungai Karang Asem Besar (Teluk Lerong) di hulu sampai sungai Karang Mumus di hilir, dengan jarak 500 meter ke dalam dari tepi Sungai Mahakam. Status Vierkante-Paal Samarinda sebenarnya adalah pinjaman dari Kesultanan Kutai, tetapi kemudian diklaim rezim kolonial Belanda.
 
Tujuh tahun kemudian, tepatnya 28 April 1903, luas wilayah Vierkante-Paal ditambah lagi di bagian hilir dengan memasukkan Sungai Kerbau (sekarang termasuk Kelurahan Selili) dengan jarak 800 meter ke dalam dari tepi Sungai Mahakam. Ketentuan ini ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Nomor 25 tanggal 28 April 1903 yang ditandatangani oleh Sekretaris Umum C.B. Nederburg.<ref>Tim Penyusun (1992), p. 67</ref>