Jayakatwang: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k Robot: Cosmetic changes |
Tidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 1:
'''Jayakatwang'''
==Silsilah Jayakatwang==
Jayakatwang juga sering kali disebut dengan nama '''Jayakatong''', '''Aji Katong''', atau '''Jayakatyeng'''. Dalam [[berita Cina]] ia disebut '''Ha-ji-ka-tang'''.
''[[Nagarakretagama]]'' dan ''Kidung Harsawijaya'' menyebutkan Jayakatwang adalah keturunan [[Kertajaya]] raja terakhir [[Kadiri]]. Pada tahun 1222 [[Ken Arok]] mengalahkan [[Kertajaya]]. Sejak itu [[Kadiri]] menjadi bawahan [[Singhasari]] di mana sebagai bupatinya adalah '''Jayasabha''' putra [[Kertajaya]]. Tahun 1258 Jayasabha digantikan putranya yang bernama '''Sastrajaya'''. Pada tahun 1271 Sastrajaya digantikan putranya, yaitu Jayakatwang.
Mungkin Sastrajaya menikah dengan saudara perempuan [[Wisnuwardhana]], karena dalam [[prasasti Mula Malurung]] Jayakatwang disebut sebagai ''keponakan'' Seminingrat (nama lain [[Wisnuwardhana]]). Prasasti itu juga menyebutkan nama istri Jayakatwang adalah '''Turukbali''' putri Seminingrat. Dari [[prasasti Kudadu]] diketahui Jayakatwang memiliki putra bernama '''Ardharaja''', yang menjadi menantu [[Kertanagara]].
Jadi, hubungan antara Jayakatwang dengan [[Kertanagara]] adalah sepupu, sekaligus ipar, sekaligus besan.
==Negeri yang Dipimpin Jayakatwang==
''[[Nagarakretagama]]'', ''[[Pararaton]]'', ''Kidung Harsawijaya'', dan ''Kidung Panji Wijayakrama'' menyebut Jayakatwang adalah raja bawahan di [[Kadiri]] yang memberontak terhadap [[Kertanagara]] di [[Singhasari]]. Naskah [[prasasti Kudadu]] dan [[prasasti Penanggungan]] menyebut Jayakatwang pada saat memberontak masih menjabat sebagai bupati '''Gelang-Gelang''' . Setelah [[Singhasari]] runtuh, baru kemudian ia menjadi raja di [[Kadiri]].
Sempat muncul pendapat bahwa Gelang-Gelang merupakan nama lain dari [[Kadiri]]. Namun gagasan tersebut digugurkan oleh naskah [[prasasti Mula Malurung]] (1255). Dalam prasasti itu dinyatakan dengan tegas kalau Gelang-Gelang dan [[Kadiri]] adalah dua wilayah yang berbeda. Prasasti itu menyebutkan kalau saat itu [[Kadiri]] diperintah [[Kertanagara]] sebagai [[yuwaraja]] (raja muda), sedangkan Gelang-Gelang diperintah oleh Turukbali dan Jayakatwang.
Lagi pula lokasi [[Kadiri]] berada di daerah [[Kediri]], sedangkan Gelang-Gelang ada di daerah [[Madiun]]. Kedua kota tersebut terpaut jarak puluhan kilometer.
==Pemberontakan Jayakatwang==
''[[Pararaton]]'' dan ''Kidung Harsawijaya'' menceritakan Jayakatwang menyimpan dendam karena leluhurnya ([[Kertajaya]]) dikalahkan [[Ken Arok]] pendiri [[Singhasari]]. Suatu hari ia menerima kedatangan '''Wirondaya''' putra [[Aria Wiraraja]] yang menyampaikan surat dari ayahnya, berisi anjuran supaya Jayakatwang segera memberontak karena saat itu [[Singhasari]] sedang dalam keadaan kosong, ditinggal sebagian besar pasukannya ke luar [[Jawa]]. Adapun [[Aria Wiraraja]] adalah mantan pejabat [[Singhasari]] yang dimutasi ke [[Sumenep]] karena dianggap sebagai penentang politik [[Kertanagara]].
Jayakatwang melaksanakan saran [[Aria Wiraraja]]. Ia mengirim pasukan kecil yang dipimpin '''Jaran Guyang''' menyerbu [[Singhasari]] dari utara. Mendengar hal itu, [[Kertanagara]] segera mengirim pasukan untuk menghadapi yang dipimpin oleh menantunya, bernama [[Raden Wijaya]]. Pasukan Jaran Guyang berhasil dikalahkan. Namun sesungguhnya pasukan kecil ini hanya bersifat pancingan supaya pertahanan kota [[Singhasari]] kosong.
Pasukan kedua Jayakatwang menyerang [[Singhasari]] dari arah selatan dipimpin oleh '''Patih Mahisa Mundarang'''. Dalam serangan tak terduga ini, [[Kertanagara]] tewas di dalam istananya.
Menurut [[prasasti Kudadu]], '''Ardharaja''' putra Jayakatwang yang tinggal di [[Singhasari]] bersama istrinya, ikut serta dalam pasukan [[Raden Wijaya]]. Tentu saja ia berada dlam posisi sulit karena harus menghadapi pasukan ayahnya sendiri. Ketika mengetahui kekalahan [[Singhasari]], Ardaraja berbalik meninggalkan [[Raden Wijaya]] dan memilih bergabung dengan pasukan Gelang-Gelang.
==Kekalahan Jayakatwang==
Peristiwa kehancuran [[Singhasari]] terjadi tahun 1292. Jayakatwang lalu menjadi raja, dengan [[Kadiri]] sebagai pusat pemerintahannya. Atas saran [[Aria Wiraraja]], Jayakatwang memberikan pengampunan kepada [[Raden Wijaya]] yang datang menyerahkan diri. [[Raden Wijaya]] kemudian diberi Hutan [[Tarik]] untuk dibuka menjadi kawasan wisata perburuan.
Sesungguhnya [[Aria Wiraraja]] telah berbalik melawan Jayakatwang. Saat itu ia ganti membantu [[Raden Wijaya]] untuk merebut kembali takhta peninggalan mertuanya. Pada tahun 1293 pasukan [[Mongol]] datang untuk menghukum [[Kertanagara]] yang telah berani menyakiti utusan [[Kubilai Khan]] tahun 1289. Pasukan [[Mongol]] tersebut diterima [[Raden Wijaya]] di desanya yang bernama [[Majapahit]]. [[Raden Wijaya]] yang mengaku sebagai ahli waris [[Kertanagara]] bersedia menyerahkan diri kepada [[Kubilai Khan]] asalkan terlebih dahulu dibantu mengalahkan [[Jayakatwang]].
[[Berita Cina]] menyebutkan perang terjadi pada tanggal 20 Maret 1293. Gabungan pasukan [[Mongol]] dan [[Majapahit]] menggempur kota [[Kadiri]] sejak pagi hari. Sekitar 5000 orang [[Kadiri]] tewas menjadi korban. Akhirnya pada sore harinya, [[Jayakatwang]] menyerah dan ditawan di atas kapal [[Mongol]].
Dikisahkan kemudian pasukan [[Mongol]] ganti diserang balik oleh pihak [[Majapahit]] untuk diusir keluar dari tanah [[Jawa]]. Sebelum meninggalkan [[Jawa]], pihak [[Mongol]] sempat menghukum mati Jayakatwang dan Ardharaja di atas kapal mereka.
Menurut ''[[Pararaton]]'' dan ''Kidung Harsawijaya'', Jayakatwang meninggal dunia di dalam penjara Hujung Galuh setelah menyelesaikan sebuah karya sastra berjudul Kidung Wukir Polaman.
Menurut kitab ''[[Pararaton]]'' dan Kidung Panji Wijayakrama, Jayakatwang yang telah menyerah lalu ditawan di benteng pertahanan Mongol di Hujung Galuh. Ia meninggal di dalam tahanan.
== Referensi ==
* [[Slamet Muljana]]. 1979. ''Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya''. Jakarta: Bhratara.
* [[Slamet Muljana]]. 2005. ''Menuju Puncak Kemegahan''. Yogyakarta: LKIS.
*Poesponegoro, M.D., Notosusanto, N. (editor utama). ''Sejarah Nasional Indonesia''. Edisi ke-4. Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka, 1990.
|