Teuku Jusuf Muda Dalam: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Membalikkan revisi 12804329 oleh 36.84.3.176 (bicara)
Baris 13:
|successor = [[Radius Prawiro]]
|birth_date = {{Birth date|1914|12|1}}
|birth_place = {{flagicon|Hindia BelandaIndonesia}} [[Sigli]], [[Aceh]]
|death_date = {{Death date and age|19661967|82|268|1914|12|1}}
|death_place = [[Kota Cimahi|Cimahi]], [[Jawa Barat]]
|nationality = {{negara|Indonesia}} [[Indonesia]]
|party =
Baris 29:
|footnotes =
}}
'''Tuan Jusuf Muda Dalam''' ({{lahirmati|[[Sigli]], [[Aceh]]|1|12|1914|[[Kota Cimahi|CimahiJakarta]]|26|8|19662|1967}}) adalah mantan Gubernur [[Bank Indonesia]] periode [[1963]] - [[1966]].
 
== Riwayat hidup ==
Baris 38:
Pada 1951 Jusuf Muda Dalam memutuskan untuk keluar dari PKI dengan alasan bahwa partai itu tidak lagi sesuai dengan sikap politiknya. Selanjutnya pada 1954 ia bergabung dengan [[Partai Nasional Indonesia]] (PNI) duduk sebagai pengurus pusat partai yakni anggota Seksi Keuangan dan Ekonomi, dan duduk sebagai anggota fraksi di DPR bagian Ekonomi dan Keuangan. Pada 1956 atas ajakan [[Soemargono Djojohadikusumo]], Jusuf Muda Dalam masuk sebagai staf [[Bank Negara Indonesia]] (BNI). Kariernya melesat cepat, karena pada 1957 ia telah duduk sebagai Direktur BNI dan pada 1959 sebagai Presiden Direktur BNI hingga diangkat sebagai Menteri Urusan Bank Sentral merangkap sebagai Gubernur Bank Indonesia pada 1963.
 
Pada 1964 di tengah gencarnya Presiden [[Soekarno]] melancarkan politik konfrontasi terhadap kekuatan imperialisme barat, Jusuf Muda Dalam mempunyai konsep untuk menjadikan Bank Indonesia dan perbankan nasional sebagai ''Bank Berjuang''. Dari konsep inilah gagasan Bank Tunggal mulai dirumuskan, direncanakan, dan dilaksanakan pada Juli 1965. Namun bank tunggal hanya berusia singkat. Pada akhir 1965 dan awal 1966 Indonesia penuh dengan gejolak, tekanan ekonomi yang semakin berat terus menghimpit kondisi sosial ekonomi masyarakat. Ditambah lagi, dampak Peristiwa 30 September 1965 yang melibatkan PKI dan tentara secara politis telah menggiring pada suatu proses peluruhan kekuasaan pemerintahan terpimpin. Demonstrasi mahasiswa (angkatanAngkatan 66) yang menuntut perbaikan keadaan ekonomi, sosial, dan politik, mulai menggoyahkan kekuasaan pemerintah. Bank tunggal pun juga terhenti karenanya.
Pada 11 Maret 1966 lahirlah Surat Perintah Sebelas Maret ([[Supersemar]]) yang memberikan wewenang kepada Jenderal [[Soeharto]] untuk menertibkan keadaan. Salah satu tindakan penertiban itu adalah pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) dan bertindak atas nama Presiden pada 18 Maret 1966 melakukan tindakan pengamanan terhadap 15 orang menteri kabinet, termasuk Menteri Urusan Bank Sentral Jusuf Muda Dalam, dengan alasan untuk melindungi mereka dari amarah rakyat karena dianggap terlibat atau terkait dengan PKI. Surat pengangkapan dan penahanan atas Jusuf Muda Dalam secara resmi baru dikeluarkan pada oleh Tim Pemeriksa Pusat Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban pada 18 April 1966.
 
Pada 15 Agustus 1966 Harian Berita Yudha mengabarkan bahwa pada 13 Agustus 1966 Menteri Utama/Menteri Panglima AngkataAngkatan Darat Jenderal Soeharto telah menyerahkan berkas perkara bekas MUBS Jusuf Muda Dalam kepada Jaksa Agung Mayjen [[Sugih Arto]]. Pada 24 Agustus 1966 Jaksa Agung mengumumkan telah membentuk Komando Penyelenggara Peradilan Subversi untuk menyidangkan perkara Jusuf Muda Dalam mulai 30 Agustus 1966 di gedung Bappenas (Badan Perencana Pembangunan Nasional).
 
Pada 9 September 1966, setelah mendatangkan 175 saksi pengadilan memutuskan hukuman mati kepada Jusuf Muda Dalam karena terbukti secara hukum melakukan: