Pertanggungjawaban korporasi: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k {{rapikan}} |
k Robot: Cosmetic changes |
||
Baris 16:
Dalam perjalanannya pemikiran mengenai ''[[corporate crime]]'', banyak menimbulkan pro dan kontra di kalangan ahli hukum khususnya hukum pidana. Di hukum pidana ada doktrin yang berkembang yaitu doktrin ''universitas delinquere non potest'' (korporasi tidak mungkin melakukan tindak pidana), ini dipengaruhi pemikiran, bahwa keberadaan korporasi di dalam hukum pidana hanyalah fiksi hukum yang tidak mempunyai mind, sehingga tidak mempunyai suatu nilai moral yang disyaratkan untuk dapat dipersalahkan secara pidana (unsur kesalahan). Padahal dalam suatu delik/Tindak pidana mensyaratkan adanya kesalahan (''mens rea'') selain adanya perbuatan (''actus reus'') atau dikenal dengan ''actus non facit reum, nisi mens sit rea''.
Namun masalah ini sebenarnya tidak menjadi masalah oleh kalangan yang pro terhadap pemikiran corporate crime. Menurut '''[[Mardjono Reksodiputro]]''' ada dua hal yang harus diperhatikan dalam menentukan tindak pidana korporasi yaitu, pertama tentang perbuatan pengurus (atau orang lain) yang harus dikonstruksikan sebagai perbuatan korporasi dan kedua tentang kesalahan pada korporasi.
Di negara-negara [[Common Law System]] seperti [[Amerika]], [[Inggris]], dan [[Kanada]] upaya untuk membebankan pertanggungjawaban pidana korporasi (''corporate criminal liability'') sudah dilakukan pada saat Revolusi Industri. Menurut '''[[Remy Sjahdeini]]''' ada dua ajaran pokok yang menjadi bagi pembenaran dibebankannya pertanggungjawaban pidana kepada korporasi. Ajaran-ajaran tersebut adalah ''doctrine of strict liability'' dan ''doctrine of vicarious liability''. Berdasarkan ajaran strict liability pelaku tindak pidana dapat diminta pertanggungjawabannya tanpa disyaratkannya adanya kesalahan sedangkan menurut ajaran vicarious liability dimungkinkan adanya pembebanan pertanggungjawaban pidana dari tindak pidana yang dilakukan, misalnya oleh A kepada B.
|