|kepadatan =... jiwa/km²
}}
'''Pranten''' adalah [[desa]] di [[kecamatan]] [[Gubug, Grobogan|Gubug]], [[Kabupaten Grobogan|Grobogan]], [[Jawa Tengah]], [[Indonesia]].
TERJADINYA DESA PRANTEN.
Mbah Bedjo{{Gubug, Grobogan}} ▼
''' '''Desa Pranten adalah desa kecil, yang terletak di sebelah utara desa Gubug. Berdasarkan data pada tahun 2013 luas desa hanya 2,04 km persegi, dengan jumlah penduduk 2079 jiwa. Menurut penjelasan beberapa warga Pranten, bahwa nama Pranten sendiri adalah dari kata piranti. Memperhatikan nama Pranten sendiri, warga setempat mengatakan kalau itu berasal dari kata Piranti, yang kemudian berubah menjadi Pranten.Tetapi ada juga yang mengatakan, bahwa nama Pranten adalah berasal dari kata Paranten. Berdasarkan kamus bahasa Jawa mengatakan, bahwa kata Paranten mempunyai arti orang hukuman atau orang buangan. Kalau nama Pranten berasal dari kata piranti atau alat, berupa apa alat tersebut sehingga menjadi nama desa. Demikian juga kalau nama Pranten berasal dari kata paranten yang artinya orang hukuman atau orang buangan, lalu siapa yang menjadi orang hukuman atau orang buangan tersebut. Untuk baiknya, marilah kita simak cerita tentang berdirinya desa Pranten sebagai berikut :
'''PEDUKUHAN KARANGPANAS.'''
Menurut cerita dari orang-orang tua sekarang, bahwa pendiri desa Pranten adalah Ki Sakiyan yang juga disebut Mbah Songko atau Mbah Sasongko. Konon beliau berasal dari daerah Klaten, yang mengembara hingga sampai di desa Jatipecaron. Ki Sakiyan pergi dari Klaten, karena tidak setuju dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh kepala desanya. Karena tidak setuju dengan kebijakan itulah, maka beliau seperti orang yang teringkirkan. Beliau lalu pergi dari Klaten bersama istrinya, hingga sampailah di desa Jatipecaron. Beliau tinggal di pinggir sawah, yang terletak di sebelah selatan makam Mbah Lebai Jatipecaron. Karena semakin banyak warga yang bertempat tinggal di sekitarnya, akhirnya daerah tersebut jadilah pedukuhan. Ki Sakiyan menjadi ketua dukuh, dan oleh beliau untuk pedukuhan baru itu diberinya nama Karangpanas. Adapun batas pedukuhan Karangpanas itu dulu, mulai dari perbatasan antara desa Jatipecaron dan desa Pranten sekarang, hingga sampai di jalan besar kota Gubug.
Sebagai ketua dukuh Karangpanas, Ki Sakiyan dibantu oleh seorang warganya yang bernama Ki Nurodin. Ki Sakiyan bertempat tinggal di sebelah utara dukuh Karangpanas, sedangkan Ki Nurodin tinggal di sebelah selatan. Menurut cerita bahwa Ki Nurodin sangat bertanggung jawab untuk menjaga keamanan, dengan setiap malam mengitari pedukuhan dengan membawa tombak pusaka miliknya yang bernama TOMBAK IJO. Konon pada suatu hari, Ki Nurodin mendapat laporan, kalau ada buaya besar berada di pinggir kali Tuntang. Dengan adanya buaya tersebut, warga pedukuhan Karangpanas jadi takut untuk pergi ke sungai. Dengan membawa tombak pusakanya, Ki Nurodin pergi ke pinggir kali Tuntang untuk mencari keberadaan buaya besar itu. Ketika melihat Ki Nurodin yang berada di pinggir sungai dengan membawa tombak pusaka, buaya besar itu lemas dan seolah-olah seperti menyerahkan hidupnya. Melihat hal itu timbullah rasa kasihan dari Ki Sakiyan, dan buaya besar itupun dibiarkannya hidup. Tetapi beliau minta, agar sampai besok buaya besar tidak boleh mengganggu warga Karangpanas.
'''MENJADI DESA PRANTEN.'''
Karena warga pedukuhan Karangpanas bertambah banyak, akhirnya pedukuhan tersebut berubah menjadi desa. Ki Sakiyan dipilih menjadi lurah, sedangkan Ki Nurodin diberi kepercayaan menjadi Modin. Karena masih teringat untuk kepergiannya dari Klaten dulu seperti orang buangan, maka oleh Ki Sakiyan untuk desa yang baru itu diberinya nama Paranten, yang oleh warga akhirnya berubah nama menjadi Pranten. Seperti dijelaskan diatas, bahwa arti dari kata paranten adalah orang hukuman atau orang buangan.
Warga yang bertempat tinggal di sekitar rumah Ki Nurodin semakin banyak, sehingga daerah tersebut kemudian menjadi pedukuhan. Oleh warganya, untuk pedukuhan tersebut diberinya nama Tumbak Ijo. Nama tersebut diambil dari nama tombak pusaka, yang dimiliki oleh Ki Nurodin yang sebagai ketua dukuh. Dari nama Tombak Ijo itulah, untuk warga akhirnya menyebutnya dengan nama pedukuhan MBAK IJO.
MBAH SONGKO / MBAH SASONGKO.
Ketika Mbah Sakiyan meninggal dunia, jenazahnya dimakamkan di desa Pranten atau tepatnya di Pranten Krajan. Adapun untuk nama Mbah Songko utowo Mbah Sasongko, sebenarnya itu sebutan dari warga setelah beliau wafat. Hal itu terjadi karena Mbah Sakiyan orang dari jauh, atau bisa dikatakan sebagai orang sengkan (jawa).
Tidak lama kemudian Ki Nurodin juga wafat, dan oleh warga setempat untuk jenazah beliau dimakamkan di pinggir kali Tuntang. Hal itu mempunyai harapan, agar Ki Nurodin tetap menjaga keamanan desa Pranten dari adanya gangguan yang datang dari kali Tuntang.
Di sebelah makam Ki Nurodin, terdapat kedung sungai yang dalam. Kedung sungai itu mempunyai keanehan, karena entah itu hewan atau manusia yang hanyut dan lewat disitu, pasti akan muncul ke permukaan air. Hal ini tebukti ketika ada warga Gubug yang hanyut, dan selalu ditemukan di kedung sebelah utara makam Ki Nurodin.
Pada bulan Apit atau yang dinamakan tradisi apitan, warga setempat datang berziarah ke makam Ki Sakiyan dan Ki Nurodin. Hal itu merupakan suatu penghormatan pada beliau berdua, yang telah berjasa mendirikan desa Pranten. Hanya yang sangat memprihatinkan, cungkup makam Ki Nurodin sering tertimpa banjir dari kali Tuntang. Banyak ranting-ranting yang tersangkut di pagar makam, bahkan kayu nisannya tidak terlihat lagi karena terpendam lumpur.
Dengan adanya kebijakan dari pemerintahan Setenan Gubug (sekarang kecamatan), pedukuhan Mbak Ijo digabung dengan desa Gubug. Oleh pemerintahan desa Gubug, pedukuhan itu digabung menjadi satu dengan pedukuhan Pilanglor. Walaupun begitu untuk warga pedukuhan tersebut, masih juga menyebutnya dengan nama MBAK IJO.
ADA MAKAM KETURUNAN SULTAN II JOGYA.
Di depan cungkup makam Ki Sakiyan, terdapat tiga makam yang tertulis masih keturunan Sultan II Jogya. Adapun yang dimakamkan disitu adalah RM. Admodihardjo meninggal tanggal 10 Desember 1911, Rr. Soenarti meninggal tanggal 9 Oktober 1909, dan RA. Koestinah meninggal tanggal 9 Nopember 1909. Pada setiap makam ada tulisan pada lempeng tembaga DB 310 004, sepertinya itu merupakan catatan inventaris yang menjelaskan, kalau yang dimakamkan adalah masih trah Kraton Ngayogyakarya.
Kalau melihat silsilah dalam sejarah yang menyebutkan bahwa Sri Sultan Ngayogyokarto II adalah Raden Mas Sundoro, yang menggantikan ayahnya Hamengkubuwono I dan mendapat gelar Sultan Hamengkubuwono II. Dengan demikian untuk ketiganya itu masih keturunan Sultan Hamengkubuwono II, walaupun hanya dengan ibu selir. Tetapi dengan adanya ketiga makam tersebut bisa menjelaskan, kalau ketiganya itu doeloe menyusul Ki Sakiyan, yang kemudian ikut menetap di desa Pranten. Dengan demikian bisa juga disimpulkan, kalau Ki Sakiyan juga masih trah keturunan kraton Ngayogyakarta. Bisa juga diduga kalau nama Sakiyan adalah nama samaran, agar tidak ada yang tahu siapa sebenarnya beliau itu. Tetapi yang penting sekarang, kita bisa tahu dan mengerti tentang riwayat berdirinya desa Pranten.
▲Mbah Bedjo{{Gubug, Grobogan}}
{{kelurahan-stub}}
|