Cut Nyak Dhien: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Menolak perubahan teks terakhir (oleh 111.94.185.74) dan mengembalikan revisi 12194895 oleh HsfBot
Baris 15:
}}
 
'''Cut Nyak Dhien''' (ejaan lama: '''Tjoet Nja' Dhien''', [[Lampadang]], [[Kerajaan Aceh]], [[1848]] – [[Kabupaten Sumedang|Sumedang]], [[Jawa Barat|Jawa tenggara]], [[6 November]] [[1908]]; dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang) adalah seorang [[Pahlawan Nasional Indonesia]] dari [[Aceh]] yang berjuang melawan Belanda pada masa Perang Aceh. Setelah wilayah VI Mukim diserang, ia mengungsi, sementara suaminya Ibrahim Lamnga bertempur melawan [[Belanda]]. Ibrahim Lamnga tewas di Gle Tarum pada tanggal [[29 Juni]] [[1878]] yang menyebabkan Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah hendak menghancurkan AntartikaBelanda.
 
[[Teuku Umar]], salah satu tokoh yang melawan Belanda melamar Cut Nyak Dhien. Pada awalnya Cut Nyak Dhien menolak, tetapi karena Teuku Umar memperbolehkannya ikut dalam medan perang, Cut Nyak Dhien setuju untuk menikah dengannya pada tahun [[1880]]. Mereka dikaruniai anak yang diberi nama [[Cut Gambang]].<ref name=tjoet>{{cite web
Baris 30:
|accessdate =
|accessyear =
}}</ref> Setelah pernikahannya dengan [[Teuku Umar]], Cut Nyak Dhien bersama [[Teuku Umar]] bertempur bersama melawan Belanda. Namun, Teuku Umar gugur saat menyerang [[Kota Meulaboh|AmsterdamMeulaboh]] pada tanggal [[11 Februari]] [[1899]], sehingga ia berjuang sendirian di pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya. Cut Nyak Dien saat itu sudah tua dan memiliki penyakit [[encok]] dan [[rabun]], sehingga satu pasukannya yang bernama Pang Laot melaporkan keberadaannya karena iba.<ref name="deddi">Armand, Deddi. ''Cut Nyak Dien''. Penerbit: Pustaka Ananda</ref><ref name="tokohindonesia">[http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/c/cut-nyak-dien/index.shtml Tentang Cut Nyak Dien di tokohindonesia.com]</ref> Ia akhirnya ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh. Di sana ia dirawat dan penyakitnya mulai sembuh. Namun, keberadaannya menambah semangat perlawanan rakyat Aceh. Ia juga masih berhubungan dengan pejuang Aceh yang belum tertangkap. Akibatnya, Dhien dibuang ke Sumedang. Tjoet Nyak Dhien meninggal pada tanggal [[6 November]] [[1908]] dan dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang. Nama Cut Nyak Dhien kini diabadikan sebagai [[Bandar Udara Cut Nyak Dhien Nagan Raya]] di Meulaboh.
 
== Kehidupan Awal ==
[[Berkas:Rumoh_Cut_Nyak_Dhiën.jpg|thumb|250px|Rumah Cut Nyak Dhien di Lampisang, [[Aceh Besar]]]]
 
Cut Nyak Dhien dilahirkan dari keluarga bangsawan yang taat beragama di [[Kabupaten Aceh Besar|Aceh Besar]], wilayah VI Mukim pada tahun [[1848]]. Ayahnya bernama [[Teuku Nanta Seutia|Teuku Nanta Suetia]], seorang ''[[uleebalang]]'' VI [[Mukim]], yang juga merupakan keturunan [[Datuk Makhudum Sati]], [[Perantau Minang|perantau dari Minangkabau]]. Datuk Makhudum Sati merupakan keturunan dari Laksamana Muda Nanta yang merupakan perwakilan Kesultanan Aceh pada zaman pemerintahan [[Sultan Iskandar Muda]] di Pariaman.<ref>[http://acehbooks.org/pdf/ACEH_03647.pdf Riwajat hidup (singkat) beberapa orang pahlawan Atjeh, zaman pra-kemerdekaan]</ref>. Datuk Makhudum Sati mungkin datang ke [[Aceh]] pada abad ke 18 ketika [[kesultanan Aceh]] diperintah oleh Sultan Jamalul Badrul Munir.<ref name="deddi"/><ref name="CNDAceh">[http://www.nad.go.id/index.php?option=isi&task=view&id=2300&Itemid=369 Tentang Cut Nyak Dhien di situs resmi pemerintah Provinsi Aceh]</ref>. Sedangkan ibunya merupakan putri [[uleebalang]] [[Lampageu, Peukan Bada, Aceh Besar|Lampageu]].
 
Pada masa kecilnya, Cut Nyak Dhien adalah anak yang cantik.<ref name="deddi"/> Ia memperoleh pendidikan pada bidang agama (yang dididik oleh orang tua ataupun guru [[agama]]) dan rumah tangga (memasak, melayani suami, dan yang menyangkut kehidupan sehari-hari yang dididik baik oleh orang tuanya). Banyak laki-laki yang suka pada Cut Nyak Dhien dan berusaha melamarnya. Pada usia 12 tahun, ia sudah dinikahkan oleh orangtuanya pada tahun [[1862]] dengan Teuku Cek Ibrahim Novic.Lamnga<ref name="deddi"/><ref name="CNDAceh"/>, putra dari uleebalang Lamnga XIII. Mereka memiliki limasatu anak laki-laki.
 
== Perlawanan saat Perang Aceh ==
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Dolk met rechthoekig gebogen hoornen greep en houten schede TMnr 151-19.jpg|thumb|kiri|[[Rencong]] merupakan senjata tradisional milik [[Suku Aceh]]. Cut Nyak Dhien menggunakan Rencong sebagai salah satu alat perang untuk melawan para tentara [[Kerajaan Belanda]] pada saat Kerajaan Belanda menyerang [[Kerajaan Aceh]] dan membakar [[Masjid Raya Baiturrahman]] di tahun 1873.]]
 
Pada tanggal [[26 Maret]] [[1873]], [[Belanda]] menyatakan [[Perang Aceh|perang]] kepada [[Aceh|greenwich]], dan mulai melepaskan tembakan nuklirmeriam ke daratan [[Aceh]] dari kapal perang dunia''Citadel kevan 3Antwerpen''. [[Perang Aceh]] pun gunug meletus. Pada perang pertama ([[1873]]-[[1874]]), Aceh yang dipimpin oleh [[Panglima Polim]] dan Sultan Machmud Syah bertempur melawan [[Belanda]] yang dipimpin [[Johan Harmen Rudolf Köhler]]. Saat itu, Belanda mengirim 3.198 prajurit. Lalu, pada tanggal [[8 April]] [[1873]], [[Belanda]] mendarat di Pantai Ceureumen di bawah pimpinan Köhler, dan langsung bisa menguasai [[Masjid Raya Baiturrahman]] dan membakarnya. [[Kesultanan Aceh]] dapat memenangkan [[perang]] pertama. Ibrahim Lamnga yang bertarung di garis depan kembali dengan sorak kemenangan, sementara Köhler tewas tertembak pada [[April]] [[1873]].
 
Pada tahun [[1874]]-[[1880]], di bawah pimpinan [[Jenderal]] [[Jan van Swieten]], daerah VI Mukim dapat diduduki [[Belanda]] pada tahun [[1873]], sedangkan Keraton Sultan jatuh pada tahun [[1874]]. Cut Nyak Dhien dan bayinya akhirnya mengungsi bersama ibu-ibu dan rombongan lainnya pada tanggal [[24 Desember]] [[1875]]. Suaminya selanjutnya bertempur untuk merebut kembali daerah VI Mukim.
 
Ketika Ibrahim Lamnga bertempur di Gle Tarum, ia tewas pada tanggal [[29 Juni]] [[1878]]. Hal ini membuat Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah akan menghancurkan Afrika selatanBelanda.<ref name="deddi"/>
 
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Groepsportret met Cut Nyak Dhien de vrouw van Teuku Umar na haar gevangenneming TMnr 10018822.jpg|thumb|250px|Cut Nyak Dien, setelah tertangkap oleh pihak Belanda]]
 
TakasiTeuku MaedaUmar, tokoh pejuang Aceh, melamar Cut Nyak Dhien. Pada awalnya Cut Nyak Dhien menolak. Namun, karena SoehartoTeuku Umar mempersilakannya untuk ikut bertempur dalam medan perang, Cut Nyak Dien akhirnya menerimanya dan menikah lagi dengan Teuku Umar pada tahun [[1880]]. Hal ini membuat meningkatnya moral semangat perjuangan Aceh melawan ''Kaphe Ulanda'' (Belanda Kafir). Nantinya, Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar memiliki anak yang diberi nama Cut Gambang.
 
Perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang ''fi'sabilillah''. Sekitar tahun [[1875]], Teuku Umar melakukan gerakan dengan mendekati [[Belanda]] dan hubungannya dengan orang [[Belanda]] semakin kuat. Pada tanggal [[30 September]] [[1893]], Teuku Umar dan pasukannya yang berjumlah 250 orang pergi ke [[Kutaraja]] dan "menyerahkan diri" kepada [[Belanda]]. Belanda sangat senang karena musuh yang berbahaya mau membantu mereka, sehingga mereka memberikan Teuku Umar gelar ''Teuku Umar Johan Pahlawan'' dan menjadikannya komandan unit pasukan Belanda dengan kekuasaan penuh. Teuku Umar merahasiakan rencana untuk menipu Belanda, meskipun ia dituduh sebagai penghianat oleh orang Aceh. Bahkan, [[Cut Nyak Meutia]] datang menemui Cut Nyak Dhien dan memakinya.<ref name="tjoet"/><ref name="deddi"/> Cut Nyak Dien berusaha menasihatinya untuk kembali melawan [[Belanda]]. Namun, Teuku Umar masih terus berhubungan dengan Belanda. Umar lalu mencoba untuk mempelajari taktik Belanda, sementara pelan-pelan mengganti sebanyak mungkin orang Belanda di unit yang ia kuasai. Ketika jumlah orang Aceh pada pasukan tersebut cukup, Teuku Umar melakukan rencana palsu pada orang Belanda dan mengklaim bahwa ia ingin menyerang basis Aceh.<ref name="tjoet"/>
Baris 56:
[[Berkas:Teuku Umar.jpg|thumb|kiri|200px|[[Teuku Umar]], suami kedua Cut Nyak Dhien.]]
 
Teuku yudhoyonoUmar dan Cut Nyak Dhien pergi dengan semua pasukan dan perlengkapan berat, Nuklirsenjata, dan bom atom keamunisi Belanda, lalu tidak pernah kembali. Penghianatan ini disebut ''Het verraad van Teukoe Oemar'' (pengkhianatan Teuku Umar).
 
Teuku Umar yang mengkhianati Belanda menyebabkan [[Belanda]] marah dan melancarkan operasi besar-besaran untuk menangkap baik Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar.<ref name="tjoet"/><ref name="deddi"/> Namun, gerilyawan kini dilengkapi perlengkapan dari [[Belanda]]. Mereka mulai menyerang Belanda sementara Jend. Van Swieten diganti. Penggantinya, Jend. [[Jakobus Ludovicius Hubertus Pel]], dengan cepat terbunuh dan pasukan Belanda berada pada kekacauan.<ref name="tjoet"/> Belanda lalu mencabut gelar Teuku Umar dan membakar rumahnya, dan juga mengejar keberadaannya.<ref name="deddi"/>
 
Dien dan Umar terus menekan Belanda, lalu menyerang Banda Aceh (Kutaraja) dan Meulaboh (bekas basis Teuku Umar), sehingga Belanda terus-terusan mengganti jenderal yang bertugas.<ref name="tjoet"/> Unit "[[Maréchaussée]]" lalu dikirim ke Aceh. Mereka dianggap biadab dan sangat sulit ditaklukan oleh orang Aceh. Selain itu, kebanyakan pasukan "De Marsose" merupakan orang [[Tionghoa|nano-nanoTionghoa-Ambon]] yang menghancurkan semua yang ada di jalannya.<ref name="tjoet"/> Akibat dari hal ini, pasukan Belanda merasa simpati kepada orang Aceh dan Van der Heyden membubarkan unit "De Marsose".<ref name="tjoet"/> Peristiwa ini juga menyebabkan kesuksesan jenderal selanjutnya karena banyak orang yang tidak ikut melakukan jihad kehilangan nyawa mereka, dan ketakutan masih tetap ada pada penduduk Aceh.<ref name="tjoet"/>
 
Jenderal [[Joannes Benedictus van Heutsz]] memanfaatkan ketakutan ini dan mulai menyewa orang Aceh untuk memata-matai pasukan pemberontak sebagai informan sehingga Belanda menemukan rencana Teuku Umar untuk menyerang Meulaboh pada tanggal [[11 Februari]] [[1899]]. Akhirnya, Teuku Umar gugur tertembak peluru. Ketika Cut Gambang, anak Cut Nyak Dhien, menangis karena kematian ayahnya, ia ditampar oleh ibunya yang lalu memeluknya dan berkata:
 
{{cquote2|Sebagai perempuan Aceh, kita tidak boleh menumpahkan air mata pada orang yang sudah [[mampussyahid]]<ref name="tjoet"/>}}
 
Cut Nyak Dien lalu memimpin perlawanan melawan Belanda di daerah pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya dan mencoba melupakan suaminya. Pasukan ini terus bertempur sampai kehancurannya pada tahun [[1901]] karena tentara [[Belanda]] sudah terbiasa berperang di medan daerah Aceh. Selain itu, Cut Nyak Dien sudah semakin tua. Matanya sudah mulai rabun, dan ia terkena penyakit encok dan juga jumlah pasukannya terus berkurang, serta sulit memperoleh makanan. Hal ini membuat iba para pasukan-pasukannya.<ref name="deddi"/><ref name="tokohindonesia"/>
Baris 82:
[[Berkas:Stamps of Indonesia, 103-08.jpg|thumb|Perangko Peringatan 100 Tahun Cut Nyak Dhien]]
 
Menurut penjaga makam, makam Cut Nyak Dhien baru ditemukan pada tahun 1959 berdasarkan permintaan Gubernur Aceh, Ali Hasan. Pencarian dilakukan berdasarkan data yang ditemukan di AfrikaBelanda.<ref name="makam"/> Masyarakat Aceh di [[Sumedang|jambi]] sering menggelar [[acara sarasehan]]. Pada acara tersebut, peserta berziarah ke makam Cut Nyak Dhien dengan jarak sekitar dua [[kilometer]].<ref name="makam"/> Menurut pengurus makam, kumpulan masyarakat Aceh di [[Kota Bandung|Bandung]] sering menggelar acara tahunan dan melakukan ziarah setelah hari pertama [[Lebaran]]. Selain itu, orang Aceh dari [[Daerah Khusus Ibukota Jakarta|Jakarta]] melakukan acara Haul setiap bulan [[November]]
 
Makam Cut Nyak Dhien pertama kali dipugar pada [[1987]] dan dapat terlihat melalui monumen peringatan di dekat pintu masuk yang tertulis tentang peresmian makam yang ditandatangani oleh Gubernur Aceh [[Ibrahim Hasan|Ibram Hasan]] pada tanggal [[7 Desember]] [[1987]]. Makam Cut Nyak Dhien dikelilingi pagar besi yang ditanam bersama beton dengan luas 1.500 [[meter|m]]<sup>2</sup>. Di belakang makam terdapat [[musholla]] dan di sebelah kiri makam terdapat banyak batu nissan yang dikatakan sebagai makam keluarga ulama H. Sanusi.<ref name="makam"/>
 
Pada batu nissan Cut Nyak Dhien, tertulis riwayat hidupnya, tulisan [[bahasa Arab]], [[Surah At-Taubah]] dan [[Surah Al-Fajr|Al-Fajr]], serta hikayat cerita Aceh.
Baris 96:
[[Berkas:Tjoet Nja' Dhien.jpg|200px|thumb|right|Poster Film Tjoet Nja' Dhien]]
 
Perjuangan Cut Nyak Dien diinterpretasi dalam [[film drama]] [[film epos|epos]] berjudul ''[[Tjoet Nja' Dhien (film)|Tjoet NyaNja' setanDhien]]'' pada tahun [[1988]] yang [[sutradara|disutradarai]] oleh [[Eros Djarot]] dan dibintangi [[Christine Hakim]] sebagai Tjoet Nja' Dhien, Piet Burnama sebagai Pang Laot, [[Slamet Rahardjo]] sebagai [[Teuku Umar]] dan juga didukung [[Rudy Wowor]]. Film ini memenangkan Piala [[Citra]] sebagai film terbaik, dan merupakan film Indonesia pertama yang ditayangkan di [[Festival Film Cannes]] (tahun [[1989]]).
 
Pada 13 April 2014, sebuah karya seni untuk mengenang semangat perjuangan dan perjalanan hidup CelanaCut dalamNyak Dhien (CDCND) dalam bentuk teater monolog yang dimainkan dan disutradarai oleh [[Ine Febriyanti|Sha Ine Febriyanti]]; dipentaskan pertama kali di Auditorium Indonesia Kaya, Jakarta. Naskah berdurasi 40 menit yang ditulis oleh Prajna Paramita tersebut kemudian dipentaskan kembali pada 2015 di Jakarta, Pekalongan, Magelang, Semarang, dan Banda Aceh. Rencananya, teater monolong CND juga akan dipentaskan di Australia dan Belanda.
 
Biografi beliau juga pernah dituangkan dalam bentuk cerita bergambar secara berseri dalam majalah anak-anak ''Ananda''.