Kesultanan Bone: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 32:
# [[Arung Palakka|La Tenritatta Matinroé ri Bontoala']] (Arung Palakka) Petta Malampe'é Gemme'na Daéng Sérang ([[1672]]-[[1696]])
# La Patau Matanna Tikka Walinonoé To Tenri Bali Malaé Sanrang Petta Matinroé ri Nagauléng ([[1696]]-[[1714]])
# Batari Toja Daéng Talaga Arung Timurung Datu-ri Citta Sultana Zainab Zakiyat ud-din binti al-Marhum Sultan Idris
# La Padassajati/Padang Sajati To' Apaware Paduka Sri Sultan Sulaiman ibni al-Marhum Sultan Idris
# Bata-ri Toja Daéng Talaga Arung Timurung Datu-ri Citta Sultana Zainab
# La Pareppa To' Aparapu Sappéwali Daéng Bonto Madanrang Karaéng Anamonjang Paduka Sri Sultan
# I-Mappaurangi Karaéng Kanjilo Paduka Sri Sultan
# La Panaongi To' Pawawoi Arung Mampu Karaéng Biséi Paduka Sri Sultan 'Abdu'llah Mansur ibni al-Marhum Sultan Idris
# Batari Toja Daéng Talaga Arung Timurung Datu-ri Citta Sultana Zainab
# I-Danraja Siti Nafisah Karaéng Langelo binti al-Marhum (1738-1741)
# Batari Toja Daéng Talaga Arung Timurung Datu-ri Citta Sultana Zainab
# La Temmassogé Mappasossong To' Appaware' Petta Paduka Sri Sultan 'Abdu'l Razzaq
# La Tenri Tappu To' Appaliweng Arung Timurung Paduka Sri Sultan Ahmad as-Saleh
# La Mappatunru To Appatunru' Paduka Sri Sultan Muhammad Ismail Muhtajuddin [Matinroé-ri Laleng-bata] (1812-1823)
# I-Manéng Paduka Sri Ratu Sultana Salima
# La Mappaséling Paduka Sri Sultan Adam
# La Parénréngi Paduka Sri Sultan Ahmad Saleh
# La Pamadanuka Paduka Sri Sultan Sultan Abul-Hadi (1858-1860)???
# La Singkeru Rukka Paduka Sri Sultan Ahmad Idris [Matinroé-ri Lalambata] (1860-1871)
Baris 57:
# Ratu Bessi Kejora Saudara Kandung Dari Arung Bocco Petta Pangulu / Petta Ponggawa / Petta Paladeng [[MatinroE-ri Kajuara]] ) (Adalah keturunan Langsung Dari Almarhum Jendral M.Yusuf)"
=== '''Runtuhnya Kerajaan Bone''' ===
Perlawanan Rakyat Bone terhadap Belanda pada tahun 1905 dikenal dengan nama RUMPA’NA BONE. Raja Bone ke-31 Lapawawoi Karaeng Sigeri bersama putranya Abdul Hamid Baso Pagilingi yang populer dengan nama Petta Ponggawae menunjukkan kepahlawanannya dalam perang Bone melawan Belanda tahun 1905. Pendaratan tentara Belanda secara besar-besaran beserta peralatan perang yang sangat lengkap di pantai Timur Kerajaan Bone (ujung Pallette-BajoE-Ujung Pattiro), disambut dengan pernyataan perang oleh Raja bone tersebut. Tindakan penuh keberanian ini dilakukan setelah mendapat dukungan penuh dari anggota Hadat Tujuh serta Seluruh pimpinan Laskar Kerajaan Bone.
Baris 66:
Selama kurang lebih lima bulan (Juli-November 1905) Daeng Marola senantiasa mendampingi Lapawawoi Karaeng Sigeri bersama Petta Ponggawae melakukan perlawanan dengan taktik gerilya secara berpindah-pindah mulai dari Palakka, Pasempe, Gottang, Lamuru, dan Citta di daerah Soppeng hingga ke pusat pertahanan terakhir Bulu Awo (perbatasan Siwa dengan Tanah Toraja), tempat gugurnya Petta PonggawaE.
Dalam hikayat Rumpa’na Bone yang terkenal itu, disebutkan bahwa ketika para pimpinan laskar kerajaan Bone seperti Daeng Matteppo’ Arung Bengo dari Bone Barat, Daeng Massere Dulung Ajangale dari Bone Utara, dan Arung Sigeri Keluarga Arungpone serta sejumlah Pakkanna Passiuno lainnya gugur dalam pertempuran melawan armada
Tanggal 2 Agustus 1905, tentara Belanda menyerbu ke Pasempe, akan tetapi Arumpone dengan laskar dan keluarganya sudah meninggalkan Pasempe dan mengungsi ke Lamuru dan selanjutnya ke Citta. Dalam bulan September 1905, Arumpone dengan rombongannya tiba di Pitumpanuwa Wajo. Tentara Belanda tetap mengikuti jejaknya. Daeng Marola Arung Ponre serta sejumlah laskar pemberani terus mendampingi Petta Ponggawae dan La Pawawoi Karaeng Sigeri hingga di Bulu Awo perbatasan Siwa dengan Tanah Toraja. Di Bulu Awo inilah, pada tanggal 18 November 1905,
Lapawawoi Karaeng Sigeri akhirnya ditangkap dan dibawa ke Parepare, seterusnya ke Makassar lalu diasingkan ke Bandung dan terakhir dipindahkan ke Jakarta. Pada tanggal 11 November 1911 M. La Pawawoi Karaeng Sigeri meninggal dunia di Jakarta, maka dinamakanlah dia MatinroE ri Jakarta. Pada tahun 1976, ia dianugrahi gelar sebagai Pahlawan Nasional, dan kerangka jenazahnya dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Kalibata. Ketika La Pawawoi Karaeng Sigeri diasingkan ke Bandung, pemerintahan di Bone hanya dilaksanakan oleh Hadat Tujuh Bone sehingga selama 26 tahun tidak ada Mangkau’ di Bone. Adapun La Semma Daeng Marola, ketika Bone benar-benar telah di kuasai oleh Belanda, mengurungkan niatnya untuk pulang ke kampung halamannya, Ponre. La Semma Daeng Marola Arung Ponre memilih tetap berada di Bajoe dan menghembuskan nafas terakhirnya disana sehingga disebutlah ia sebagai Anre Guru Semma Suliwatang Matinroe Ribajoe.
|