Daerah Istimewa Yogyakarta: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
kTidak ada ringkasan suntingan
Baris 17:
|wakilgubernurlink=Wakil Gubernur Yogyakarta
|rajalink=Raja Yogyakarta
|nama gubernur=[[HamengkubawanaHamengkubuwana X|Sultan Hamengkubuwana]]<ref>Sesuai UU 13/2013 tentang keistimewaan DIY, nama yang digunakan adalah Sultan Hamengku Bawono, tanpa kata "Sri" didepannya, tanpa ada bilangan sultan ke.... pada bagian belakangnya</ref>
|nama wakil gubernur=[[Paku Alam X|Adipati Paku Alam]]<ref>Sesuai UU 13/2013 tentang keistimewaan DIY, nama yang digunakan adalah Adipati Paku Alam, tanpa frasa "Sri Paduka" didepannya, tanpa ada bilangan adipati ke.... pada bagian belakangnya</ref>
|nama raja=[[Prathita S Putra|ITO]]<ref>Sesuai UU 13/2013 tentang keistimewaan DIY, nama yang digunakan adalah ITO, tanpa kata "Prath" didepannya, tanpa ada bilangan Ito ke.... pada bagian belakangnya</ref>
|DPRD=Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Baris 73:
<ref>Artikel ini merupakan modifikasi dari artikel RPJMD Daerah Istimewa Yogyakarta 2009-2013 (Pergub Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 11 Tahun 2009) dan keterangan Sri Sultan Hamengkubuwono di depan Komisi II DPR RI pada saat RDP RUU Keistimewaan DIY</ref> Sebelum Indonesia merdeka, Yogyakarta merupakan daerah yang mempunyai pemerintahan sendiri atau disebut ''Zelfbestuurlandschappen''/Daerah Swapraja, yaitu [[Kesultanan Yogyakarta|Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat]] dan [[Kadipaten Paku Alaman|Kadipaten Pakualaman]]. Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat didirikan oleh Pangeran Mangkubumi yang bergelar [[Hamengkubuwono I|Sultan Hamengku Buwono I]] pada tahun [[1755]], sedangkan Kadipaten Pakualaman didirikan oleh Pangeran Notokusumo (saudara Sultan Hamengku Buwono II) yang bergelar Adipati Paku Alam I pada tahun 1813. Pemerintah Hindia Belanda mengakui Kasultanan, dan Pakualaman sebagai kerajaan dengan hak mengatur rumah tangganya sendiri yang dinyatakan dalam kontrak politik. Kontrak politik yang terakhir Kasultanan tercantum dalam ''Staatsblaad'' 1942 Nomor 47, sedangkan kontrak politik Pakualaman dalam ''Staatsblaad'' 1941 Nomor 577. Eksistensi kedua kerajaan tersebut telah mendapat pengakuan dari dunia internasional, baik pada masa penjajahan [[Belanda]], [[Inggris]], maupun [[Jepang]]. Ketika Jepang meninggalkan Indonesia, kedua kerajaan tersebut telah siap menjadi sebuah negara sendiri yang merdeka, lengkap dengan sistem pemerintahannya (susunan asli), wilayah, dan penduduknya.
 
Setelah [[Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia]] (RI), [[Hamengkubuwono IX|Sri Sultan Hamengku BuwonoHamengkubuwana IX]] dan [[Paku Alam VIII|Sri Paku Alam VIII]] menyatakan kepada [[Presiden Indonesia|Presiden RI]], bahwa Daerah Kasultanan Yogyakarta, dan Daerah Pakualaman menjadi wilayah Negara RI, bergabung menjadi satu kesatuan yang dinyatakan sebagai Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Sri Sultan Hamengku BuwonoHamengkubuwana IX dan Sri Paku Alam VIII sebagai Kepala Daerah, dan Wakil Kepala Daerah bertanggung jawab langsung kepada Presiden RI. Hal tersebut dinyatakan dalam:
# Piagam kedudukan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII tertanggal [[19 Agustus]] [[1945]] dari Presiden RI.
# Amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII tertanggal [[5 September]] [[1945]] (dibuat secara terpisah).
Baris 80:
Dalam perjalanan sejarah selanjutnya kedudukan DIY sebagai [[Daerah Istimewa|Daerah Otonom setingkat Provinsi]] sesuai dengan maksud pasal 18 [[Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945|Undang-undang Dasar 1945]] (sebelum perubahan) diatur dengan [[Undang-Undang|Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948]] tentang Undang-undang Pokok Pemerintahan Daerah. Sebagai tindak lanjutnya kemudian Daerah Istimewa Yogyakarta dibentuk dengan [[Undang-Undang|Undang-undang Nomor 3 Tahun 1950]] tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1950 sebagaimana telah diubah, dan ditambah terakhir dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1955 (Lembaran Negara Tahun 1959 Nomor 71, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1819) yang sampai saat ini masih berlaku. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan DIY meliputi Daerah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, dan Daerah Kadipaten Pakualaman. Pada setiap undang-undang yang mengatur Pemerintahan Daerah, dinyatakan keistimewaan DIY tetap diakui, sebagaimana dinyatakan terakhir dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004.
 
Dalam sejarah perjuangan mempertahankan kemerdekaan [[Indonesia|Negara Kesatuan Republik Indonesia]] (NKRI), DIY mempunyai peranan yang penting. Terbukti pada tanggal [[4 Januari]] [[1946]] sampai dengan tanggal [[27 Desember]] [[1949]]<ref>Penetapan tanggal ini adalah yang sering dipergunakan secara umum, walaupun sebenarnya baru dimulai pada [[6 Januari]] [[1946]] dan berakhir pada [[15 Agustus]] [[1950]] sore hari. Kedua tanggal yang terakhir ini jarang digunakan dan jarang yang merujuk. Namun jika kita melihat dan membandingkan berbagai dokumen yang ada, maka akan terlihat dua tanggal yang terakhir inilah yang dipergunakan.</ref> pernah dijadikan sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia. Tanggal [[4 Januari]] inilah yang kemudian ditetapkan menjadi hari Yogyakarta Kota Republik pada tahun [[2010]]. Pada saat ini [[Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat]] dipimpin oleh [[Hamengkubuwono X|Sri Sultan Hamengku BuwonoHamengkubuwana X]] dan [[Kadipaten Paku Alaman|Kadipaten Pakualaman]] dipimpin oleh [[Paku Alam X|Sri Paku Alam X]] yang sekaligus menjabat sebagai Gubernur, dan Wakil Gubernur DIY. Keduanya memainkan peran yang menentukan dalam memelihara nilai-nilai budaya, dan adat istiadat [[Jawa]] dan merupakan pemersatu masyarakat Yogyakarta.
 
== Geografi ==