Ludwig Ingwer Nommensen: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Baris 1:
[[Berkas:Ingwer Ludwig Nommensen (1834–1918).png|thumb|Ludwig Ingwer Nommensen]]
 
= '''Ludwig Ingwer Nommensen''' (di daerah [[Batak]] dikenal sebagai '''Ingwer Ludwig Nommensen''' atau '''I.L. Nommensen'''; {{lahirmati|[[Nordstrand]], [[Denmark]] (kini [[Jerman]])|6|2|1834|[[Sigumpar, Toba Samosir]]|23|5|1918}}) adalah seorang penyebar agama [[Kristen Protestan]] di antara suku [[Batak]], [[Sumatera Utara]].<ref name="Willem" /> yang berasal dari [[Jerman]], tetapi lebih dikenal di [[Indonesia]].<ref name="Willem">{{id}}F.D. Willem. 1987. Riwayat Hidup Singkat Tokoh-Tokoh Dalam Sejarah Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hlm. 198, 199.</ref> Hasil dari pekerjaannya ialah berdirinya sebuah gereja terbesar di tengah-tengah suku bangsa Batak Toba yaitu [[Huria Kristen Batak Protestan]] (HKBP).<ref name="Willem" /> =
 
== Biografi sebagai penginjil ==
=== Masa kecil Ludwig Ingwer Nommensen ===
[[Berkas:PK-Nommensen-a.jpg|right|border|400px|Kartu Pegawai Nommensen]]<blockquote>Nommensen berasal dari Pulau Noordstrand di [[Schleswig]], yang pada waktu itu merupakan wilayah Denmark.<ref name="Willem" /> Keluarganya hidup dalam kemiskinan dan penderitaan, sehingga sejak kecil, Nommensen terbiasa hidup dalam kondisi yang demikian.<ref name="Willem" /><ref name="Steenbrink">{{en}}Jan Sihar Aritonang, Karel Steenbrink. 2008. A History of Christianity in Indonesia. Leiden: Koninklijke Brill. Hlm. 535.</ref><ref name="Nommensen" /> Maka dari itu, sejak kecil, ia sudah mencari nafkah untuk membantu orangtuanya.<ref name="Willem" /><ref name="Steenbrink" /> Ketika berumur 7 tahun, Nommensen memilih menggembalakan angsa daripada duduk di bangku sekolah.<ref name="Kozok">{{id}}Uli Kozok. 2010. Utusan Damai di Kemelut Perang: Perang Zending dalam Perang Toba. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Hlm. 35,38,92,123.</ref> Pada umur 8 tahun, ia mulai mencari nafkah untuk membantu orang tuanya dengan cara menggembalakan domba.<ref name="Willem" /><ref name="Kozok" /> Pada usia 9 tahun, ia belajar menjadi tukang atap.<ref name="Willem" /><ref name="Kozok" /> Lalu, pada usia 10 tahun, ia bekerja pada seorang petani yang kaya sambil belajar mengerjakan tanah.<ref name="Nommensen">{{id}}J.T. Nommensen. 1974. Ompu i Dr. Ingwer Ludwig Nommensen. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hlm. 9.</ref> Ia juga bekerja menuntun kuda yang menarik bajak untuk membajak tanah petani kaya tersebut.<ref name="Nommensen" /></blockquote>Pada tahun [[1846]], saat berusia 12 tahun, Nommensen mengalami kecelakaan.<ref name="Willem" /><ref name="Nommensen" /> Sewaktu ia bermain kejar-kejaran dengan temannya, ia ditabrak kereta kuda yang menggilas kakinya sampai patah dan keadaan yang demikian memaksanya berbaring di tempat tidur berbulan-bulan lamanya.<ref name="Willem" /> Waktu itu, dalam doanya, Nommensen meminta kesembuhan dan berjanji, jika ia disembuhkan, maka ia akan memberitakan [[injil]] kepada orang kafir.<ref name="Willem" /><ref name="van den End">{{id}}Th. van den End. 1993. Ragi Carita 2. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hlm. 175,177.</ref> Setelah kakinya sembuh, Nommensen kembali menjadi buruh tani untuk membantu keluarganya setelah kematian ayahnya.<ref>Schreiner, Lothar "Nommensen in Selbstzeugnissen: unveröffentlichte Aufsätze, Entwürfe, und Dokumente eingeleitet, erklärt, und herausgegeben von Lothar Schreiner". Verlag an der Lottbek in Ammersbek. 1996. ISBN 3-86130-041-9</ref>
[[Berkas:PK-Nommensen-a.jpg|right|border|400px|Kartu Pegawai Nommensen]]
 
Nommensen berasal dari Pulau Noordstrand di [[Schleswig]], yang pada waktu itu merupakan wilayah Denmark.<ref name="Willem"/> Keluarganya hidup dalam kemiskinan dan penderitaan, sehingga sejak kecil, Nommensen terbiasa hidup dalam kondisi yang demikian.<ref name="Willem"/><ref name="Steenbrink">{{en}}Jan Sihar Aritonang, Karel Steenbrink. 2008. A History of Christianity in Indonesia. Leiden: Koninklijke Brill. Hlm. 535.</ref><ref name="Nommensen"/> Maka dari itu, sejak kecil, ia sudah mencari nafkah untuk membantu orangtuanya.<ref name="Willem"/><ref name="Steenbrink"/> Ketika berumur 7 tahun, Nommensen memilih menggembalakan angsa daripada duduk di bangku sekolah.<ref name="Kozok">{{id}}Uli Kozok. 2010. Utusan Damai di Kemelut Perang: Perang Zending dalam Perang Toba. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Hlm. 35,38,92,123.</ref> Pada umur 8 tahun, ia mulai mencari nafkah untuk membantu orang tuanya dengan cara menggembalakan domba.<ref name="Willem"/><ref name="Kozok"/> Pada usia 9 tahun, ia belajar menjadi tukang atap.<ref name="Willem"/><ref name="Kozok"/> Lalu, pada usia 10 tahun, ia bekerja pada seorang petani yang kaya sambil belajar mengerjakan tanah.<ref name="Nommensen">{{id}}J.T. Nommensen. 1974. Ompu i Dr. Ingwer Ludwig Nommensen. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hlm. 9.</ref> Ia juga bekerja menuntun kuda yang menarik bajak untuk membajak tanah petani kaya tersebut.<ref name="Nommensen"/>
 
Pada tahun [[1846]], saat berusia 12 tahun, Nommensen mengalami kecelakaan.<ref name="Willem"/><ref name="Nommensen"/> Sewaktu ia bermain kejar-kejaran dengan temannya, ia ditabrak kereta kuda yang menggilas kakinya sampai patah dan keadaan yang demikian memaksanya berbaring di tempat tidur berbulan-bulan lamanya.<ref name="Willem"/> Waktu itu, dalam doanya, Nommensen meminta kesembuhan dan berjanji, jika ia disembuhkan, maka ia akan memberitakan [[injil]] kepada orang yang belum percaya.<ref name="Willem"/><ref name="van den End"/> Setelah kakinya sembuh, Nommensen kembali menjadi buruh tani untuk membantu keluarganya setelah kematian ayahnya.<ref>Schreiner, Lothar "Nommensen in Selbstzeugnissen: unveröffentlichte Aufsätze, Entwürfe, und Dokumente eingeleitet, erklärt, und herausgegeben von Lothar Schreiner". Verlag an der Lottbek in Ammersbek. 1996. ISBN 3-86130-041-9</ref>
 
=== Pendidikan dan misi ===
Baris 25 ⟶ 22:
Ketika diberi izin oleh pemerintah kolonial, maka RMG menunjuk Nommensen untuk membuka pos zending baru di [[Silindung]].<ref name="Aritonang"/> Kehadiran zending ditantang oleh sebagian [[raja]] dan juga oleh sebagian besar penduduk karena mereka takut akan terkena bencana jika menyambut seorang [[asing]] yang tidak memelihara [[adat]].<ref name="van den End"/> Selain itu, sikap menolak para raja disebabkan pula oleh kekhawatiran bahwa dengan kedatangan orang-orang kulit putih ini menjadi perintis jalan bagi pemerintahan [[Belanda]] yang berkuasa pada waktu itu.<ref name="van den End"/> Sekalipun demikian, Nommensen berhasil mengumpulkan jemaatnya yang pertama di [[Huta Dame, Balige, Toba Samosir|Huta Dame]] (terjemahan dari Yerusalem - Kampung Damai).<ref name="Willem"/> Pada tahun [[1873]], ia mendirikan gedung gereja, sekolah, dan rumahnya di Pearaja dan hingga kini, Pearaja tetap menjadi pusat [[Gereja HKBP]].<ref name="Willem"/>
[[Berkas:Raja-raja.jpg|thumb|kanan|Para Raja di Tanah Batak, 1890]]
Karena kehadiran para [[misionaris]] tidak disetujui oleh sebagian raja, terutama oleh mereka yang berpihak pada Si Singamangaraja XII, maka pada bulan [[Januari 1878]], [[Singamangaraja]] sebagai raja yang, menurut pengakuannya sendiri, memiliki kedaulatan atas [[Silindung]], memberi ultimatum kepada para zendeling RMG untuk segera meninggalkan Silindung.<ref name="Kozok"/> Pada akhir Januari, Nommensen meminta kepada pemerintah kolonial Belanda untuk mengirim tentara untuk segera menaklukkan [[Tanah Batak]] yang pada saat itu masih merdeka.<ref name="Kozok"/> Pada awal tahun [[1878]], pasukan pertama di bawah pimpinan Kapten Scheltens bersama dengan Kontrolir Hoevell menuju Pearaja dan disambut oleh Nommensen. Antara Februari hingga Maret, 380 pasukan tambahan dan 100 narapidana didatangkan dari [[Kota Sibolga|Sibolga]]. [[Februari 1878]], ekspedisi militer untuk menumpaskan pasukan Singamangaraja dimulai.<ref name="ulikozok">http://ulikozok.wordpress.com/peran-zending-dalam-perang-toba/. Diakses pada Jumat 15 April 2011. Pk. 19.55 WIB</ref> Penginjil Nommensen dan Simoneit mendampingi pasukan Belanda selama ekspedisi militer yang dikenal sebagai Perang Toba I.<ref name="ulikozok"/> Keduanya menjadi penunjuk jalan dan penerjemah, serta malah dianggap ikut berperan dalam menentukan kampung-kampung mana yang akan dibakar. Sesudah ekspedisi militer berakhir, puluhan kampung, termasuk markas Singamangaraja di Bangkara dibumihanguskan. Atas jasa membantu pemerintahpe

merintah Belanda, pada [[27 Desember 1878]], Nommensen dan Simoneit menerima surat penghargaan dari pemerintah Belanda, ditambah uang tunai sebanyak 1000 gulden.<ref name="Kozok" />
 
Setelah Silindung dan Toba ditaklukkan dalam [[Perang Toba I]], ''[[Batakmission]]'' (zending Batak) mengalami kemajuan dengan pesat, khususnya di daerah Utara.<ref name="Kozok" /> Nommensen berhasil meyakinkan ratusan raja untuk berhenti mengadakan perlawanan.<ref name="Kozok" /> Tentunya, hal ini dapat terjadi setelah Nomensen meyakinkan kembali masyarakat bahwa ia bukan kaki tangan Belanda dan kedatangannya untuk membawa kebaikan.<ref name="Aritonang" /> Hal ini nampak dalam tindakan keseharian Nommensen bagi orang-orang Batak waktu itu.<ref name="Aritonang" /> Contoh beberapa raja yang akhirnya bersikap positif ialah Raja Pontas Lumbantobing ([[Sipahutar, Tapanuli Utara|Sipahutar]]), Ompu Hatobung (di [[Pansur Napitu, Siatas Barita, Tapanuli Utara|Pansur Napitu]]), Kali Bonar (di Pahae), Ompu Batu Tahan (di [[Balige, Toba Samosir|Balige]]), dan lainnya.<ref name="Aritonang" /> Pada tahun [[1881]], Nommensen memindahkan tempat tinggalnya ke kampung [[Sigumpar]], dan ia tinggal di sana sampai akhir hayatnya.<ref name="Kruger">{{id}}Muller Kruger. Sejarah Gereja di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hlm. 218.</ref> Pada tahun kematiannya, Batakmission (cikal bakal [[Huria Kristen Batak Protestan]] (HKBP) mencatat jumlah orang Batak yang dibaptis telah mencapai 180.000 orang.<ref name="Kozok" />
[[Berkas:Bangunan zending.jpg|thumb|kanan|kompleks zending di Pearaja beserta dengan sekolah, gereja, dan rumah sakit]]
Untuk menjaga tatanan hidup dari ribuan orang yang baru masuk menjadi Kristen, Nommensen menyediakan bagi mereka suatu tatanan yang baru.<ref name="van den End"/> Pada tahun [[1866]], ditetapkanlah sebuah Aturan Jemaat.<ref name="van den End"/> Aturan itu meliputi kehidupan orang Kristen di dalam jemaat maupun dalam lingkungan keluarga menyangkut ibadah, perkawinan, hukum, dan pejabat gerejawi.<ref name="van den End"/> Di samping itu, Nommensen menerjemahkan kitab [[Perjanjian Baru]] ke dalam [[bahasa Batak]].<ref name="Willem"/> Ia menerbitkan cerita-cerita Batak dan menerbitkan cerita-cerita PL.<ref name="Willem"/><ref name="Kruger"/> Ia juga berusaha untuk memperbaiki pertanian, peternakan, meminjamkan modal, dan menebus hamba-hamba dari tuannya.<ref name="Willem"/> Jasa Nommensen juga dikenang oleh orang Batak antara lain karena usahanya di bidang pendidikan dengan membuka sekolah penginjil yang menghasilkan penginjil-penginjil Batak [[pribumi]].<ref name="Willem"/> Demikian juga untuk memenuhi kebutuhan guru di sekolah, RMG bersama Nommensen membuka pendidikan guru.<ref name="Willem"/>
 
Karena kecakapan dan jasa-jasanya dalam pekerjaan penginjilan, maka pimpinan RMG, pada tahun [[1881]],mengangkat Nommensen sebagai [[Ephorus]].<ref name="van den End">{{id}}Th. van den End. 1993. Ragi Carita 2. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hlm. 175,177.</ref> Jabatan ini diembannya sampai akhir hidupnya.<ref name="Willem"/><ref name="van den End"/> Di hari ulang tahunnya yang ke-70, Nommensen mendapat gelar Doktor Honoris Causa dari [[Universitas Bonn]].<ref name="Willem"/><ref name="Kozok"/> Pada tahun [[1911]], ia memperoleh penghargaan Kerajaan Belanda dengan diangkat sebagai [[Officer Ordo Oranye-Nassau|Officier in de Orde van Oranje-Nassau]].<ref name="Kozok"/> Ia pun akhirnya mendapat gelar sebagai Rasul Orang Batak.<ref name="Willem"/>
 
=== Kematian ===