Kariadi: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Ular rihik (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
HsfBot (bicara | kontrib)
k Bot: Perubahan kosmetika
Baris 24:
Berasal dari keluarga berstrata sosial bawah tidak menurunkan semangat Kariadi untuk menuntut ilmu dan bercita-cita untuk menjadi dokter. Lahir pada 15 September 1905 di kota Malang ditengah keluarga yang sederhana. Hidupnya semakin memprihatinkan saat kedua orang tuanya meninggal dunia.
 
Tinggal di lingkungan wedana dalam pengasuhan pamannya memberi kesempatan bagi Kariadi untuk menuntut ilmu. Beliau berhasil menamatkan pendidikan Hollandsch Inlandsche School (HIS) di Malang, HIS Sidoardjo, dan lulus dari Sekolah Kedokteran untuk Pribumi di Surabaya Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS). Lingkungan perkuliahan NIAS yang berlokasi satu kompleks dengan STOVIT (Sekolah Kedokteran Gigi) mempertemukannya dengan drg. Soenarti yang kemudian menjadi kekasihnya.
 
Setelah disumpah menjadi dokter, Kariadi bekerja sebagai asisten tokoh pergerakan, dr. Soetomo, di Centrale Burgerlijke Ziekeninrichting (CBZ) selama tiga tahun. Pengabdian yang tinggi membuat dr. Kariadi setuju untuk ditugaskan ke berbagai daerah seperti Manokwari, Tanah Papua, Kroya (Banyumas) dan Martapura.
 
Jelang pernikannya dengan drg. Soenarti pada tanggal 1 Agustus 1933, terjadi wabah malaria di Manokwari. Demi keselamatan warga, Kariadi memutuskan untuk tinggal dan melakukan penelitian tentang kesehatan masyarakat Papua dalam rangka memberantas penyakit malaria dan filariasis. Pernikahan berlangsung tanpa kehadiran sosok Kariadi yang hanya diwakili sebilah keris. Bisakah Anda membayangkannya dalam pernikahan Anda sendiri?
 
Setelah itu, tepatnya 1 Juli 1942, Kariadi ditugaskan sebagai Kepala Laboratorium Malaria di RS Pusat Rumah Sakit Rakyat (Purusara), Semarang. Sebagai dokter muda, gaji 600 gulden tidak membuat keluarganya hidup mewah. (Sebagai gambaran, saat itu uang 1 gulden dapat digunakan untuk membeli 7 kg gula premium.) Tak jarang ia membantu pasien yang hanya mampu membayar jasa pengobatan dengan hasil pertanian. Bahkan ia rela memberi pengobatan secara cuma-cuma atau merogoh uang pribadi untuk membantu mereka.
 
Sebagai kepala laboratorium, pekerjaannya dekat dengan mikroskop. Ketika cedar olie atau immersion oil yang digunakan untuk pemeriksaan mikroskopik susah diperoleh, ia berusaha keras mencari bahan penggantinya. Berkat ketekunannya, pada tahun 1944 dokter Kariadi membuat minyak dari bahan daun kenanga.
 
Formula yang diberi nama Minyak Semarang itu, atas persetujuan Semarang Iji Hookoo Kai, diganti nama menjadi Oleum Promicroscopiekar. Semarang Iji Hookoo Kai (Himpunan Kebaktian Dokter Semarang) itu sendiri merupakan organisasi resmi pemerintah Indonesia yang ada di bawah pengawasan Jepang. Soekarno adalah penasihat utama organisasi ini.