Tarawangsa: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k ←Suntingan 110.137.207.136 (bicara) dibatalkan ke versi terakhir oleh Warmlaw
Baris 5:
 
== Pertunjukan ==
Sebagai alat musik gesek, tarawangsa tentu saja dimainkan dengan cara digesek. Akan tetapi yang digesek hanya satu dawai, yakni dawai yang paling dekat kepada pemain; sementara dawai yang satunya lagi dimainkan dengan cara dipetik dengan jari telunjuk tangan kiri. Kemudian, sebagai nama salah satu jenis musik, tarawangsa merupakan sebuah ensambel kecil yang terdiri dari sebuah tarawangsa dan sebuah alat petik tujuh dawai yang menyerupai [[kecapi]], yang disebut [[Jentreng]].
== ADALAH KONTOL HITAM YANG DI PADUKAN DENGAN SEGELAS SUSU YANG MENDALAM KAN ILMU KEPEJUAN YANG BERADA DALAM PELER ANDA ==
 
Kesenian Tarawangsa hanya dapat ditemukan di beberapa daerah tertentu di Jawa Barat, yaitu di daerah Rancakalong ([[Sumedang]]), Cibalong, Cipatujah ([[Tasikmalaya|Tasikmalaya Selatan]]), Banjaran ([[Bandung]]), dan [[Kanekes]] (Banten Selatan). Dalam kesenian Tarawangsa di daerah Cibalong dan Cipatujah, selain digunakan dua jenis alat tersebut di atas, juga dilengkapi dengan dua perangkat calung rantay, suling, juga nyanyian.
 
Alat musik tarawangsa dimainkan dalam laras pelog, sesuai dengan jentrengnya yang distem ke dalam laras pelog. Demikian pula repertoarnya, misalnya tarawangsa di Rancakalong terdiri dari dua kelompok lagu, yakni lagu-lagu pokok dan lagu-lagu pilihan atau lagu-lagu tambahan, yang semua berlaraskan pelog. Lagu pokok terdiri dari lagu Pangemat/pangambat, Pangapungan, Pamapag, Panganginan, Panimang, Lalayaan dan Bangbalikan. Ketujuh lagu tersebut dianggap sebagai lagu pokok, karena merupakan kelompok lagu yang mula-mula diciptakan dan biasa digunakan secara sakral untuk mengundang Dewi Sri. Sedangkan lagu-lagu pilihan atau lagu-lagu yang tidak termasuk ke dalam lagu pokok terdiri dari ''Saur'', ''Mataraman'', ''Iring-iringan'' (''Tonggeret''), ''Jemplang'', ''Limbangan'', ''Bangun'', ''Lalayaan'', ''Karatonan'', ''Degung'', ''Sirnagalih'', ''Buncis'', ''Pangairan'', ''Dengdo'', ''Angin-angin'', ''Reundeu'', ''Pagelaran'', ''Ayun Ambing'', ''Reundeuh Reundang'', ''Kembang Gadung'', ''Onde'', ''Legon'' (koromongan), dan ''Panglima''.
 
Lagu-lagu Tarawangsa di Rancakalong jauh lebih banyak jumlahnya daripada lagu-lagu Tarawangsa di Banjaran dan Cibalong. Lagu-lagu Tarawangsa di Banjaran di antaranya terdiri dari ''Pangrajah'', ''Panimang'', ''Bajing Luncat'', ''Pangapungan'', ''Bojong Kaso'', dan ''Cukleuk''. Sementara lagu-lagu Tarawangsa di Cibalong di antaranya terdiri dari ''Salancar'', ''Ayun'', ''Cipinangan'', ''Mulang'', ''Manuk Hejo'', ''Kang Kiai'', ''Aleuy'', dan ''Pangungsi''.
 
Sebagaimana telah disinggung di atas, alat musik pokok kesenian tarawangsa terdiri dari tarawangsa dan jentreng. Menurut sistem klasifikasi Curt Sachs dan Hornbostel, Tarawangsa diklasifikasikan sebagai Chordophone, sub klasifikasi neck-lute, dan Jentreng diklasifikasikan juga sebagai Chordophone, sub klasifikasi zither. Sedangkan menurut cara memainkannya, tarawangsa diklasifikasikan sebagai alat gesek dan jentreng diklasifikasi sebagai alat petik. Alat musik tarawangsa terbuat dari kayu [[kenanga]], [[jengkol]], [[dadap]], dan [[kemiri]]. Dalam ensambel, tarawangsa berfungsi sebagai pembawa melodi (memainkan lagu), sedangkan jentreng berfungsi sebagai pengiring (mengiringi lagu).
 
Pemain tarawangsa hanya terdiri dari dua orang, yaitu satu orang pemain tarawangsa dan satu orang pemain jentreng. Semua Pemain Tarawangsa terdiri dari laki-laki, dengan usia rata-rata 50 – 60 tahunan. Mereka semuanya adalah petani, dan biasanya disajikan berkaitan dengan upacara padi, misalnya dalam ngalaksa, yang berfungsi sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas hasil panen yang melimpah. Dalam pertunjukannya ini biasanya melibatkan para penari yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Mereka menari secara teratur. Mula-mula Saehu/Saman (laki-laki), disusul para penari perempuan. Mereka bertugas ngalungsurkeun (menurunkan) Dewi Sri dan para leluhur. Kemudian hadirin yang ada di sekitar tempat pertunjukan juga ikut menari. Tarian tarawangsa tidak terikat oleh aturan-aturan pokok, kecuali gerakan-gerakan khusus yang dilakukan Saehu dan penari perempuan yang merupakan simbol penghormatan bagi dewi padi. Menari dalam kesenian Tarawangsa bukan hanya merupakan gerak fisik semata-mata, melainkan sangat berkaitan dengan hal-hal metafisik sesuai dengan kepercayaan si penari. Oleh karena itu tidak heran apabila para penari sering mengalami ''trance'' (tidak sadarkan diri).
 
== Sumber rujukan ==
* [[Ganjar Kurnia]]. 2003. ''Deskripsi kesenian Jawa Barat''. Dinas Kebudayaan & Pariwisata Jawa Barat, Bandung.