Mangkuk merah: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k Membatalkan 1 suntingan oleh 36.80.89.240 (bicara).
Seajarah kemunculan
Baris 1:
'''Mangkok Merah''' merupakan sebuah tradisi dalam adat [[Dayak]] yang berfungsi sebagai alat komunikasi antar sesama [[rumpun Dayak]] serta sebagai penghubung dengan roh nenek moyang. Hanya Panglima Adat yang berwenang untuk memanggil dan berhubungan dengan para roh suci atau dewa.<ref name="john"/>
 
Adat Mangkok Merah pertamakali dirumuskan Di kota Bakana Pakana yaitu kota Karangan ibukota Kecamatan mempawah hulu sekarang. Dahulu kota Pakana Bahana adalah ibukota kerajaan Dayak Kanayatn yang bernama kerajaan Bangkule Rajakng, yaitu cikal bakal dari kerajaan Mempawah sekarang. Suatu waktu di kota Bahana Pakana Raja Patih Rumaga, yaitu raja pertama yang memimpin kerajaan Bangkule Rajakng Mengundang para pemimpin dan sesepuh adat dari penduduk orang Banana (Dayak Kanayatn sekarang), pemimpin orang Banyadu (dayak Banyuke sekarang) dan pemimpin orang Bakati (Dayak Rara sekarang), untuk membahas perubahan-perubahan tata cara adat. Para pemimpin yang diundang tersebut datang bersama para pemangku adatnya masing-masing ke kota Bahana Pakana. Selain perubahan tentang tata cara adat, salahsatu adat baru yang dibentuk adalah adat mangkok-merah (Dayak Kanayatn) atau adat Pinggatn Jaranang (Dayak Banyuke / orang Banyadu).
Pada mulanya adat ini bernama ''Mangkok Jaranang'' karena menggunakan mangkok yang diwarnai dengan [[jeringau|jaranang]]. [[Jeringau|Jaranang]] adalah sejenis tanaman akar yang mempunyai getah berwarna merah dan digunakan sebagai pewarna sebelum masyarakat Dayak mengenal cat. Akar [[jeringau|jaranang]] yang berwarna merah dioleskan pada dasar mangkuk bagian dalam sehingga kini dikenal dengan nama '''Mangkok Merah'''. Adat ini dilangsungkan apabila pada suatu kasus, misalnya ''parakng'' (bunuh) atau pelecehan seksual, pihak pelaku tidak bersedia menyelesaikan secara adat. Pihak ahli waris korban yang merasa terhina akan bersepakat, dan mungkin berakhir dengan melakukan aksi belas dendam melalui pengerah masa secara adat yang disebut ''Mangkok Merah''.<ref name="kay">F. Bahaudin Kay. Akses=4 Mei 2013. [http://yohanessupriyadi.blogspot.com/2008/03/adat-mangkok-merah-dan-pamabakng.html Adat Mangkok Merah dan Pamabakng].</ref>
 
Pada saat itu keadaan di nusantara menjadi kacau oleh kekuatan agresor Majapahit. Beberapa kerajaan besar lain di nusantara pada waktu itu telah di musnahkan oleh kerajaan agresor majapahit. Di pulau jawa, kerajaan besar yang dihancurkan adalah kerajaan sunda-Padjajaran, disumatra kekaisaran melayu- Kerajaan Malayu dan di Kalimantan kerajaan Dayak-Nan Sarunai juga dibantai oleh majapahit. Pada waktu itu berita tentang kesewenang-wenangan majapahit telah menyebar di seluruh nusantara, termasuk ke kalimantan barat. Maka pada waktu pertemuan itu tidak disia-siakan oleh Raja Patih Rumaga untuk memberitahu kepada seluruh Dayak yang pemimpinnya adalah keturunan-keturunan dari Kerajaan Bersama yang bernama Kerajaan Bawakng terdahulu, yaitu orang Bakati, Banyadu dan orang Banana sendiri. Bahwa seluruh Rakyat eks kerajaan Bawakng harus bersatu untuk menghadapi tentara majapahit apabila kelak mereka menyerang salah-satu kerajaan Dayak pecahan kerajaan Bawakng. Akhirnya seluruh pemimpin tersebut setuju dan merumuskan perangkat adat mangkok merah tersebut.
Mangkok Merah hanya digunakan jika benar-benar terpaksa. Segala macam akibat yang akan ditimbulkan akan dipertimbangkan masak-masak karena korban jiwa dalam jumlah besar sudah pasti akan berjatuhan.<ref name="john"/>
 
Akhirnya apa yang dicemaskan oleh Raja Patih Rumaga tersebut benar-benar terjadi, kelak ketika anak Raja Patih Rumaga berkuasa yaitu Raja Patih Gumantar yang nama aslinya adalah Aria Magat, Pasukan penghancur majapahit yang dipimpin oleh Patih gajah Mada benar-benar datang ke kota bahana Pakana. Patih Gajah mada Mereka membawa puluhan ribu prajurit terlatih, namun naas bagi patih Gajah Mada bahwa kedatangan mereka rupanya telah diketahui oleh para nelayan Dayak dan prajurit kerajaan Bangkule Rajakng yang di tugaskan untuk berjaga-jaga dan memantau laut sebelum muara sungai Karimawatn (sungai Mempawah sekarang). bahwa kabar kedatangan bala tentara majapahit telah tersiar ke kota raja, hingga Raja Patih Gumantar akhirnya mengedarkan mangkok merah keseluruh negeri orang Banana (Dayak kanayatn), ke seluruh negeri orang Banyadu (dayak Banyuke) dan ke seluruh negeri orang Bakati (Dayak rara). akhirnya bala bantuanpun berdatangan ke kota bahana pakana, beberapa hari sebelum puluhan ribu tentara majapahit sampai ke pusat kota bahana pakana, disana telah menanti puluhan ribu juga prajurit kayau ketiga sub-suku Dayak tadi. Melihat hal itu pula, patih gajah mada pemimpin tentara majapahit akhirnya gemetar menghadapi kesiapan pasukan perang bangsa Dayak. Pada saat itulah patih gajah mada yang licik akhirnya tidak jadi untuk menghancurkan kerajaan Bangkule Rajakng, namun kemudian berpura-pura bahwa kedatangan dia bersama puluhan ribu pasukannya adalah untuk menyatukan nusantara. Inilah sejarah awal kenapa raja Patih Aria magat diberi gelar oleh rakyatnya dengan gelar Patih Pagumantar (atau disingkat Patih Gumantar) yang artinya Patih (gelar raja Dayak jaman dulu) Penggementar, karena beliaulah satu-satunya raja di nusantara yang mampu membuat gajah mada bergemetaran hingga tidak berani menghancurkan kerajaan Bangkule Rajakng. Setelah itu Patih Gajahmada yang masih gemetaran itu akhirnya mengajukan dirinya sebagai saudara kepada Raja Aria magat (Patih Pagumantar). Dan memohon kepada raja Aria Magat (dengan beberapa imbalan) untuk membantu kerajaan Majapahit dengan mengirimkan pasukan Dayak ke negeri Siam (Thailand) guna bersama-sama dengan tentara majapahit untuk menghadapi tentara kekaisaran mongol. Sebagai tanda awal akan adanya imbalan yang dijanjikan tersebut, Patih Gajah Mada kemudian memberikan sebilah keris miliknya sendiri kepada Raja Aria Magat yaitu keris susuhan. Itulah sejarah awal bagaimana adat mangkok merah terbentuk. yaitu sebagai media komunikasi dalam persatuan rakyat Dayak penduduk eks Kerajaan Bawakng untuk menghadapi kesewenang-wenangan tentara majapahit.
 
Warna merah pada perangkat adat mangkok merah menggunakan warna sari umbi [[jeringau|jaranang]]. [[Jeringau|Jaranang]] adalah sejenis tanaman akar yang mempunyai getah berwarna merah dan digunakan sebagai pewarna sebelum masyarakat Dayak mengenal cat. Akar [[jeringau|jaranang]] yang berwarna merah dioleskan pada dasar mangkuk bagian dalam sehingga kini dikenal dengan nama '''Mangkok Merah'''.
 
== Latar belakang ==
PadaSetelah mulanyakejadian adatserangan inimajapahit bernamatersebut, ''Mangkokakhirnya Jaranang'' karena menggunakanadat mangkok yang diwarnai dengan [[jeringau|jaranang]]. [[Jeringau|Jaranang]] adalah sejenis tanaman akar yang mempunyai getah berwarna merah dan digunakan sebagaiuntuk pewarnapersatuan sebelum masyarakatklan-klan Dayak mengenal cat. Akar [[jeringau|jaranang]] yang berwarna merah dioleskan pada dasar mangkuk bagian dalam sehingga kini dikenal denganmenghadapi namakonflik '''Mangkokantar Merah'''sesamanya. Adat ini dilangsungkan apabila pada suatu kasus, misalnya ''parakng'' (bunuh) atau pelecehan seksual, pihak pelaku tidak bersedia menyelesaikan secara adat. Pihak ahli waris korban yang merasa terhina akan bersepakat, dan mungkin berakhir dengan melakukan aksi belas dendam melalui pengerah masa secara adat yang disebut ''Mangkok Merah''.<ref name="kay">F. Bahaudin Kay. Akses=4 Mei 2013. [http://yohanessupriyadi.blogspot.com/2008/03/adat-mangkok-merah-dan-pamabakng.html Adat Mangkok Merah dan Pamabakng].</ref>
 
Mangkok Merah hanya digunakan jika benar-benar terpaksa. Segala macam akibat yang akan ditimbulkan akan dipertimbangkan masak-masak karena korban jiwa dalam jumlah besar sudah pasti akan berjatuhan.<ref name="john"/>
 
Latar belakang terjadinya adat mangkok merah adalah jika suatu pelaku pelanggaran tidak bersedia menyelesaikan kesalahannya secara adat sehingga dianggap menghina dan melecahkan harkat dan martabat ahli waris korban. Akibatnya, ahli waris yang mengetahui akan mengadakan upaya pembalasan dengan mengumpulkan semua ahli waris korban melalui adat mangkok merah. Dalam peristiwa pembunuhan, apabila dalam waktu 24 jam tidak ada tanda-tanda upaya penyelesaian secara adat, pihak ahli waris korban segera menyikapinya dengan upaya pembelasan. Karena pelaku dianggap telah menentang adat, ia dianggap pantas untuk ''dihajar seperti binatang'' yang tidak beradat.<ref name="kay"/>