Edi Sedyawati: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan |
merapikan paragraf dan kalimat |
||
Baris 7:
Setelah keadaan aman, Edi diboyong keluarganya ke [[Kota Magelang|Magelang]] —ketika itu ayahnya menjadi pembantu gubernur di kota ini. Kemudian mereka pindah lagi ke [[Kota Yogyakarta|Yogyakarta]]. Bersamaan dengan perpindahan ibu kota dari Yogyakarta ke [[Daerah Khusus Ibukota Jakarta|Djakarta]], sang ayah—yang waktu itu bekerja di [[Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia|Kementrian Dalam Negeri]]—memboyongnya ke Jakarta. Di sini, Edi menyelesaikan pendidikan dasar sampai perguruan tinggi.
“Menari itu hobi, dan arkeologi itu studi,” kata mantan Dirjen Kebudayaan ini. Ia tertarik pada balet sesudah menontonnya di bioskop. Tapi, setelah terpukau oleh pemeran Abimanyu di sebuah pertunjukan wayang orang, Edi mempelajari tari Jawa dan bergabung dengan Ikatan Seni Tari Indonesia. Ayahnya, Imam Sudjahri—pengacara, redaktur koran Indonesia Raja sehabis perang, kemudian Sekjen Departemen Sosial RI—memang menginginkan dia belajar menari. Pada 1961, Edi sudah turut memperkuat misi kesenian Indonesia ke berbagai negara.
▲=== Ketertarikan pada Arkeologi dan Kesenian ===
=== Ketertarikan pada Arkeologi ===
Ketertarikannya pada benda purbakala muncul waktu SMP, setelah ia diajak ayahnya jalan-jalan ke Jawa Tengah melihat candi-candi. “Saya terpukau oleh peninggalan masa lalu dan sejak saat itu saya terobsesi untuk mempelajarinya,” kata Edi. Obsesinya tercapai setelah menempuh pendidikan jurusan arkeologi Universitas Indonesia sampai meraih gelar doktor dengan predikat magna cum laude.
Jangan heran, karena Edi memerlukan waktu lima tahun untuk menyelesaikan disertasinya, yang berjudul “Pengarcaan Ganesha Masa Kadiri dan Singhasari: Sebuah Tinjauan Sejarah Kesenian”. Termasuk untuk berburu arca Ganesha, dari Museum Nasional Jakarta ke berbagai pelosok di Jawa Tengah, sampai ke pusat-pusat dokumentasi dan benda purbakala di Belanda. Melalui dunia purbakala juga, ia meniti karier akademi sampai menjadi guru besar di almamaternya.
▲Tari dan purbakala akhirnya dapat dipertemukannya. Tatkala membuat penelitian tentang sejarah tari Jawa dan Bali, Edi menggalinya dari data arkeologi. "Karier akademi saya juga bisa mengikuti dua jalur itu,” ujarnya. Sewaktu mendirikan Jurusan Tari di Institut Kesenian Jakarta, ia memanfaatkan pengalamannya menyusun kurikulum di tempatnya mengajar, Fakultas Sastra UI. Dan, agar lebih memantapkan bidang kesenian, ia mengikuti kursus etnomusikologi di East-West Center, Honolulu, Hawaii, AS, 1975.
Sebagai arkeolog, Edi prihatin dengan apresiasi masyarakat Indonesia terhadap purbakala dan tari negerinya. “Secara umum, masyarakat masih belum mengerti tentang perlunya merawat peninggalan purbakala,” ujarnya. Sebagai penari dan pengamat tari klasik Jawa, ia tidak puas dengan perkembangan tari di Indonesia. “Kebudayaan menjurus kepada hiburan dan (budaya) populer,” kata pengagum Bung Karno dan Koentjaraningrat ini. Kalau itu dibiarkan terus, menurut Edi, kualitas bangsa Indonesia nantinya juga sekualitas hiburan saja. “Padahal, seharusnya kita menjadi bangsa yang mempunyai kemantapan pengalaman batin dan pemahaman konseptual,” ujar penerima bintang “Chevalier des Arts et Letters” dari Prancis itu.
|