Tumaluntung, Kauditan, Minahasa Utara: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 22:
== Sejarah ==
Sekitar tahun 1665, 37 orang Dotu datang dari negeri Kembuan (''Tonsea Lama'') besera para kawulanya. Pemimpin rombongan ini adalah seorang ''Tunduan'' (''Tonaas'', ''Wadian'', ''Teterusan'', ''Kumekooko'', atau ''Kumekomba'') bernama Dotu Rotti, didampingi isterinya yang bernama Karagian.
Rombongan ini berpindah dari Walantakan, Wewuringen, Kembuan (Tonsea Lama), Tinegadan si Kooko (sekarang Desa Tanggari), Saduan, Sawangan, Koyawas, ke Kadimbatu. Setelah tinggal beberapa tahun di Kadimbatu, Dotu Wagiu, adik Dotu Rotti, memboyong kawulanya berpindah ke arah barattimur dari Kadimbatu atas izin seluruh Dotu.
 
Dalam perjalanan meninggalkan Kadimbatu, rombongan Dotu Wagiu berpapasan dengan dua ekor burung yang sedang bersabung. Karena dianggap sebagai suatu pertanda ilahi, rombongan pun menghentikan perjalanan (''dumena''). Setelah memohon petunjuk dari ''Opo Empung Waidan'' (Yang Maha Mulia), Dotu Wagiu memberitahukan kepada kawulanya bahwa pertarungan kedua ekor burung itu adalah tanda bahwa mereka harus menunda perjalanan agar terhindar dari mara bahaya. Tiga hari kemudian, mereka didatangi seekor burung [[celepuk sulawesi|celepuk]] (''Manguni Rondor''), yang ditafsirkan bahwa mereka sudah boleh melanjutkan perjalanan, tetapi bukan ke arah timur melainkan ke arah barat dari Kadimbatu. Rombongan akhirnya turun ke Sungai Dinamunen, melanjutkan perjalanan ke arah utara, dan akhirnya menemukan sebuah mata air setelah menempuh jarak sejauh kurang lebih 150 km. Dotu Wagiu memutuskan untuk berhenti dan mendirikan tempat berteduh. Mata air yang mereka temui sekarang ini disebut ''Doud Tumetenden''.
 
Sementara itu di Kadimbatu, sepeninggal rombongan Dotu Wagiu, Dotu Makalew juga tergerak untuk meninjauberpindah wilayahke diarah sebelahbarat kiridari Kadimbatu, akan tetapi setelah mereka ketahui bahwa Dotu Wagiu dan rombongannya bukan ke kanantimur, melainkan ke kiribarat, maka Dotu Makalew dan rombongannya memintaberpindah untukjauh lebih ke kiri lagibarat, menelusuri kali besar Tondano, rombongan mengijinkan. Sementara dalamDalam perjalanan, tiba-tiba seekor ular hitam (''Teken ni Opo'') melintang menghalangi perjalanan mereka yang menurut kepercayaan mereka tandanya mereka tidak boleh lewat. Maka Dotu Makalew, setelah meminta petunjuk dari para leluhurnya kemudian berkata kepada rombongannya, "sudah jauh kita berjalan, sampai disini kita berhenti". Tempat itu mereka namakan Kinaengkoan, sekarang menjadi desa Kawangkoan, Kelawat Bawah.
 
Setelah rombongan Dotu Wagiu besertadan rombongannya danrombongan Dotu Makalew besertamendirikan rombongannyapemukiman menemukan tempat untuk menetapsendiri, yang tertinggal di Kadimbatu masih tetap dipimpin oleh Dotu Rotti. Merekamemimpin sepakatrombongan turunyang tersisa darimeninggalkan Kadimbatu ke kananarah timur, dengan petunjukberpatokan pada arah terbitnya Matahari, semuanya turunmatahari. Setelah menempuh perjalanan sehari mereka tiba di suatu tempat dataran yang dikelilingi pegunungan. Mereka berhenti dan membuat tempat berteduh untuk menetap. Suatu waktu, setelah kira-kira 30 meter mereka berada di tempat tersebut, pada saat mereka sedang makan bersama di tempat terbuka, dimana semua makanan dicurah pada satu tempat yang dialas dengan daun pisang, seekor burung besar terbang melintasi tempat itu, sambil mengeluarkan kotoran dan jatuh tepat di atas makanan mereka sehingga mereka tidak dapat melanjutkan makan. Atas peristiwa itu mereka menamakan tempat itu ''pata'ian ko 'ko'''. Mereka menetap disana selama 23 tahun.
 
Selama mereka menetap di sana, selalu ada saja hal-hal yang terjadi mengganggu ketentraman mereka, maka rombongan sepakat untuk pindah lagi ke sebelah utara yang jaraknya kurang lebih 500 meter. Disana mereka menemukan air terjun yang tak henti-hentinya mengeluarkan bunyi "''teng, teng, teng''", yang merupakan paduan bunyi gema air yang jatuh. Karena itu mereka akhirnya menamakan tempat itu ''Matalenteng'' yang artinya "''Bunyi Air Jatuh''".