Sekitar tahun 1665, 37 orang Dotu memboyong keluarga dan kawula mereka berpindah dari negeri Walantakan, Wewuringen, Kembuan (Tonsea Lama), Tinegadan si Kooko (sekarang Desa Tanggari), Saduan, Sawangan, dan Koyawas, ke Kadimbatu. Pemimpin rombongan besar ini adalah seorang ''Tunduan'' (''Tonaas'', ''Wadian'', ''Teterusan'', ''Kumekooko'', atau ''Kumekomba'') bernama Dotu Rotti, didampingi isterinya yang bernama Karagian.
Setelah beberapa tahun menetap di Kadimbatu, Dotu Wagiu, adik Dotu Rotti, minta diri untuk memboyong keluarga dan kawulanya berpindah ke arahsebelah timur dariselatan Kadimbatu. Dalam perjalanan, rombongan ini berpapasan dengan dua ekor burung yang sedang bertarung. Karena dianggap sebagai suatu pertanda dari alam gaib, rombongan pun menghentikan perjalanan (''dumena''). Setelah memohon petunjuk dari ''Opo Empung Waidan'' (Yang Maha Mulia), Dotu Wagiu memberitahukan kepada kawulanya bahwa pertarungan kedua ekor burung itu adalah tanda bahwa mereka harus menunda perjalanan agar terhindar dari mara bahaya. Tiga hari kemudian, mereka didatangi seekor burung [[celepuk sulawesi|celepuk]] (''Manguni Rondor''). Kedatangan dan gerak-gerik burung celepuk itu ditafsirkan sebagai petunjuk untuk melanjutkan perjalanan, bukan ke arahsebelah timurselatan melainkan ke arahsebelah barat dariutara Kadimbatu. Rombongan akhirnya turun ke Sungai Dinamunen, melanjutkan perjalanan ke arah utara, dan akhirnya menemukan sebuah mata air setelah menempuh jarak sejauh kurang lebih 150 km. Dotu Wagiu memutuskan untuk berhenti dan mendirikan pemukiman. Mata air yang mereka temukan itu kini disebut ''Doud Tumetenden''.
Sepeninggal Dotu Wagiu, Dotu Makalew tergerak untuk berpindah ke arah baratutara dari Kadimbatu. MeskipunSetelah demikianmengetahui bahwa, setelahalih-alih mengetahuiberpindah bahwake selatan, rombongan Dotu Wagiu ternyata telah menetap di sebelah baratutara Kadimbatu, Dotu Makalew memimpin keluarga dan kawulanya berpindah jauh lebih ke baratutara, menelusuri kali besar Tondano. Dalam perjalanan, seekor ular hitam (''Teken ni Opo'') tiba-tiba keluar dan berbaring melintang di jalan yang akan mereka lalui. Perilaku ular ini ditafsirkan sebagai peringatan dari alam gaib agar tidak melanjutkan perjalanan. Setelah memohon petunjuk dari roh-roh leluhur, Dotu Makalew mengumumkan kepada para pengikutnya, "sudah jauh kita berjalan, sampai di sini kita berhenti". Tempat itu mereka jadikan sebuah pemukiman dengan nama Kinaengkoan (sekarang desa Kawangkoan, Kelawat Bawah).
Para pemukim yang tersisa di Kadimbatu akhirnya memutuskan untuk berpindah ke arahsebelah timur, menuju arah terbitnya matahari. Setelah menempuh perjalanan sehari mereka tiba di suatu tempat dataran yang dikelilingi pegunungan. Mereka berhenti dan membuat tempat berteduh untuk menetap. Suatu waktu, setelah kira-kira 30 meter mereka berada di tempat tersebut, pada saat mereka sedang makan bersama di tempat terbuka, dimana semua makanan dicurah pada satu tempat yang dialas dengan daun pisang, seekor burung besar terbang melintasi tempat itu, sambil mengeluarkan kotoran dan jatuh tepat di atas makanan mereka sehingga mereka tidak dapat melanjutkan makan. Atas peristiwa itu mereka menamakan tempat itu ''pata'ian ko 'ko'''. Mereka menetap disana selama 23 tahun.
Selama mereka menetap di sana, selalu ada saja hal-hal yang terjadi mengganggu ketentraman mereka, maka rombongan sepakat untuk pindah lagi ke sebelah utara yang jaraknya kurang lebih 500 meter. Disana mereka menemukan air terjun yang tak henti-hentinya mengeluarkan bunyi "''teng, teng, teng''", yang merupakan paduan bunyi gema air yang jatuh. Karena itu mereka akhirnya menamakan tempat itu ''Matalenteng'' yang artinya "''Bunyi Air Jatuh''".
|