Pertanggungjawaban korporasi: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
Tidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 3:
Kejahatan Korporasi; kejahatan yang dilakukan oleh para karyawan atau pekerja terhadap korporasi, korporasi yang sengaja dibentuk dan dikendalikan untuk melakukan kejahatan
Pada awalnya [[korporasi]] atau badan hukum (''rechtpersoon'') adalah subjek yang hanya dikenal di dalam hukum perdata. Apa yang dinamakan badan hukum itu sebenarnya adalah ciptaan hukum, yaitu dengan menunjuk kepada adanya suatu badan yang diberi status sebagai subjek hukum, di samping subjek hukum yang berwujud manusia alamiah (''natuurlijk persoon''). Dengan berjalannya waktu, pesatnya pertumbuhan ekonomi dunia yang mengarah ke globalisasi di mana memberikan peluang yang besar akan tumbuhnya [[perusahaan-perusahaan transnasional]], maka peran dari korporasi makin sering kita rasakan bahkan banyak memengaruhi sektor-sektor kehidupan manusia. Dampak yang kita rasakan menurut sifatnya ada dua yaitu dampak positif dan dampak negatif. Untuk yang berdampak positif, kita sependapat bahwa itu tidak menjadi masalah namun yang berdampak negatif inilah yang saat ini sering kita rasakan.
Tahun [[1984]], terjadi suatu tragedi yang menggemparkan dunia
Tragedi Bhopal hanyalah sebagian kecil dari peristiwa yang diakibat oleh kegiatan korporasi di dunia ini. Masih banyak lagi contoh-contoh yang menunjukkan dampak negatif dari kegiatan korporasi. Di [[Indonesia]] mungkin peristiwa yang masih hangat yaitu peristiwa munculnya sumber [[lumpur]] di [[
'''[[Kejahatan Korporasi]]''' (''[[Corporate Crime]]'')
Akibat semakin dirasakannya dampat negatif yang disebabkan oleh kegiatan korporasi, maka negara-negara maju khususnya yang perekonomiannya baik mulai mencari cara untuk bisa meminimalisir atau mencegah dampak tersebut
Dalam perjalanannya pemikiran mengenai ''[[corporate crime]]'', banyak menimbulkan pro dan kontra di kalangan ahli hukum khususnya hukum pidana. Di hukum pidana ada doktrin yang berkembang yaitu doktrin [[''universitas delinquere non potest'']] (korporasi tidak mungkin melakukan tindak pidana), ini dipengaruhi pemikiran, bahwa keberadaan korporasi di dalam hukum pidana hanyalah fiksi [[hukum]] yang tidak mempunyai mind, sehingga tidak mempunyai suatu nilai moral yang disyaratkan untuk dapat dipersalahkan secara pidana (unsur kesalahan). Padahal dalam suatu delik/Tindak pidana mensyaratkan adanya kesalahan (''mens rea'') selain adanya perbuatan (''actus reus'') atau dikenal dengan [[''actus non facit reum, nisi mens sit rea'']].
Namun masalah ini sebenarnya tidak menjadi masalah oleh kalangan yang pro terhadap pemikiran ''corporate crime''. Menurut '''[[Mardjono Reksodiputro]]''' ada dua hal yang harus diperhatikan dalam menentukan tindak pidana korporasi yaitu, pertama tentang perbuatan pengurus (atau orang lain) yang harus dikonstruksikan sebagai perbuatan korporasi dan kedua tentang kesalahan pada korporasi. Menurut pendapat dia, hal yang pertama untuk dapat dikonstruksikan suatu perbuatan pengurus adalah juga perbuatan korporasi maka digunakanlah “asas identifikasi” . Dengan asas tersebut maka perbuatan pengurus atau pegawai suatu korporasi, diidentifikasikan (dipersamakan) dengan perbuatan korporasi itu sendiri. Untuk hal yang kedua, memang selama ini dalam ilmu hukum pidana gambaran tentang pelaku tindak pidana masih sering dikaitkan dengan perbuatan yang secara fisik dilakukan oleh pembuat (''fysieke dader'') namun hal ini dapat diatasi dengan ajaran
Di negara-negara [[Common Law System]] seperti [[Amerika Serikat|Amerika]], [[Inggris]], dan [[Kanada]] upaya untuk membebankan pertanggungjawaban pidana korporasi (''corporate criminal liability'') sudah dilakukan pada saat [[Revolusi Industri]]. Menurut '''[[Remy Sjahdeini]]''' ada dua ajaran pokok yang menjadi bagi pembenaran dibebankannya pertanggungjawaban pidana kepada korporasi. Ajaran-ajaran tersebut adalah ''doctrine of strict liability'' dan [[''doctrine of vicarious liability'']]. Berdasarkan ajaran ''strict liability'' pelaku [[tindak pidana]] dapat diminta pertanggungjawabannya tanpa disyaratkannya adanya kesalahan, sedangkan menurut ajaran ''vicarious liability'' dimungkinkan adanya pembebanan pertanggungjawaban pidana dari tindak pidana yang dilakukan, misalnya oleh A kepada B.
Referensi:
- Reksodiputro, Mardjono. Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan. (1997)
- Sahetapy. Kejahatan Korporasi. (1993)
- Setiyono. Kejahatan Korporasi: analisis viktimologi dan pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana indonesia. (2005)
- Sjahdeini, Remy. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. (2006)
|