Masyarakat adat Ngata Toro: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
→Kearifan Lokal dan Konservasi Alam: Menambahkan referensi |
Menambahkan referensi |
||
Baris 20:
Dalam mengatur dan memanfaatkan sumber daya alam, masyarakat adat Ngata Taro selalu berpegang pada [[tradisi]] [[leluhur]] dan [[kearifan lokal]] yang dikelompokkan menjadi dua, yaitu ''toipetagi'' (larangan) dan ''toipopalia'' (pantangan). ''Toipetagi'' (larangan) meliputi: tidak diperkenankan membuka hutan atau mengolah [[hutan]] di mana ada mata air ‘''ue ntumu''’, mata air ‘''ue bohe''’; larangan memangkas dan menebang pohon yang tumbuh di palungan sungai atau kali-kali kecil yang ada dalam hutan atau pun kali kecil yang melewati pemukiman penduduk; dilarang menebang habis pohon yang diketahui mempunyai khasiat obat tradisional seperti [[pohon beringin]] dan [[melinjo]]; dilarang menebang pohon/membuka lahan perkebunan di daerah kemiringan yang terjal; larangan keras pembukan lahan di ''Wana ngkiki'' dan ''Wana;'' dilarang membuka kebun di bekas ''Pangale, Oma, Balingkea,Pohawa pongko'' orang lain. Sedangkan ''toipopalia'' (pantangan) meliputi: dilarang membawa hasil hutan seperti [[Rotan]], pandan hutan, bambu mentah dalam jumlah yang banyak ke rumah melewati persawahan pada masa padi dalam keadaan berbuah, dilarang mengilir rotan di [[sungai]] pada masa [[padi]] akan keluar buah, karena akan mempengaruhi keberhasilan panen (buah padi banyak yang hampa/kurang berisi); larangan membuka hutan di mana diketahui ada pohon damar; larangan menebang kayu yang diketahui sebagai makanan pokok burung-burung dalam hutan.<ref name=":3" />
== '''Sanksi
Aturan-aturan adat tersebut memiliki konsekuensi atau sanksi apabila dilanggar oleh masyarakat adat Ngata Taro. Dalam penelitian Mahfud dan Tohake juga mengungkapkan beberapa sanksi adat yang akan diterima oleh pelanggar.
== Hubungan masyarakat adat Ngata Toro dengan pemerintah ==
|