Masyarakat adat Ngata Toro: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Abdullah Faqih (bicara | kontrib)
Abdullah Faqih (bicara | kontrib)
Menambahkan referensi
Baris 20:
Dalam mengatur dan memanfaatkan sumber daya alam, masyarakat adat Ngata Taro selalu berpegang pada [[tradisi]] [[leluhur]] dan [[kearifan lokal]] yang dikelompokkan menjadi dua, yaitu ''toipetagi'' (larangan) dan ''toipopalia'' (pantangan). ''Toipetagi'' (larangan) meliputi: tidak diperkenankan membuka hutan atau mengolah [[hutan]] di mana ada mata air ‘''ue ntumu''’, mata air ‘''ue bohe''’; larangan memangkas dan menebang pohon yang tumbuh di palungan sungai atau kali-kali kecil yang ada dalam hutan atau pun kali kecil yang melewati pemukiman penduduk; dilarang menebang habis pohon yang diketahui mempunyai khasiat obat tradisional seperti [[pohon beringin]] dan [[melinjo]]; dilarang menebang pohon/membuka lahan perkebunan di daerah kemiringan yang terjal; larangan keras pembukan lahan di ''Wana ngkiki'' dan ''Wana;''  dilarang membuka kebun di bekas ''Pangale, Oma, Balingkea,Pohawa pongko'' orang lain. Sedangkan ''toipopalia'' (pantangan) meliputi: dilarang membawa hasil hutan seperti [[Rotan]], pandan hutan, bambu mentah dalam jumlah yang banyak ke rumah melewati persawahan pada masa padi dalam keadaan berbuah, dilarang mengilir rotan di [[sungai]] pada masa [[padi]] akan keluar buah, karena akan mempengaruhi keberhasilan panen (buah padi banyak yang hampa/kurang berisi); larangan membuka hutan di mana diketahui ada pohon damar; larangan menebang kayu yang diketahui sebagai makanan pokok burung-burung dalam hutan.<ref name=":3" />
 
== '''Sanksi adatAdat''' ==
Aturan-aturan adat tersebut memiliki konsekuensi atau sanksi apabila dilanggar oleh masyarakat adat Ngata Taro. Dalam penelitian Mahfud dan Tohake juga mengungkapkan beberapa sanksi adat yang akan diterima oleh pelanggar.{{cn}} Beberapa di antaranya adalah kepemilikan yang tidak berdasarkan hukum adat dikenakan sanksi adat berupa ''Tolu Ongu, Tolu Mpulu, Tolu Ngkau'' (tiga ekor hewan kerbau atau sapi, tiga puluh dulang, dan tiga lembar kain ''Mbesa'') yang apabila dirupiahkan bernilai 5 juta rupiah; pengelolaan hasil hutan [[kayu]], [[rotan]], pakanangi, gaharu, dan damar[[Damar (pohon)]] yang tidak berdasarkan ketentuan [[hukum adat]] dikenakan sanksi adat berupa ''Tolu Ongu, Tolu Mpulu, Tolu Tigkau'' (tiga ekor hewan [[kerbau]] atau [[sapi]], 30 dulang, dan 30 lembar kain Mbesa); pemasangan jerat untuk hewan yang dilindungi (anoa dan babi rusa), dikenakan sanksi adat yaitu ''Tolu Ongu, Tolu Mpulu, Tolu Ngkau.'' (Tiga ekor hewan kerbau atau sapi, 30 dulang, 30 (kain Mbesa); penangkapan [[ikan]] yang menggunakan alat kimia, strom, racun, dikenakan sanksi adat: ''Rongu, Rompulu, Rongkau'' (dua ekor kerbau atau sapi, 20 dulang, 2 lembar kain Mbesa), setara dengan 3 juta rupiah; penggunaan senjata api, senapan angin, bedil dikenakan sanksi adat yaitu: ''Hangu, Hampulu, Hongkau'' (Satu ekor hewan kerbau atau sapi, 10 dulang, satu lembar kain Mbesa) yang apabila dirupiahkan sekitar 1,5 juta rupiah.<ref name=":2" />
 
== Hubungan masyarakat adat Ngata Toro dengan pemerintah ==