Masyarakat adat Ngata Toro: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Abdullah Faqih (bicara | kontrib)
Mendeskripsikan sesuatu
Abdullah Faqih (bicara | kontrib)
Menambahkan referensi
Baris 7:
 
== '''Tata Kelola Kawasan Konservasi''' ==
Penetapan status sebuah kawasan menjadi [[Kawasan konservasi]] bukan berarti membuat habitat dan keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya terlindungi dengan baik. Kawasan-kawasan konservasi di seluruh Indonesia masih memiliki masalah yang mengancam kelestariannya. Salah satu ancaman tersebut adalah perilaku masyarakat lokal yang memanen hasil alam secara tidak terkendali dan cenderung eksploitatif, seperti penebangan liar, penyerobotan dan konversi lahan, penangkapan hewan langka, dan lain-lain. Ancaman tersebut terus berlangsung manakala [[pemerintah]] menetapkan kawasan tersebut menjadi kawasan konservasi. Alih-alih untuk melindungi [[Keanekaragaman hayati]] di dalam kawasan, kebijakan kawasan konservasi tersebut justru menimbulkan konflik dengan masyarakat lokal. Salah satu konflik yang timbul dari tata kelola konservasi adalah akibat ketidaksamaan persepsi akan konservasi itu sendiri. Masyarakat tidak atau belum sepenuhnya mengerti akan maksud kehadiran sebuah kawasan konservasi di daerah mereka. Kebanyakan dari mereka juga menyangka akan sangat dirugikan oleh adanya kawasan konservasi di daerah mereka.<ref name=":4">Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 1999. Kesepakatan Konservasi Masyarakat dalam Pengelolaan Kawasan Konservasi. Dilihat melalui <nowiki>http://www.rareplanet.org/sites/rareplanet.org/files/PNACM597.pdf</nowiki></ref>
 
Konflik tersebut sangat sulit dihindari mengingat kepentingan masyarakat lokal kerap kali berbenturan dengan kepentingan pemerintah. Adalah rahasia umum bahwa konflik sosial kehutanan merupakan persoalan lama yang menjadi bagian dari pengelolaan hutan (termasuk kawasan hutan konservasi) di Indonesia. Keberadaan kawasan konservasi di seluruh Indonesia memang selalu melakat konflik di dalamnya. Tidak sedikit di antara konflik-konflik sosial tersebut yang berujung menjadi konflik [[Agraria]]. Apabila dilacak lebih jauh, konflik pengelolaan kawasan konservasi sudah bermula sejak awal industri kehutanan didesain. Sebab, saat Hak Pengelolaan Hutan (HPH) direncanangkan pada awal 1970-an, pemerintah tidak sempat memikirkan, atau sengaja mengabaikan, keberadaan masyatakat lokal di sekitar kawasan hutan.  Padahal hutan bukan hanya suatu tegakan kayu dan kehidupan [[fauna]] di dalamnya. Hutan merupakan suatu [[Ekosistem]] sosial politik yang merupakan medan tempur berbagai kepentingan sumber daya alam.<ref>Cahyono, Eko. 2012. Konflik Kawasan Konservasi dan Kemiskinan Struktural. Dilihat melalui <nowiki>http://www.akbartandjunginstitute.org/images/pdf/73544.pdf</nowiki></ref>
Baris 27:
 
Untuk menjembatani kearifan lokal masyarakat dengan kebijakan-kebijakan pemerintah, pemerintah menciptakan program KKM (Kesepakatan Konservasi Masyarakat) atau ''Community Conservation Agreement''. KKM menjadi alat untuk melaksanakan dan mengendalikan proses pelimpahan wewenang pengelolaan [[sumber daya alam]] dari pemerintah kepada masyarakat. KKM juga berfungsi untuk membagi tanggung jawab pengelolaan sumber daya alam di antara para pihak, menjamin diakuinya hak-hak pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan membuktikan bahwa kedua belah pihak saling mengakui dan menghormati kehadiran masing-masing. Melalui KKM, proses di mana para pihak yang berkepentingan dapat bertemu untuk saling mengenal, saling menyampaikan aspirasi dan saling menyesuaikan, termasuk dalam hal meredam konflik di lapangan dan membawanya ke meja perundingan. Dalam bahasa sederhana, KKM dapat menjadi sarana untuk mengakomodasi kepentingan kedua belah pihak –pemerintah dan masyarakat lokal– sehingga mampu menciptakan hubungan yang harmonis untuk mengoptimalkan upaya konservasi kawasan.
 
Kendati keberadaan KKM sangat penting, tidak semua kawasan [[Konservasi]] di Indonesia, termasuk taman nasional, menerapkan konsep KKM. Kearifan lokal masyarakat juga tidak jarang diabaikan atau justru sengaja diabaikan oleh pemerintah. Alhasil, masih banyak ditemukan sejumlah konflik yang terjadi antara pemerintah dengan masyarakat lokal terkait pengelolaan kawasan konservasi. Menurut Departemen Kehutanan (2007), di hampir seluruh taman nasional di Indonesia yang berjumlah 50-an lembaga, selalu melekat di dalamnya konflik. Beberapa contoh konflik di kawasan konservasi (c.q. taman nasional) yang berlarut-larut terjadi di kawasan [[Taman Nasional Ujung Kulon]] [[Banten]], [[Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung]] [[Sulawesi Selatan]], [[Taman Nasional Bukit Duabelas]] [[Jambi]], [[Taman Nasional Gunung Halimun Salak]] [[Jawa Barat]], dan kawasan taman nasional lainnya. Konflik-konflik tersebut sangat meresahkan sebab mengganggu upaya-upaya konservasi yang digagas oleh pemerintah. Untuk meredamnya, pemerintah harus lebih memperhatikan keberadaan masyarakat lokal berikut kearifan lokal yang mereka miliki. Pun masyarakat lokal, harus turut memperhatikan upaya-upaya konservasi kawasan yang diinisiasi oleh pemerintah.<ref name=":4" />
 
[[Kearifan lokal]] yang dimiliki masyarakat adat Ngata Toro memiliki peran penting dalam memelihara dan menjaga [[Kawasan konservasi]] [[Taman Nasional Lore Lindu]], [[Sulawesi Tengah]]. Sejak tahun 2000, pemerintah secara resmi memberikan otonomi kepada masyarakat adat Ngata Toro untuk ikut merencanakan dan memantau pemanfaatan [[sumber daya alam]] di kawasan hutan [[Taman Nasional Lore Lindu]].<ref name=":3" /> Pemberian otonomi tersebut tidak terlepas dari kearifan lokal yang dimiliki masyarakat adat Toro sebagaimana yang dikemukakan oleh Fremerey bahwa penguasaan, distribusi dan penggunaan pengetahuan masyarakat adat Toro memungkinkan untuk mengembangkan pola pembelajaran secara organisasional sebagai prasyarat untuk pengelolaan hutan secara berkelanjutan.<ref name=":3" /> Pemberian otonomi oleh pemerintah kepada masyarakat adat Ngata Toro merupakan bentuk perhatian [[pemerintah]] yang “mengakui” keberadaan masyarakat lokal. Namun demikian, hal itu tidak serta merta membuat masyarakat adat tersebut bebas memanfaatkan [[sumber daya alam]] yang ada di sekitar kawasan. Masyarakat Adat Ngata Toro juga perlu “mengakui” keberadaan pemerintah sebagai ''stakeholder'' yang juga memiliki kepentingan atas kawasan tersebut, terutama berkaitan dengan upaya-upaya konservasi. Sikap “saling mengakui” antar-keduanya ditunjukan dengan disepakatinya KKM (Kesepakatan Konservasi Masyarakat).