Etnografi siber: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
HsfBot (bicara | kontrib)
k Bot: Perubahan kosmetika
Baris 9:
Penggunaan ini relevan karena internet telah berkembang lebih dari sarana interaksi dan komunikasi melainkan dunia kultural. Pada ranah  maya internet dapat ditemukan beragam kultur. Online game culture (T. L. Taylor, 2011; D. Williamsdkk., 2006), cyberactivism (Ayers, 2006; McCaughey & Ayers, 2013), hack culture , mobile culture (Goggin, 2012) merupakan beberapa kultur yang berkaitan interaksi manusia di dunia maya internet. Hack culture merupakan kultur yang dibangun oleh komunitas hacker dan programer komputer. Cyberactivism merujuk kepada penggunaan internet sebagai saran gerakan sosial atau kegiatan aktivisme (McCaughey & Ayers, 2013). Online game culture merupakan kultur yang tercipta dari interaksi antar pemain sebuah permainan atau antar permainan online (Shaw, 2010). Varian kultur ini beragam sesuai dengan permaian online yang dimainkan serta interaksi antar pemainan. Mobile culture merupakan kultur yang tercipta dari penggunaan telepon seluler (Goggin, 2012; Hjorth, 2008). Kompleksitas mobile culture bertambah kompleks seiring terintergrasinya jaringan internet global ke dalam perangkat telepon seluler.  
 
Tentu etnografi tidak dapat diterapkan secara utuh seperti penerapannya pada ranah kehidupan nyata sosial. Perlu ada penyesuaian agar metode ini dapat diterapkan untuk riset di dunia maya internet (Hine, 2000). Tidak ada kehadiran fisik pada ranah maya internet merupakan penyebabnya. Semua terjadi melalui representasi teks, gambar, video, dan audio yang hadir di layar komputer.  Tidak ada komunikasi tatap muka langsung di ranah maya ini. Semua termediasi melalui jaringan internet global. Hal ini tentu menjadi hambatan bagi peneliti etnografi konvensional yang ingin terlibat secara menyeluruh dalam seluruh aktivitas subyek penelitiannya (Hine, 2000; Murthy, 2008). Pembicaraan komunitas yang teliti hanya dapat diamati melalui ruang percakapan komunitas seperti chatroom, thread internet forum, grup Facebook. Komunikasi dua arah antar pengguna atau anggota komunitas juga kurang dapat diamati karena proses ini cenderung menggunakan sarana komunikasi yang bersifat privat seperti private chat atau private message.  Jika ada komunikasi dua arah antar pengguna yang dapat diamati, maka hal tersebut cenderung terbatas karena tidak semua pengguna mau membuka isi komunikasi yang dilakukan.
 
Tantangan lain yang harus dihadapi oleh periset etnografi di ranah ini yakni mengenai pengumpulan data. Ketidakkehadiran fisik menuntut periset untuk melakukan wawancara, dan observasi yang termediasi (Bengry-Howell, Wiles, Nind, & Crow, 2011; Kozinets, 2010). Meski dalam kondisi-kondisi tertentu wawancara dapat dilakukan secara tatap muka, ada kencenderungan proses pengumpulan data ini dilakukan menggunakan korespondensi email atau aplikasi chatting (García-Álvarezdkk., 2015; Kozinets, 2002, 2006). Observasi juga hanya dapat dilakukan dengan mengamati percakapan yang tampak terjadi di ruang terbuka milik komunitas (García-Álvarezdkk., 2015; Kozinets, 2002, 2006). Minim gimik dan raut wajah yang mampu diamati dalam proses komunikasi. Cermatan dapat dilakukan pada penggunaan simbol dan tanda yang dari percakapan, interaksi, komunikasi, dan segenap kehidupan dalam komunitas..
 
Segenap tantangan ini bukan menjadi penghalang bagi periset etnografi di dunia maya internet. Hal justru harus dijawab dengan menghadirkan sebuah metode etnografi di dunia maya internet yang cemat (Garciadkk., 2009). Upaya ini penting dilakukan karena di masa yang akan datang, dunia maya internet bukan sebuah ranah yang terpisah dari kehidupan nyata sosial manusia. Ruang dan waktu ini berbaur dengan realitas kehidupan manusia (Lifton & Paradiso, 2010). Hal ini dapat dilihat dari peningkatan jumlah pengguna dan waktu penggunaan internet setiap tahunnya. Demikian juga dengan kultur para pengguna internet yang bergerak dinamis seiring dengan perkembangan teknologi dan dinamika sosial yang terjadi diantara pengguna (Garciadkk., 2009).
 
Beberapa riset telah menunjukan telah menunjukan perubahan perilaku dan kultural yang terjadi pada pengguna  internet. Misal, para pembaca berita terutama di dunia maya internet cenderung menjadi pembaca cepat  . Mereka bukan tergolong sebagai orang yang membaca secara mendalam, melainkan hanya membaca inti pemberitaan yang tersaji di judul dan halaman pertama Internet. Jurnalisme di dunia ini juga perlahan berubah. Tuntutan ini mendorong ada media massa yang lebih menekan kepada konsep what, when, dan where dibanding memenuhi konsep what, when, where, who, why, whom, dan how (Anggoro, 2012). Keadaan ini dipicu kemelimpahan informasi yang ada di dunia maya internet sehingga mendorong untuk dapat mengonsumsi informasi sebanyak mungkin.
Baris 37:
 
== Dimensi-dimensi etnografi<ref name=":0" /> ==
Meski menekankan kepada sudut pandang subyek penelitian/native views, sebuah penelitian etnografi tidak dapat dilepaskan dari sudut pandang peneliti. Hal ini tidak dapat dihindari karena seorang peneliti memiliki kognisi bawan walaupun ia dituntut mampu menghadirkan sajian yang murni.  Tidak heran bahwa dalam penelitian etnografi dikenal ada dua dimensi yakni dimensi emik dan dimensi etik (Amady, 2014; Neuman, 2013; Spradley, 1997). Dimensi emik berkaitan dengan usaha menjelaskan fenomena kultural yang terjadi dalam perspektif native views (Denzin & Lincoln, 2005a; Spradley, 1997). Berbeda dengan dimensi etik yang berkaitan dengan perspektif ekternal yang mencoba memahami fenomena kultural dalam masyarakat yang diteliti (Denzin & Lincoln, 2005a; Spradley, 1997).
 
Sebuah penelitian etnografi akan menyajikan kedua dimensi. Hanya tingkat kecenderungan yang dari sebuah penelitian yang membedakannya dengan penelitian lain. Ada penelitian etnografi yang lebih menekankan kepada dimensi emik, tetapi ada juga riset yang lebih memberikan perhatian pada dimensi etik (Amady, 2014). Pada penelitian etnografi yang lebih kuat dimensi etik bukan berarti bahwa penelitian tersebut mengabaikan native views yang menjadi titik tekan etnografi, melainkan lebih menekankan penilaian terhadap data yang diperoleh dari lapangan berdasarkan subyektivitas peneliti. Peneliti etnografi dari eropa mencoba menjelaskan kehidupan kultural di negara-negara jajahan dengan perspektifnya sendiri (Denzin & Lincoln, 2005a). Mereka tidak mengabaikan native views pihak yang diteliti, tetapi menggunakan sudut pandangnya untuk menilai fenomena yang terjadi  .
 
Cermatan awal yang dapat digunakan untuk melihat kecenderungan ini dapat diamati dari metode pengumpulan data. Jika peneliti memilih untuk terlibat menyeluruh dalam seluruh aktivitas sosial yang terjadi pada fenomena yang teliti, maka ada kemungkinan bahwa dimensi emik yang akan menguat (Bryman, 2012; Hammersley & Atkinson, 2007; Spradley, 1997). Jika peneliti memilih untuk mengurangi keterlibatan dalam penelitian yang dilakukannya, maka ada peluang dimensi emik dari sebuah penelitian juga berkurang (Bryman, 2012; Hammersley & Atkinson, 2007; Spradley, 1997). Semakin jenuh peneliti bersama subyek penelitian maka semakin tidak mudah peneliti untuk keluar dari cara pandang subyek yang diteliti. Pemikiran ini didasarkan pandangan bahwa tingkat keterlibatan peneliti cenderung berkaitan dengan sikap peneliti menanalisis dan menyajikan penelitian.
 
Asumsi ini tentu tidak bersifat kaku karena ada hal lain yang ikut mempengaruhi. Relevansi etik atau emik juga berkaitan dengan paradigma yang dipilih (Bryman, 2012; Hammersley & Atkinson, 2007; Kriyantono, 2012; Neuman, 2013). Ketika seorang peneliti memilih bernaung dalam paragdima kritis maka tidak dapat dipungkiri bahwa dimensi etik yang akan menguat (Amady, 2014; Kriyantono, 2012). Ragam riset ini telah melekatkan semangat kritis pada hasrat dan niat peneliti. Periset etnografi telah memiliki asumsi awal bahwa terjadi ketimpangan atau kesenjangan struktur, kelas, dan kekuasaan yang terjadi dalam sebuah fenomena kultural (Kriyantono, 2012; Neuman, 2013). Ia berusaha memahami realitas kultural yang ada kemudian mencoba mengungkapnya dalam sudut pandang kritis.  Penelitian yang seperti ini ini tentu menunjukan bahwa dimensi etik lebih kuat dibanding dimensi emik. Berbeda dengan penelitian yang berpanyung dibawah paradigma konstruktivis atau interpretatif maka akan cenderung menguatkan dimensi emik. Paradigma ini mendorong menyajikan realitas dari sudut pandang pemilik kultural. Ia diharapkan berusaha mengurangi keberpihakan atau kecenderungan penilaian tetentu dalam penelitiannya
 
Kedua dimensi ini pasti ada dalam penelitian etnografi. Bukan untuk meniadakan salah satu diantaranya sama dengan menghilangkan keduannya (Amady, 2014). Etik tidak mungkin mampu ada tanpa kehadiran emik. Hal serupa terjadi pada emik yang tidak mungkin dapat tersaji tanpa dimensi etik. Emik membutuhkan etik untuk memberikan makna dan nilai, tetapi etik juga membutuhkan emik sebagai pinjakan. Keduanya saling melengkapi meski juga berkontestasi untuk memberi warna dominan dalam sebuah penelitian etnografi.  Hal serupa terjadi penelitian netnografi sebagai sebuah metode penelitian yang berpijak pada etnografi. Kecenderungan emik atau etik dalam penelitian netnografi dapat diperhatikan pada contoh-contoh riset ini dalam berbagai publikasi jurnal maupun buku.
 
== Netnografi sebuah pengantar<ref name=":0" /> ==
Baris 124:
== Referensi Etnografi Dunia Maya Internet ==
 
Kozinets, R. V. (1998). On netnography: Initial reflections on consumer research investigations of cyberculture. ''Advances in consumer research, 25''(1), 366-371.
 
Kozinets, R. V. (1999). E-tribalized marketing?: The strategic implications of virtual communities of consumption. ''European Management Journal, 17''(3), 252-264.
 
Kozinets, R. V. (2002). The field behind the screen: Using netnography for marketing research in online communities. ''Journal of marketing research, 39''(1), 61-72.
 
Kozinets, R. V. (2006). Netnography 2.0. dalam R. W. Belk (Ed.), ''Handbook of qualitative research methods in marketing''. Northampton: Edward Elgar Publishing.