Anti-pluralisme: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
menetralkan dan mengensiklopediskan |
Tidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 5:
Dalam politik, anti pluralisme tidak jarang digunakan untuk menjatuhkan lawan sekaligus menggalang dukungan publik, dan pada umumnya hal ini dilakukan secara halus dan tersamar. Dalam konteks [[politik Indonesia]], dikotomi pri dan non-pri sudah sejak lama ada. Dikotomi dapat dengan mudah digunakan oleh penguasa untuk menarik simpati publik atau rakyat yang identik dengan kelompok mayoritas rakyat kecil. Umumnya "pri" digeneralisasikan sebagai mayoritas yang secara ekonomi lemah (rakyat kecil) sedangkan non pri, sekalipun sudah menjadi warga negara Indonesia, bagaimanapun juga tetaplah orang asing pendatang yang secara ekonomi kuat, kaya raya dan eksklusif, bahkan mampu mengendalikan perekonomian negara. Dikotomi anti pluralisme seperti ini adalah bahan bakar ampuh untuk menyulut emosi massa yang dapat dimanipulasi untuk memenuhi ambisi politik. Politikus yang menggunakan taktik ini dapat dikategorikan sebagai [[populisme|populis]] (dalam pengertian negatif). Dalam buku "What is Populism?" yang ditulis oleh Jan-Werner Mueller, ditulis di halaman 3 bahwa populis selalu anti pluralis. Populis mengklaim bahwa mereka dan mereka sajalah yang mewakili rakyat. Hal ini membahayakan demokrasi karena demokrasi mempersyaratkan pluralisme dan pengakuan perlunya hidup berdampingan dalam kemajemukan secara adil dan setara. Anti pluralisme mengusung ide bahwa rakyat adalah tunggal, homogen dan otentik (yaitu pribumi). Akan tetapi, filsuf [[Jürgen Habermas]] berpendapat bahwa hal ini adalah fantasi, dan fantasi ini berbahaya karena anti pluralisme yang dianut populis mendorong terjadinya konflik, perpecahan dan [[polarisasi]].
== Catatan kaki ==
{{reflist}}
[[Kategori:Pluralisme]]
|