Tionghoa Benteng: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 2:
{{noref}}
[[Berkas:Cina Benteng.JPG|thumb|Pernikahan pada kalangan Tionghoa Benteng.]]
'''Tionghoa Benteng''' adalah panggilan yang mengacu kepada masyarakat keturunan [[Tionghoa]] yang tinggal di daerah [[Tangerang]], provinsi Banten. Nama "Tionghoa Benteng" berasal dari kata "Benteng", nama lama kota Tangerang. Saat itu terdapat sebuah benteng Belanda di kota Tangerang di pinggir sungai [[Cisadane]], difungsikan sebagai pos pengamanan mencegah serangan dari Kesultanan Banten, benteng ini merupakan benteng terdepan pertahanan Belanda di pulau Jawa. Masyarakat Tionghoa Benteng telah beberapa generasi tinggal di Tangerang yang kini telah berkembang menjadi tiga kota/kabupaten yaitu, Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Selatan. Mereka adalah komunitas Tionghoa Peranakan terbesar di Indonesia.
== Sejarah ==
[[Berkas:AMH-4578-NA Map of the fort at Tangerang.jpg|thumb|Denah Benteng Tangerang tertanggal 1709]]
Menurut kitab sejarah Sunda yang berjudul Tina Layang Parahyang (Catatan dari Parahyangan), keberadaan komunitas Tionghoa di Tangerang dan Batavia sudah ada setidak-tidaknya sejak 1407 NI. Kitab itu menceritakan tentang mendaratnya rombongan pertama dari dataran Tiongkok yang dipimpin Tjen Tjie Lung alias Halung di muara Sungai Cisadane, yang sekarang berubah nama menjadi Teluk Naga.
Warga Tionghoa Benteng sempat bersitegang dengan penduduk pribumi setelah Proklamasi Kemerdekaan. Pada 23 Juni 1946, rumah-rumah etnis Tionghoa di Tangerang diobrak-abrik. Penduduk yang didukung oleh kaum Republik menjarah rumah-rumah warga Tionghoa Benteng. Bahkan meja abu, yang merupakan bagian dari ritual penghormatan leluhur tionghoa, ikut dicuri. Kemarahan penduduk pribumi dipicu seorang tentara NICA dari etnis Tionghoa menurunkan bendera Merah Putih dan menggantinya dengan bendera Belanda. Rosihan Anwar dalam harian Merdeka 13 Juni 1946 menulis pada saat itu hubungan warga Tionghoa Benteng dan pribumi mengalami kemunduran paling ekstrem. Terlebih setelah [[Pao An Tui]], kelompok pemuda Tionghoa Benteng pro-NICA, mengirim pasukan bersenjata dan mengungsikan masyarakat Tionghoa Benteng yang selamat ke Batavia.<ref>Donald E. Willmott, The National Status of the Chinese in Indonesia 1900-1958, Equinox Publishing (2009), pp. 38-39</ref> Namun akhirnya kerusuhan pro-kemerdekaan itu berhasil diredam oleh koalisi antara tentara Pao An Tui and tentara Kolonial Belanda.
Saat itu, semua etnis Tionghoa Benteng nyaris terusir, dan ketika kembali, mereka tidak lagi mendapatkan tanah mereka dalam keadaan utuh. Tanah-tanah para tuan tanah diserobot pribumi. Atau, mereka mendapati rumah-rumah, yang mereka tinggalkan telah rata dengan tanah. Kini mereka kembali terancam kehilangan rumah mereka karena ambisi pemerintah kota. Kampung itu terletak di DAS Ciliwung, dan memang melanggar peraturan daerah. Namun, mereka telah ada di situ sebelum peraturan daerah itu dibuat.
Baris 29 ⟶ 25:
Pada saat Jepang menduduki Indonesia, mereka melawan Jepang dengan gagah berani walaupun akhirnya kalah.
Pada tahun 1946, terjadi kerusuhan etnis di Tangerang, kaum Pribumi menuduh Tionghoa berpihak ke Belanda. Terlebih setelah [[Pao An Tui]], tentara Tionghoa Benteng pro-NICA, mengirim tentara dan mengungsikan masyarakat Tionghoa Benteng yang selamat ke Batavia. Etnis pribumi pendatang (kebanyakan Jawa dan Madura) beserta beberapa laskar liar seperti Laskar Hitam, melakukan peyerangan terhadap mereka karena dianggap collaborator NICA, akhirnya kerusuhan ini berhasil diredam oleh tentara gabungan NICA dan Pao Au Tui. Tangerang merupakan daerah terakhir yang dikuasai Belanda di pulau Jawa, daerah ini baru seluruhnya diserahkan kepada Republik pada awal tahun
Orang-orang Tionghoa Benteng merasa
Di Belanda dan Oklahoma pun orang Tionghoa Benteng mudah ditemui di antara komunitas tionghoa disana, karena kebanyakan orang tionghoa yg ada di Belanda adalah orang Tionghoa Benteng yang melarikan diri setelah Tentara Pao An Tui mengalami kekalahan melawan tentara republik.
|