Abjeksi: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Adeninasn (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Adeninasn (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Baris 4:
Dalam kategori [[Subjek (filsafat)|subjek]] [[Jacques Lacan|Lacanian]], abjek berasal dari [[tatanan riil]], dalam formulasi [[Simtoma|simtom]];{{efn|Simtom adalah istilah teknis [[psikoanalisis]] di mana simtom merupakan tatanan yang menata tiga tatanan RSI [[Jacques Lacan]], yaitu [[tatanan riil]], [[tatanan simbolik]], dan [[tatanan imajiner]]. Harmoni ketiga tatanan RSI, yang berdampak pada totalitas, stabilitas, dan konsistensi realitas, merupakan hasil kerja simtom. Dengan kata lain, simtom adalah oknum yang mengunci simpul borromean RSI dari ketercerai-beraian.{{sfnp|Polimpung|2014|p=63}}}} di mana abjek disingkirkan dan disangkal dari [[tatanan simbolik]], karena keberadaannya mengancam stabilitas, normalitas, dan keberlangsungan simtom. Alhasil, abjek terdesak masuk ke dalam ranah tidak-sadar. Akhirnya, simtom menggunakan penanda simbolik untuk menguncinya, menormalisasinya, dan berusaha menganalisasi ekses-eksesnya ke muara-muara yang dapat “ditolerir” secara kultural.{{sfnp|Polimpung|2014|p=72}} Konsekuensi subjek [[Jacques Lacan|Lacanian]] adalah abjeksi; di mana [[Julia Kristeva]], dan [[Judith Butler]], membawa khazanah abjeksi ke dalam diskusi seputar proses-proses formasi subjek melalui imposisi-imposisi dari otoritas kultural simbolik. Bagi [[Julia Kristeva|Kristeva]] (dan [[Judith Butler|Butler]]), [[Subjek (filsafat)|subjeksi]] dan abjeksi merupakan hal yang tak terpisahkan, ibarat dua sisi pada satu koin. [[Subjek (filsafat)|Subjeksi]] selalu mensyaratkan abjeksi; dan sebaliknya, abjeksi merupakan konsekuensi tak terelakkan dari subjeksi. Subjeksi merupakan proses penggambaran batas-batas demarkasi diri [[Subjek (filsafat)|subjek]] oleh otoritas simbolik; yaitu proses yang dialami diri dalam menjadi subjek.{{sfnp|Polimpung|2014|pp=70-71}} Otoritas simbolik, dengan demikian, menentukan yang mana [[Subjek (filsafat)|subjek]] dan yang mana bukan subjek; yang mana aku dan bukan aku. Jadi, otoritas simbolik yang memberikan kriteria kejelasan yang menghasilkan dan menundukkan tubuh-tubuh.{{sfnp|Polimpung|2014|p=71}}
== Sejarah abjek ==
Menurut {{harvp|Kristeva|1982|p=4}} abjek adalah apa yang mengganggu identitas. sistem, tatanan; atau apa yang tidak menghargai batas, posisi, atau aturan. Peminggiran, pengeluaran abjek adalah peminggiran atau pengeluaran (ekslusi) yang diperlukan untuk menjaga kelangsungan hidup [[Subjek (filsafat)|Subjek]]. Abjek mengkonfrontasi kita di satu sisi, dengan keadaan yang sangat rentan ketika manusia berada di dalam teritori binatang, dan di sisi lain, mengkonfrontasi kita di dalam wilayah arkeologis pribadi kita sendiri, dalam hal ini adalah usaha kita untuk melepaskan entitas maternal.{{sfnp|Kristeva|1982|p=13}} Dan ketika lbu berusaha untuk mempertahankan keterikatan dengan anaknya, ia dianggap menghalangi anaknya untuk menempati tempatnya yang sesuai dalam [[tatanan simbolik]].{{sfnp|Creed|1993|p=12}} Lebih lanjut, menurut {{harvp|Kristeva|1982|p=16}}, abjek berhubungan dengan penyimpangan, karena abjek dipusatkan pada super ego. Abjek menyimpang karena abjek tidak tunduk pada larangan. aturan atau hukum. Abjek menyingkirkan dan mengabaikan kesemua itu. Segala tindak kriminal di masyarakat, bahkan tindakan berbohong juga merupakan abjek. Abjeksi selanjutnya menimbulkan juga kenikmatan yang menyimpang. Di satu sisi, ada keinginan untuk meminggirkan dan mengabaikan suatu abjek, di sisi lain, ada kenikmatan sebagai subjek yang melakukan atau berada di dalam proses abjeksi untuk mengkonfrontasi abjek dan kemudian mengabjekkannya.{{sfnp|Priyatna|2006|p=247}} Karena abjek bersifat sebagai polutan, ritual keagamaan seringkali ditujukan untuk memurnikan atau membersihkan abjek.{{sfnp|Kristeva|1982|p=17}}{{efn|Kristeva menghubungkan abjeksi dengan gagasan religiositas; di mana abjeksi selalu mengiringi perkembangan agama-agama dunia dalam bentuk yang secara religius disebut "tabu", serta dalam ritus pemurnian diri seperti pantang, puasa, pengakuan dosa, penengkingan setan, permohonan ampunan, dan pertobatan.{{sfnp|Kristeva|1982|p=17}}}} Ritual itu mewujud dalam berbagai [[katarsis]] yang bentuk paling utamanya adalah seni. Seni menurut Kristeva, atau pengalaman seni, berakar dalam pada abjek yang disampaikannya dan, pada saat yang sama, membersihkannya dari abjek. Dengan demikian, abjeksi di satu sisi menunjukkan [[batas]] antara yang murni dan tidak murni, luar dan dalam, manusia dan binatang, bersih dan tidak bersih, pantas dan tidak pantas, di sisi lain menunjukkan bahwa ada suatu titik ketika batasan itu menjadi kabur dan hancurnya makna; dan lebih dari itu, pengalaman abjeksi sebagai suatu kenikmatan bukanlah semata-mata timbul karena hasrat, karena “''One does not know it, one does not desire it, one joys in it [on en jouit]. Violently and painfully.''"{{sfnp|Kristeva|1982|p=9}} Dalam bukunya, ''The Monstrous Feminine'', [[Barbara Creed]] membahas bagaimana kenikmatan yang menyimpang ini merupakan bagian penting ketika kita menonton film horor. Keinginan untuk mengkonfrontasi dan kemudian mengabjeksi juga terlihat, misalnya, dalam ketertarikan sekaligus kengerian kita ketika menyaksikan berita kriminal, atau pada level yang lebih ’lunak' ketika kita menonton ''infotainment''.{{sfnp|Priyatna|2006|p=247}}
 
Selain berhubungan dengan batas dan hubungan ibu-anak yang, di satu sisi, menempatkan tubuh maternal sebagai abjek (dan dikenai pengawasan atas kemungkinan inses dan homoseksualitas yang membahayakan heteroseksualitas dan patriarki). Di sisi lain hubungan itu menempatkan ibu sebagai otoritas maternal yang menguasai "''a universe without shame''"{{efn|Istilah "''a universe without shame''" adalah ketika kotoran tubuh diterima tanpa adanya rasa malu karena aturan, norma dan lain sebagainya yang hadir sebelum adanya bahasa. Abjek, dalam hal ini, terutama berhubungan dengan tubuh perempuan; pertama-tama karena adalah otoritas maternal yang mengenalkan pemetaan tubuh 'yang bersih dan pantas' dan, kedua, karena tubuh perempuan sendiri dimaknai sebagai 'kotor'.{{sfnp|Priyatna|2006|p=248}} }} yang semiotik. Dunia itu harus ditinggalkan ketika anak mengakuisisi bahasa dan menjadi objek dari hukum Ayah yang menguasai "''a universe of shame''".{{sfnp|Creed|1993|p=13}} Dalam pemikiran yang menempatkan integritas tubuh sebagai suatu norma, tubuh perempuan yang tidak terintegrasi adalah abjek karena untuk menjadi subjek simbolik sepenuhnya, tubuh manusia harus sepenuhnya dapat dikuasai; sementara tubuh perempuan, terutama sehubungan dengan fungsi reproduksinya, seringkali merepresentasi tubuh yang <nowiki/>''chaotic''<nowiki/> yang dalam dirinya sendiri mengalir abjek.{{sfnp|Priyatna|2006|p=248}}