Abjeksi: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Adeninasn (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Adeninasn (bicara | kontrib)
Baris 9:
Abjeksi selanjutnya menimbulkan juga kenikmatan yang menyimpang. Di satu sisi, ada keinginan untuk meminggirkan dan mengabaikan suatu abjek, di sisi lain, ada kenikmatan sebagai Subjek yang melakukan atau berada di dalam proses abjeksi untuk mengkonfrontasi abjek dan kemudian meminggigirkannya.{{sfnp|Priyatna|2006|p=247}} Karena abjek bersifat sebagai polutan, ritual keagamaan (misalnya segala sesuatu yang secara religius disebut "tabu", atau dalam ritus pemurnian diri seperti puasa, pengakuan dosa, permohonan ampunan, dan pertobatan); seringkali ditujukan untuk memurnikan atau membersihkan abjek.{{sfnp|Kristeva|1982|p=17}} Ritual itu mewujud dalam berbagai [[katarsis]] dengan bentuk paling utamanya berupa seni. Seni, atau pengalaman seni, menurut [[Julia Kristeva|Kristeva]] berakar dalam pada abjek yang disampaikannya, juga pada saat yang sama membersihkannya. Dengan demikian, abjeksi di satu sisi menunjukkan batas antara yang murni dan tidak murni, luar dan dalam, manusia dan binatang, bersih dan tidak bersih, pantas dan tidak pantas. Namun di sisi lain menunjukkan bahwa ada suatu titik ketika batasan itu menjadi kabur dan hancurnya makna. Lebih dari itu, pengalaman abjeksi sebagai suatu kenikmatan bukanlah semata-mata timbul karena hasrat, karena yang satu tidak tahu, yang satu tidak menghendakinya, dan yang satu mendapati kebahagiaan di dalamnya. Baik dengan keras dan menyakitkan.{{sfnp|Kristeva|1982|p=9}} [[Barbara Creed]] membahas bagaimana kenikmatan yang menyimpang ini merupakan bagian penting ketika kita menonton film horor. Keinginan untuk mengkonfrontasi dan kemudian mengabjeksi juga terlihat, misalnya, dalam ketertarikan sekaligus kengerian kita ketika menyaksikan berita kriminal, atau pada level yang lebih ’lunak' ketika kita menonton ''infotainment''.{{sfnp|Priyatna|2006|p=247}}
 
Selain berhubungan dengan batas dan hubungan ibu-anak, di mana pada satu sisi menempatkan tubuh maternal sebagai abjek. Di sisi lain, hubungan ini menempatkan ibu sebagai otoritas maternal yang menguasai "semesta tanpa rasa malu"; yaitu ketika kotoran tubuh diterima tanpa adanya rasa malu karena aturan, norma dan lain sebagainya yang hadir sebelum adanya bahasa. Abjek, dalam hal ini, terutama berhubungan dengan tubuh perempuan; pertama-tama karena adalah otoritas maternal yang mengenalkan pemetaan tubuh 'yang bersih dan pantas' dan,di kedua,mana karenapada saat yang sama pula tubuh perempuan sendiri dimaknai sebagai 'kotor' yang semiotik.{{sfnp|Priyatna|2006|p=248}} DuniaSemesta itutersebut harus ditinggalkan ketika anak mengakuisisi bahasa dan menjadi objek dari "Hukum-Ayah" yang menguasai "semesta tanpa rasa malu" tersebut.{{sfnp|Creed|1993|p=13}} Dalam pemikiran yang menempatkan integritas tubuh sebagai suatu norma, tubuh perempuan yang tidak terintegrasi adalah abjek. karenaKarena untuk menjadi Subjek penuh pada [[tatanan simbolik]], tubuh manusia harus dapat dikuasai sepenuhnya. Sementara tubuh perempuan, terutama sehubungan dengan fungsi reproduksinya, seringkali merepresentasi tubuh yang "kacau", <nowiki/><nowiki/>yang dalam dirinya sendiri mengalir abjek.{{sfnp|Priyatna|2006|p=248}}
== Catatan ==
{{notelist}}