Suku Moile: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Abdullah Faqih (bicara | kontrib)
ss
Abdullah Faqih (bicara | kontrib)
mm
Baris 2:
 
== Sejarah ==
Suku Moile dan Suku Menyah adalah sub suku dari suku besar Arfak yang merupakan penduduk asli di pedalaman Kabupaten Manokwari. Beberapa sumber lisan masyarakat setempat mengungkapkan bahwa Suku Moile dan Suku Meyah berasal dari dua orang laki-laki bujang bernama Ndin dan Ndifan yang merupakan penduduk asli daerah Anggi yang juga daerah tempat tinggal suku Sougb. Ndin kemudian menikah dengan seorang perempuan yang berasal dari daerah pantai bernama Wonggor. Pernikahan keduanya kemudian melahirkan seorang anak laki-laki bernama Brim. Keturunan Brim kemudian dikenal sebagai Suku Moile & Meyah yang bermarga Wonggor. Sementara Ndfan menikah dengan seorang perempuan dari Minyambouw yang bernama Mpgot dan melahirkan seorang anak bernama Mbrdin. Keturunannya kemudian juga dikenal sebagai orang-orang Moile yang bermarga Wonggor. Dengan demikian, sebagian orang Moile beranggapan bahwa mereka adalah keturunan Sougb dan orang pantai bermarga Wonggor. <ref name=":0">Asmuruf, Mervin Arison. 2016. Strategi Rehabilitasi Hutan dan Lahan berdasarkan Kearifan Lokal Suku Moile dan Meyah di Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat. Tesis Program S2 Ilmu Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Lihat melalui <nowiki>http://lib.ugm.ac.id</nowiki></ref>
 
Sumber lisan dari penduduk setempat juga menceritakan bahwa Wonggor berasal dari buaya air laut. Ada beberapa marga lain yang dimiliki oleh penduduk suku Moile dan Meyah, yaitu Ullo, Ayok, Indow, Tibiay, Pungwam, Bikiouw, dan Mandacan. Ullo berasal dari salah satu sungai kecil hulu, yaitu sungai Wariori. Indow, Tibiay, dan Mandacan berasal dari Anjing Serce, juga di hulu sungai Wariori, marga-marga seperti Sayori, Punwam, dan Bikiouw berasal dari marga Wonggor. Sehingga, terbentuklah beberapa marga yang dimiliki suku Moile dan Meyah seperti Wonggor, Ullo, Sayori, Mandacan, Indow, Ayok, Pungwam, Tibiay.<ref name=":0" />
 
== Sistem Pemerintahan ==
Baris 18 ⟶ 19:
 
== Kearifan Lokal ==
Cara mengelola hutan yang telah berusia tua tersebut kemudian melahirkan sebuah kearifan lokal tersendiri. Kearifan tersebut telah menyatu dalam kehidupan dan kebudayaan mereka, terus terpelihara bersama aturan-aturan yang dikenal sebagai adat istiadat, norma masyarakat, dan berbagai pantangan yang pada dasarnya untuk menjaga keselarasan agar hutan tetap lestari. Suku Moile dan Meyah hingga sekarang masih memelihara kearifan lokal tersebut dan menunjukan keberhasilannya untuk hidup bersama secara selaras dengan hutan. Aturan adat dalam mengelola hutan tersebut dikenal dengan istilah ''Ig ya ser hanjob'' (dalam Bahasa Hatam/Moile) atau ''Mastogow hanjob'' (dalam Bahasa Soughb). Ig ya dalam Bahasa Hatam berarti berdiri; ser artinya menjaga; hanjob artinya batas. Secara harfiah, ig ya ser hanjob berarti menjaga batas namun bukan hanya bermakna sebagai suatu kawasan, tetapi mencakup segala aspek kehidupan masyarakat Arfak. Secara filisofis, nilai-nilai tersebut mengandung makna bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini (termasuk manusia) memiliki batas. Apabila batas tersebut dilanggar, maka akan terjadi bencana yang sangat besar. Hakekat kosmologi Arfak adalah segala sesuatu di alam semesta bukanlah tak terbatas (''ad ifnitum''). Sebagai sebuh nilai, ''igya ser hanjob'' adalah landasan hidup sehari-hari mereka.<ref (Tandirerung)name=":1">Baharinawati, Hastanti dan Ima Yeny. 2009. Strategi Pengelolaan Cagar Alam Pegunungan Arfak meurt Kearifan Lokal Masyarakat Arrak di Manokwari Papua Barat. Info Sosial Ekonomi Vol. 9 1 Maret th. 2009, 19-36</ref>
 
Kearifan lokal tersebut menegaskan bahwa aspek biofisik yang bertumpu pada ekonomi dan sosial budaya menjadi pijakan kegiatan berburu, berladang, meramu, dan pemanfaatan kayu dalam kehidupan mereka. Adat istiadat suku Moile dan Meyah secara prinsip mengatur agar pemanfaatan hutan tidak dilakukan secara eksploitatif. Mereka berpegangan pada tekad bahwa pemanfaatan sumber daya hutan untuk kelangsungan hidup dengan tetap memperhatikan kelestarian. Sebagai perwujudannya, kegiatan berladang mereka lakukan di atas lahan pertanian yang sudah ditanami tanaman. Berburu (''Ntteisi'') mereka lakukan untuk memenuhi kebutuhan protein hewani (konsumsi) dengan tidak mengomersialkannya. Meramu juga mereka lakukan untuk mengumpulkan makanan dari dalam hutan dan tumbuhan obat untuk kesehatan. Sementara itu, dari aktivitas pemanfaatan kayu mereka lakukan untuk memenuhi bahan bangunan, peralatan berladang, peralatan berburu, dan peralatan rumah tangga.<ref name=":1" />
 
Selain ''Ig ya ser hanjob'', suku Moile dan Meyah juga mengenal budaya “''Henjabti''” yang merupakan kegiatan membangunkan seluruh anggota keluarga menjelang matahari terbit. Mereka akan diingatkan kembali tentang idealitas hubungan antarmanusia dan bagaimana menjaga harmoni manusia dengan dalam. Henjabti sejatinya adalah sebuah tradisi lisan yang di dalamnya juga diajarkan nilai-niali Ig ya ser hanjob. Prinsip-prinsip tersebut tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan alam, melainkan juga hubungan sosial sesame anggota keluarga dan masyaralat. Bahkan, sejak masih kecil, anak-anak suku Moile dan Meyah sudah mulai diajarkan berlaku jujur, adil, dan bijaksana. Semua ada batasnya dan setiap orang diharuskan menjaga batas tersebut untuk memenuhi keberlangsungan hidupnya.
Baris 26 ⟶ 27:
== Pengelolaan Hutan ==
 
Menurut Hans Mandacan, pembagian zona atau kawasan hutan Suku Moile dan Meyah dibagi menjadi beberapa bagian. Pembagian tersebut adalah Bahamti yang merupakan hutan rimba yang belum dibuka baik untuk lahan berkebun maupun berladang; tumti merupakan kawasan hutan yang berada di puncak gunung yang sangat terjal dan curam sehingga sulit diakses masyarakat. Kedua zona tersebut tidak boleh diakses dan dimanfaatkan hasil hutannya karena dianggap sebagai zona kawasan hutan penyangga. Sementara nimahamti disebut sebagai zona kawasan hutan yang dapat diakses untuk mengambil hasil  hutan kayu namun dalam jumlah yang terbatas, yakni zona kawasan hutan yang telah dibuka dna dijadikan sebagai kebun atau bekas kebun. Nimhamti merupakan kawasan yang sering difungsikan sebagai kawasan yang dapat diakses dan dikelola oleh masyarakat.<ref>Departemen Kehutanan. 1999. Undang-Undang Republik Indonesia No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Jakarta</ref>
 
Dalam pelaksanaannya, pengelolaan hutan Suku Moile dan Meyah mengalami dinamika tersendiri. Pelaksanaan kegatan pengelolaan dan pengembangan hutan yang dilakukan oleh pemerintah tidak sesuai dengan yang diinginkan oleh masyarakat. Pemerintah daerah dalam hal ini adalah dinas kehutanan dalam pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan tidak melibatkan masyarakat, terutama dalam tahap perencanaan kegiatan rehibilitasi hutan dan lahan. Pemerintah daerah lebih memilih untuk menyerahkan pelaksanaan tersebut kepada pihak ketiga melalui perjanjian kontrak.