Suku Moile: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Abdullah Faqih (bicara | kontrib)
dffff
Abdullah Faqih (bicara | kontrib)
m
Baris 7:
 
== Sistem Pemerintahan ==
[[Adat istiadat]] suku Moile dan Meyah masih sangat kuat dan kental sejak nenek moyang mereka lahir di tanah [[Papua]] hingga sekarang. Mereka hidup dalam sebuah sistem kekerabatan. Sementara itu, sistem pemerintahan adat suku Moile & Meyah tidak mengenal istilah “kepala suku besar”. MerkeMerka ahanyahanya mengenal pemimpin suku dengan sebutan kinamnya. Beberapa pola kepemimpinan masyarakat adat di sana antara lain:
# Andigpoi yang disebut sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di dalam masyarakat. Mereka berwenang membuat kebijakan-kebijakan, mengambil keputusan, dan bertanggung jawab atas risiko yang timbul dari keputusan tersebut.
# Pinjoindig yang disebut sebagai perpanjangan tangan dari andigpoi yang ruang lingkup kewenangannya tidak melebihi andigpoi.
Baris 14:
 
== Aktivitas Utama ==
Suku Moile dan Meyah merupakan keturunan Suku Besar [[Arfak]] yang hidup secara tradisional di pedalaman [[Kabupaten Manokwari]]. Mereka sangat bergantung pada [[hutan]] dalam pemenuhan kebutahan hidup sehari-hari. Bagi mereka, hutan adalah sumber makanan, obat-obatan, bahan bangunan (rumah/kandang), dan memiliki nilai-nilai mistik. Dengan demikian, hutan memiliki nilai-nilai sosial dan budaya dalam kehidupan mereka.
 
Penduduk setempat memanfaatkan hutan untuk empat kegiatan utama, yaitu berladang, berburu, meramu, dan memanfaatkan kayu. Kegiatan tersebut telah mereka lakukan selama turun-temurun dalam kurun waktu yang sangat lama. Dengan kata lain, aktivitas pemanfaatan hutan telah diwariskan oleh nenek moyang dari generasi ke generasi. Bahkan, aktivitas yang sama juga telah dilakukan selama berabad-abad oleh penduduk yang ada di sekitar kawasan hutan dan perairan di berbagai belahan dunia seperti [[Aborigin]] di [[Australia]], suku[[Suku Indian]] di Amerika, suku[[Suku Dayak]] di Kalimantan, dan penduduk asli Papua itu sendiri.<ref>John, R. 1997. ''Common Forest Tree of Irian Jaya Papua - Indonesia.'' Royal Botanical Garden, Kew. Inggris</ref>
 
== Kearifan Lokal ==
Cara mengelola [[hutan]] yang telah berusia tua tersebut kemudian melahirkan sebuah kearifan lokal tersendiri. Kearifan tersebut telah menyatu dalam kehidupan dan kebudayaan mereka, terus terpelihara bersama aturan-aturan yang dikenal sebagai adat istiadat, norma masyarakat, dan berbagai pantangan yang pada dasarnya untuk menjaga keselarasan agar hutan tetap lestari. Suku Moile dan Meyah hingga sekarang masih memelihara kearifan lokal tersebut dan menunjukan keberhasilannya untuk hidup bersama secara selaras dengan hutan. Aturan adat dalam mengelola hutan tersebut dikenal dengan istilah ''Ig ya ser hanjob'' (dalam Bahasa Hatam/Moile) atau ''Mastogow hanjob'' (dalam Bahasa Soughb). ''Ig ya'' dalam Bahasa Hatam berarti berdiri; ''ser'' artinya menjaga; ''hanjob'' artinya batas. Secara harfiah, ''ig ya ser hanjob'' berarti menjaga batas namun bukan hanya bermakna sebagai suatu kawasan, tetapi mencakup segala aspek kehidupan masyarakat Arfak. Secara filisofis, nilai-nilai tersebut mengandung makna bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini (termasuk manusia) memiliki batas. Apabila batas tersebut dilanggar, maka akan terjadi bencana yang sangat besar. Hakekat kosmologi Arfak adalah segala sesuatu di alam semesta bukanlah tak terbatas (''ad ifnitum''). Sebagai sebuh nilai, ''igya ser hanjob'' adalah landasan hidup sehari-hari mereka.<ref name=":1">Baharinawati, Hastanti dan Ima Yeny. 2009. Strategi Pengelolaan Cagar Alam Pegunungan Arfak meurt Kearifan Lokal Masyarakat Arrak di Manokwari Papua Barat. Info Sosial Ekonomi Vol. 9 1 Maret th. 2009, 19-36</ref>
 
Kearifan lokal tersebut menegaskan bahwa aspek biofisik yang bertumpu pada ekonomi dan sosial budaya menjadi pijakan kegiatan berburu, berladang, meramu, dan pemanfaatan kayu dalam kehidupan mereka. Adat istiadat suku Moile dan Meyah secara prinsip mengatur agar pemanfaatan hutan tidak dilakukan secara eksploitatif. Mereka berpegangan pada tekad bahwa pemanfaatan sumber daya hutan untuk kelangsungan hidup dengan tetap memperhatikan kelestarian. Sebagai perwujudannya, kegiatan berladang mereka lakukan di atas lahan pertanian yang sudah ditanami tanaman. Berburu (''Ntteisi'') mereka lakukan untuk memenuhi kebutuhan protein hewani (konsumsi) dengan tidak mengomersialkannya. Meramu juga mereka lakukan untuk mengumpulkan makanan dari dalam [[hutan]] dan tumbuhan obat untuk kesehatan. Sementara itu, dari aktivitas pemanfaatan kayu mereka lakukan untuk memenuhi bahan bangunan, peralatan berladang, peralatan berburu, dan peralatan rumah tangga.<ref name=":1" />
 
Selain ''Ig ya ser hanjob'', suku Moile dan Meyah juga mengenal budaya “''Henjabti''” yang merupakan kegiatan membangunkan seluruh anggota [[keluarga]] menjelang [[matahari]] terbit. Mereka akan diingatkan kembali tentang idealitas hubungan antarmanusia dan bagaimana menjaga harmoni manusia dengan dalam. Henjabti sejatinya adalah sebuah tradisi lisan yang di dalamnya juga diajarkan nilai-nilai ''Ig ya ser hanjob''. Prinsip-prinsip tersebut tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan alam, melainkan juga hubungan sosial sesame anggota keluarga dan masyaralat. Bahkan, sejak masih kecil, anak-anak suku Moile dan Meyah sudah mulai diajarkan berlaku jujur, adil, dan bijaksana. Semua ada batasnya dan setiap orang diharuskan menjaga batas tersebut untuk memenuhi keberlangsungan hidupnya.
 
== Pengelolaan Hutan ==
 
Menurut Hans Mandacan, pembagian zona atau kawasan hutan Suku Moile dan Meyah dibagi menjadi beberapa bagian. Pembagian tersebut adalah Bahamti yang merupakan [[hutan]] rimba yang belum dibuka baik untuk lahan berkebun maupun berladang; tumti merupakan kawasan hutan yang berada di puncak [[gunung]] yang sangat terjal dan curam sehingga sulit diakses masyarakat. Kedua zona tersebut tidak boleh diakses dan dimanfaatkan hasil hutannya karena dianggap sebagai zona kawasan hutan penyangga. Sementara nimahamti disebut sebagai zona kawasan hutan yang dapat diakses untuk mengambil hasil  hutan kayu namun dalam jumlah yang terbatas, yakni zona kawasan hutan yang telah dibuka dna dijadikan sebagai kebun atau bekas kebun. Nimhamti merupakan kawasan yang sering difungsikan sebagai kawasan yang dapat diakses dan dikelola oleh masyarakat.<ref>Departemen Kehutanan. 1999. Undang-Undang Republik Indonesia No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Jakarta</ref>
 
Dalam pelaksanaannya, pengelolaan hutan Suku Moile dan Meyah mengalami dinamika tersendiri. Pelaksanaan kegatan pengelolaan dan pengembangan hutan yang dilakukan oleh pemerintah tidak sesuai dengan yang diinginkan oleh masyarakat. Pemerintah daerah dalam hal ini adalah dinas kehutanan dalam pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan tidak melibatkan masyarakat, terutama dalam tahap perencanaan kegiatan rehibilitasi hutan dan lahan. Pemerintah daerah lebih memilih untuk menyerahkan pelaksanaan tersebut kepada pihak ketiga melalui perjanjian kontrak.  <ref>Kartasasmita, G. (1996). Pembangunan untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. Jakarta: CIDES</ref>