Filsafat budi: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k Bot: penggantian teks otomatis (-Kosa kata, +Kosakata; -kosa kata, +kosakata) |
|||
Baris 225:
Namun, banyak juga yang merasa bahwa sains pada akhirnya harus menjelaskan hal tersebut.<ref name="Stol" /> Hal ini merupakan akibat dari asumsi mengenai kemungkinan penggunaan [[reduksionisme|penjelasan reduktif]]. Menurut pandangan ini, bilafenomena berhasil dijelaskan secara reduktif (misalnya air), maka asal usul properti pada fenomena tersebut dapat dijelaskan (misalnya bentuk yang cair dan bening).<ref name="Stol" /> Akibatnya, perlu ada penjelasan mengapa keadaan budi memiliki properti pengalaman tertentu.
Filsuf Jerman abad ke-20 [[Martin Heidegger]] mengkritik asumsi [[ontologi]]s yang melandasi model reduktif tersebut, dan mengklaim bahwa pengalaman tidak dapat dijelaskan dengan cara tersebut karena sifat dasar pengalaman subjektif dan "kualitas" nya tidak dapat dipahami dalam artian "substansi" [[Descartes]] yang mengandung "properti". Dalam kata lain, konsep pengalaman kualitatif tidak sesuai, atau secara semantik
Masalah yang muncul dalam "upaya untuk menjelaskan aspek keadaan budi dan kesadaran orang pertama dengan menggunakan neurosains kuantitatif orang ketiga" ini disebut [[celah penjelasan]].<ref>Joseph Levine, ''Materialism and Qualia: The Explanatory Gap'', in: ''Pacific Philosophical Quarterly'', vol. 64, no. 4, October, 1983, 354–361</ref> Terdapat beberapa pendapat mengenai celah ini. [[David Chalmers]] dan [[Frank Cameron Jakcson|Frank Jackson]] menafsirkan bahwa celah tersebut bersifat [[ontologi]]s; dalam kata lain, mereka menyatakan bahwa qualia tidak akan pernah bisa dijelaskan oleh sains karena [[fisikalisme]] itu salah. Terdapat dua kategori terpisah dan salah satu kategori tidak dapat direduksi menjadi kategori lain.<ref>Jackson, F. (1986) "What Mary didn't Know", Journal of Philosophy, 83, 5, hal. 291–295.</ref> Sudut pandang alternatif yang dianut oleh filsuf seperti [[Thomas Nagel]] dan [[Colin McGinn]] adalah bahwa celah tersebut bersifat [[epistemologi]]s. Bagi Nagel, sains belum mampu menjelaskan pengalaman subjektif karena belum mencapai tingkatan pengetahuan yang diperlukan. Kita bahkan belum mampu merumuskan masalah dengan jelas.<ref name="Nagel" /> Sementara itu, menurut McGinn, masalah ini merupakan salah satu batasan biologis yang permanen dan inheren. Kita tidak mampu menyelesaikan masalah celah penjelasan karena ranah pengalaman subjektif tertutup secara kognitif sama seperti fisika kuantum tertutup secara kognitif dari gajah.<ref>McGinn, C. "Can the Mind-Body Problem Be Solved", ''Mind'', New Series, Volume 98, Issue 391, hal. 349–366. a [http://art-mind.org/review/IMG/pdf/McGinn_1989_Mind-body-problem_M.pdf (online)]</ref> Filsuf lain menganggap celah ini hanya sebagai masalah semantik. Masalah semantik ini menyebabkan munculnya "pertanyaan Qualia" yang terkenal, yaitu: "apakah merah menyebabkan kemerahan"?
|