Masyarakat adat Ngata Toro: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Abdullah Faqih (bicara | kontrib)
Wikifisasi
HsfBot (bicara | kontrib)
k Bot: Perubahan kosmetika
Baris 2:
 
== Sejarah ==
Komunitas [[Masyarakat adat]] Ngata Toro diyakini telah terbentuk beberapa abad yang lalu bersamaan dengan terbentuknya [[desa]] (dalam Bahasa setempat disebut sebagai ngata) Toro. Tidak ditemukan sumber tertulis tertentu yang mampu menjelaskan hal itu, namun penuturan dari beberapa orang tua di sana menjelaskan bahwa pada masa pra-kolonial, masyarakat adat Ngata Toro mengalami tiga periode kepemimpinan, yaitu di bawah kepemimpinan ''Mpone'', ''Ntomatu'', dan ''Menanca'' (''Balawo''). Kisah lisan ini disertai penegasan tambahan bahwa periode masing-masing tokoh ini berlangsung cukup lama.
 
''Mpone'' disebut sebagai tokoh utama yang merintis cikal bakal terbentuknya komunitas masyarakat adat Ngata Toro. ''Mpone'' adalah kepala rombongan yang mengungsi dari Malino, perkampungan asal mereka yang lokasinya berada sekitar 40 km ke arah barat daya dari Desa Toro saat ini. Perpindahan rombongan itu sendiri terjadi karena sebelumnya perkampungan asal mereka (Malino) diserang oleh makhluk halus (''bunian)''. Akibat serangan makhluk halus tersebut, hampir seluruh penduduk Maliho musnah dan hanya menyisakan beberapa keluarga saja yang berhasil menyelamatkan diri. Setelah beberapa lama berpindah-pindah mencari tempat hidup baru, penduduk Maliho yang dipimpin oleh ''Mpone'' itu akhirnya menetap di Toro. Mereka kemudian dianggap sebagai generasi pertama di Desa Toro yang selanjutnya juga disebut sebagai penduduk asli Toro<ref>{{Cite web|url=http://www.downtoearth-indonesia.org/id/story/hutan-untuk-masa-depan-pengelolaan-hutan-adat-di-tengah-arus-perubahan-dunia|title=Hutan untuk Masa Depan - Pengelolaan Hutan Adat di Tengah Arus Perubahan Dunia {{!}} Down to Earth|website=www.downtoearth-indonesia.org|language=id|access-date=2017-10-25}}</ref>.
 
Namun demikian, kegiatan pembukaan lahan hutan dan penataan pemukiman yang lebih sistematis baru berlangsung ketika masa kepemimpinan ''Menanca'' (''Balawo''). Pembukaan [[lahan]] hutan untuk pemukiman tersebut dilakukan karena jumlah penduduk yang ada di Desa Toro menjadi semakin meningkat. Peningkatan itu sendiri terjadi karena banyaknya pendatang yang berasal dari Rampi, sebuah daerah yang kini termasuk wilayah [[Kabupaten Luwu]], [[Sulawesi Selatan]]. Para pendatang tersebut oleh ''Balawo'' diberikan lahan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dan kemudian hidup menetap menjadi penduduk asli Toro melalui hubungan perkawinan<ref>{{Cite web|url=http://lorelindu.info/index.php/component/content/article/47-home/76-melestrikan-lore-lindu-bersama-masyarakat|title=Melestrikan Lore Lindu Bersama Masyarakat|last=Administrator|website=lorelindu.info|language=en-gb|access-date=2017-10-25}}</ref>.
 
Pada masa pra-[[Kolonialisme]], komunitas masyarakat adat Ngata Toro yang berdiam di Desa Toro menjadi sebuah komunitas politik otonom. Mereka memiliki harta kekayaan sendiri dan memiliki wewenang untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Sementara itu, [[Kerajaan Islam di Indonesia|Kerajaan Islam]] yang berkuasa saat itu tidak menjadikan Desa Toro sebagai perhatian karena letaknya yang jauh di pedalaman. [[Kerajaan Islam di Indonesia|Kerajaan Islam]] banyak berfokus pada hubungan [[perdagangan]] di daerah pesisir dengan perhatian. Selain itu, komunitas masyarakat adat Ngata Toro juga banyak membangun kerjasama dengan desa-desa di sekitarnya. Mereka membentuk sebuah [[federasi]] yang ''fleksibel'' dimana setiap desa memiliki otonomi sendiri dalam mengatur kehidupan desanya. Hubungan kerjasama dan federasi tersbeut lebih dibentuk untuk memenuhi kebutuhan politik dan pertahanan dalam menghadapi perang antarsuku, hubungan ekonomi, [[kekerabatan]], dan solidaritas.<ref name=":2" /> Semenjak saat itu, komunitas masyarakat adat Ngata Toro perlahan-lahan bertransformasi menjadi kelompok masyarakat lokal yang mampu menjangkau berbagai lini kehidupan paling vital, seperti keagamaan, pemerintahan, transformasi tata lahan, dan perubahan-perubahan sosial lainnya.
 
== Mitos ==
Bagi masyarakat adat Ngata Toro, [[mitos]] bukanlah cerita kosong tanpa makna. Mitos terbentuk melalui proses panjang yang dialami oleh masyarakat lokal mulai dari peristiwa nyata, realitas sosial, dan lingkungan fisik kelompok yang bersangkutan. Meskipun sulit ditemui di dunia nyata, mitos mampu menggambarkan “angan-angan sosial” yang ikut membentuk [[identitas]] pada kelompok dan makna pada sejarahnya.
 
Ada tiga mitos yang hidup di tengah masyarakat adat Ngata Toro dan mampu menjelaskan asal-usul dan identitas kolektif mereka. Mitos tersebut adalah<ref name=":0">[http://ditpolkom.bappenas.go.id/basedir/Kajian%20Ditpolkom/1)%20Kajian%20Tahun%202012/KAJIAN%20MASY%20ADAT.pdf]</ref>:
 
'''1. Mitos tentang tempat'''
 
Dijelaskan bahwa desa mereka dahulu didiami oleh etnis Uma. [[Perkampungan]] mereka kemudian dilanda [[banjir]] besar dan tanah [[tanah longsor]] yang menyebabkan penduduknya meninggalkan perkampungan. Perkampungan tersebut lalu berubah menjadi sebuah [[danau]] besar setelah terjadinya banjir deras saat itu. Bencana banjir deras itu terjadi setelah adanya pertengkaran dua kakak beradik di perkampungan itu. Salah satu di antara keduanya kemudian memotong kaki [[kucing]] dan digunakan untuk menabuh tambur [[emas]] (karatu ''bulawa'') dengan keras. Padahal, kucing dipercaya sebagai binatang yang tidak boleh disakiti apalagi dibunuh. Setelah pertengkaran tersebut berlangsung, sore harinya terjadi hujan lebat selama tiga hari penuh yang disusul dengan tanah longsor. Perkampungan mereka kemudian hancur lebur.<ref name=":0" />
 
'''2. Kisah tentang pelarian orang Malino'''
Baris 25:
'''3. Kisah Penguasaan Tempat'''
 
Mitos tentang penguasaan tempat terjadi ketika seorang [[bangsawan]] Kulawi yang dikenal senang berburu ingin mencari sebuah daerah buruan baru. Ia menjelajahi semua tempat, mulai dari [[lembah]] hingga [[gunung]]. Kemudian, ia menemukan sebuah lembah subur yang terbentuk karena bekas [[danau]] yang surut. Tempat itu rupanya adalah bekas pemukiman yang ditinggalkan penduduknya karena [[bencana alam]]. Setelahnya, sang pemburu bersama dengan orang pelarian dari Malino melakukan tawar-menawar dengan ''Mpone'' untuk membeli tempat tersebut berikut gunung dan [[lembah]] yang ada. Tanah tersebut dihargai dengan tujuh gumplan [[emas]] sebesar [[burung pipit]]. Lama kelamaan, orang Malino yang bermukim di tempat tersebut menjadi semakin banyak hingga kemudian wilayah itu diberi nama “Toto” yang berarti didiami karena pelarian sisa-sisa orang Malino.<ref name=":0" />
 
== Aturan Adat dan Sumber Daya Alam ==