Orang Tionghoa di Lasem: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Abdullah Faqih (bicara | kontrib)
cc
Abdullah Faqih (bicara | kontrib)
xx
Baris 1:
'''Orang Tionghoa di Lasem''' adalah sekelompok masyarakat etnis Tionghoa yang bermukim di Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Munculnya kelompok tersebut tidak terlepas dari sejarah perdagangan orang Tionghoa di Indonesia yang menjadikan pesisir utara Jawa (termasuk Lasem) sebagai pintu awal masuknya. Dalam perkembangannya, kepentingan Tionghoa tidak hanya menyoal perdagangan, mereka juga meleburkan diri dengan kelompok pribumi: menikah dengan pribumi bahkan mencampurkan kebudayaan mereka.<ref>http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/02/150219_lasem_toleransi</ref> Hal itu yang menyebabkan beberapa peniliti merasa kesulitan untuk melacak jejak budaya kelompok Orang Tionghoa pertama yang singgah di Lasem. Berbeda dengan [[Tionghoa Jawa]] yang sangat beragam, mencakup orang Tionghoa di berbagai wilayah di Jawa, Orang Tionghoa di Lasem secara spesifik membahas tentang dinamika dan perkembangan yang dialami oleh kelompok Tionghoa di wilayah Lasem.
 
== Sejarah ==
Baris 23:
Dalam perkembangannya, pada tahun 1335 Saka (1413 Masehi), Kadipaten Lasem kedatangan seorang nahkoda kapal dari Armada Laut laksamana Chengho bernama Bi Nan Un dari negeri Champa (Vietnam). Kapal dari Champa tersebut tepatnya berlabuh ke Pantai Regol yang saat ini bernama Pantai Binangun. Rombongan orang Champa yang beragama Budha itu dikenal piawai di bidang kesenian, termasuk membatik, menari, membuat perhiasan emas, membuat peralatan kuningan, dan lain sebagainya. Lambat laun, Bi Nan Un dkenal ahli membatik dan menari. Ia kemudian menikah dengan Adipati Badranala dan memiliki dua anak, yaitu Wirabajra dan Santibadra. Kitab “Serat Badrasanti” jelas memaparkan data tentang sejarah batik Lasem dimana Puteri Na Li Ni dari Champa (Vietnam) dianggap sebagai perintis pembatikan di Lasem. Namun demikian, sebagaimana penduduk Jawa di Lasem, penduduk Tionghoa juga mengalami keterbelakangan ekonomi Sekali pun mereka dikenal sangat piawai dalam berdagang, ketertindasan yang dialami Indonesia akibat penjajahan Belanda tidak serta merta membuat perekonomian mereka membaik. Pada dasarnya, mereka mengalami kondisi yang sama sebagaimana penduduk Jawa pada masa itu.
 
Seiring berjalannya waktu, datanglah seorang penjual arak (''ciu'') pada tahun 1700-an di Lasem. Perantau tersebut juga berasal dari negeri Tiongkok yang tiba bertepatan dengan masa penjajahan Belanda berlangsung. Sang pendatang sangat terkejud ketika menyaksikan penduduk Tiongkok di Lasem mengalami penderitaan dan kesulitan ekonomi. Dengan rasa iba, ia akhirnya bertekad untuk menetap di Lasem dan membantu meningkatkan derajat perekonomian orang Tionghoa di sana. Ia kemudian memberikan pengetahuan kepada orang Tionghoa tentang cara membuat batik tulis. Mula-mula, ia yang mendirikan usaha batik tulis dengan memperkerjakan orang Tiongho sebagai pekerjanya. Hal itu ia lakukan sembari mengajarkan kepada mereka keterampilan dalam membuat batik tulis. Lambat laun, orang Tionghoa berpikir untuk tidak selamanya menjadi pekerja atau buruh batik tulis. Mereka bertekad untuk memiliki usaha batik tulis sendiri. Dalam perkembangannya, usaha batik tulis tersebut rupanya lebih dari mampu untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka. Bahkan, industry batik tulis di Lasem menjadi berkembang lebih cepat berkat sentuhan tangan dingin orang Tionghoa. Mereka pun dikenal sebagai pengusaha batik tulis yang mahir di Lasem.
 
Berkaitan dengan motif dan stylenya, batik tulis Lasem juga sedikit banyak tersentuh oleh pengaruh budaya Tionghoa, Jawa Tengah (Solo dan Yogyakarta), serta pengaruh selera Pantai Utara Jawa. Beberapa contoh motif batik yang disebarluaskan oleh orang Tionghoa adalah motif naga (atau liong dari bahasa Cina long) dan motif swastika (banji), motif awan ‘Cina’ mudah dikenali pada pinggiran yang sejajar yang diberi warna bergradasi (motif mega mendung, ‘awan mendung’) atau motif ‘kebun’ (tamansari), dengan tumbuh-tumbuhan di atas warna dasar cerah dan dipenuhi wadasan yang ditarik ke atas. Motif-motif tersebut kini dikenal baik oleh pengrajin maupun pecinta batik Jawa, bahkan menjadi sebuah kelaziman dan dikenal paling masyhur. Pengaruh budaya Tionghoa juga tercermin dalam motif berbentuk burung-burung Phoenix yang merupakan kekhasan dari budaya Tionghoa. Sementara pengaruh gaya batik Jawa Tengah tercermin dalam pusat seni batik yang selalu memiliki nilai filosofi.
Baris 38:
Melihat hal itu, penguasa Lasem kala itu merasa bahwa kekuatan politik VOC itu akan menjadi ancaman nyata bagi Lasem. Ia pun merencanakan sebuah perlawanan bersama Tan ke Wie dan Raden Panji Margono bersama dengan rakyat Lasem lainnya. Pertempuran itu berlangsung di perairan sekitar Jepara dan tidak memakan banyak waktu. Dalam waktu yang relative singkat, pasukan VOC berhasil memukul mundur pasukan Dampoawang Lasem. Kapal-kapal mereka hancur berkeping-keping setelah diterjang meriam panas yang dilemparkan oleh VOC. Sang pemimpin perlawanan, Tan Ke Wie, pun gugur dalam pertempuran itu. Setelahnya, Tumenggung Oei Ing Kiat menuliskan nama-nama pasukan yang gugur dalam sebuah prasasti yang ditulis dengan menggunakan Bahasa Cina. Sejak saat itu, kekuasaan VOC di Kadipaten Lasem menjadi semakin kuat. Namun demikian, meskipun perlawanan rakyat Lasem banyak menuai kekalahan dan Belanda selalu memenangkan pertarungan, perlawanan tersebut telah memperlihatkan hubungan yang harmonis antara penduduk pribumi dengan orang Tionghoa. Peristiwa pemberontakan itu juga menjadi simbol kepahlawanan dan persatuan orang Jawa dengan Tionghoa.
 
Kedua, hubungan yang harmonis antara orang Tionghoa dengan Lasem juga tercermin dalam hubungan yang saling membutuhkan. Di akhir pemerintahan Orde Baru, terjadi pembantaian etnis Tionghoa di di beberapa kota besar. Di Lasem justru terjadi hal yang berkebalikan, para elit yang ada justru saling bernegosiasi untuk mengamankan kota dari isu kekerasan. Mereka berupaya untuk meredam agar kekerasan serupa tidak terjadi di Lasem. Mereka melihat ancaman-ancaman itu sebagaimana yang pernah mereka alami pada masa kolonial Belanda; bersama dengan kaum santri, petani, nelayan, dan warga TionghoTionghoa mereka melawan penjajah. Jadi, ketika warga Tionghoa akan diancam dengan berbagai macam tindak kekerasan, memori-memori perjuangan itu tumbuh kembali.
 
Dalam bidang ekonomi juga terjadi hal demikian. Bidang ekonomi menengah tengah sampai atas dikuasai oleh warga keturunan Tionghoa. Pertokoan di sepanjang jalan utama Lasem adalah bukti nyata bahwa orang Tionghoa banyak mengambil peran dominan. Hal itu terlihat jelas sebelum masa orde baru berakhir. Setelah masa orde baru selesai, orang Tionghoa banyak memidahkan bisnisnya ke kota-kota besar seperti Jakarta, Semarang, dan Surabaya. Sementara itu, orang Jawa yang tinggal di Lasem mulai mengembangkan bisnisnya di berbagai macam sektor, terutama pakaian dan kebutuhan rumah tangga. Dalam perkembangannya, saat ini orang-orang Jawa justru lebih banyak mendominasi roda perekonomian di Lasem, terutama di sekitar masjid Lasem, dan mengambil alihnya dari tangan orang Tionghoa. Toko-toko pakaian dan rumah tangga yang berdiri di sekitar Taman Lasem hampir seluruhnya dikuasai oleh warga Jawa Lasem. Bahkan, hampir seluruh mall kecil di Lasem juga dimiliki oleh orang Jawa Lasem.
 
Dalam bidang kebudayaan dan praktik keagamaan pun terjadi hal serupa. Ketika keturunan Tionghoa akan menggelar ritual budaya seperti perayaan Imlek, ''Cap Go Meh'', maupun acara kirap budaya perayaan ''Mak Co'' di Klenteng, mereka akan meminta izin terlebih dahulu kepada para kiayi di Lasem yang dinilai sebagai tokoh masyarakat. Komunikasi kultural tersebut bertujuan untuk menjamin keamanan dan ketertiban selama kegiatan mereka berlangsung.<ref>http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/02/150219_lasem_toleransi</ref> Meskipun beberapa kiayi ada yang tidak sepakat, kegiatan mereka terbukti mampu berjalan dengan lancar. Karnaval yang mereka gelar juga bahkan melintasi Masjid Jami’ Lasem dan jalan-jalan di sekitar pesantren. Warga sekitar pun menyambut baik perayaan tersebut sebagai hiburan dan tontonan yang menyenangkan.<ref>Atabik, Ahmad. 2016. Percampuran Budaya Jawa China: Harmoni dan Toleransi Beragama Masyarakat Lasem. Sabda, Volume 11, Tahun 2016 </ref>
 
== Referensi ==