Orang Tionghoa di Lasem: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Abdullah Faqih (bicara | kontrib)
cc
Abdullah Faqih (bicara | kontrib)
xxx
Baris 2:
 
== Sejarah ==
Terbentuknya komunitas Tionghoa di Lasem tidak terlepas dari lokasi strategis Lasem yang berada di pesisir utara Laut Jawa. Di wilayah tersebut kemudian banyak bermunculan kapal-kapal dagang dari berbagai negara yang singgah. Lama kelamaan, Lasem berkembang menjadi kota pusat perdagangan di masa kolonial Belanda. Wilayah strategis Lasem dalam hal perdagangan itu juga mengundang orang Tionghoa untuk datang untuk misi berdagang. Mereka datang dengan menggunakan perauh-perahu jung dari arah tenggara dataran Tiongkok. Pelabuhan-pelabuhan besar di sepanjang pesisir Laut Jawa tersebut juga banyak menghadap ke Laut Tiongkok Selatan. Hal itu juga mendukung orang Tionghoa untuk menetap di kota-kota pelabuhan tersebut.<ref>http name=":0" //eprints.uny.ac.id/18156/3/BAB%202%2007.07.042%20Nur%20D.pdf</ref>
 
Perekonomian mereka di Indonesia justru menjadi semakin maju ketimbang ketika berada di Tiongkok yang sarat dengan kekangan dari kerajaan. Dalam mengembangkan perekonomiannya, orang Tionghoa memegang teguh nilai-nilai seperti ketekunan, berhemat, mengandalkan diri sendiri, semangat dalam berusaha dan keterampilan, ditambah dengan prinsip-prinsip organisasi sosial yang mudah ditemukan dan dikendalikan.
 
Dalam perkembangannya, eksistensi orang Tionghoa juga harus berhadapan dengan keberadaan pemerintah kolonial Belanda. Semakin kuatnya eksistensi kolonial Belanda tidak serta merta membuat eksistensi orang Tionghoa di Lasem menyurut. Orang Tionghoa bahkan diberikan peranan atau posisi khusus untuk mengelola perekonomian sebagai usahawan dan membina jaringan perdagangan serta finansial yang menyeluruh; membentang dari pelabuhan-pelabuhan besar hingga ke pasar-pasar desa. Keberadaan orang Tionghoa di Lasem dalam perkembangannya tidak hanya dalam rangka berdagang. Mereka membaur dengan unsur dan budaya lokal sehingga beberapa peneliti kesulitan untuk mengenali jejak-jejak budaya Tionghoa generasi pertama yang muncul di Lasem. Mereka juga tidak hanya menjadi kelompok yang identik dengan perdagangan, mereka juga mempunyai minat menjadi petani, pengurus usaha pertanian bangsawan Jawa atau ''pachter'' (pengusaha tanah) pemerintah Belanda.<ref>Liem Twan Djie, Perdagangan Perantara Distribusi Orang-Orang Cina di Jawa (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995) </ref>
 
== Perubahan Pemukiman Tionghoa di Lasem ==
Baris 42:
Dalam bidang ekonomi juga terjadi hal demikian. Bidang ekonomi menengah tengah sampai atas dikuasai oleh warga keturunan Tionghoa. Pertokoan di sepanjang jalan utama Lasem adalah bukti nyata bahwa orang Tionghoa banyak mengambil peran dominan. Hal itu terlihat jelas sebelum masa orde baru berakhir. Setelah masa orde baru selesai, orang Tionghoa banyak memidahkan bisnisnya ke kota-kota besar seperti Jakarta, Semarang, dan Surabaya. Sementara itu, orang Jawa yang tinggal di Lasem mulai mengembangkan bisnisnya di berbagai macam sektor, terutama pakaian dan kebutuhan rumah tangga. Dalam perkembangannya, saat ini orang-orang Jawa justru lebih banyak mendominasi roda perekonomian di Lasem, terutama di sekitar masjid Lasem, dan mengambil alihnya dari tangan orang Tionghoa. Toko-toko pakaian dan rumah tangga yang berdiri di sekitar Taman Lasem hampir seluruhnya dikuasai oleh warga Jawa Lasem. Bahkan, hampir seluruh mall kecil di Lasem juga dimiliki oleh orang Jawa Lasem.
 
Dalam bidang kebudayaan dan praktik keagamaan pun terjadi hal serupa. Ketika keturunan Tionghoa akan menggelar ritual budaya seperti perayaan Imlek, ''Cap Go Meh'', maupun acara kirap budaya perayaan ''Mak Co'' di Klenteng, mereka akan meminta izin terlebih dahulu kepada para kiayi di Lasem yang dinilai sebagai tokoh masyarakat. Komunikasi kultural tersebut bertujuan untuk menjamin keamanan dan ketertiban selama kegiatan mereka berlangsung.<ref name=":0">http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/02/150219_lasem_toleransi</ref> Meskipun beberapa kiayi ada yang tidak sepakat, kegiatan mereka terbukti mampu berjalan dengan lancar. Karnaval yang mereka gelar juga bahkan melintasi Masjid Jami’ Lasem dan jalan-jalan di sekitar pesantren. Warga sekitar pun menyambut baik perayaan tersebut sebagai hiburan dan tontonan yang menyenangkan.<ref>Atabik, Ahmad. 2016. Percampuran Budaya Jawa China: Harmoni dan Toleransi Beragama Masyarakat Lasem. Sabda, Volume 11, Tahun 2016 </ref>
 
== Referensi ==