Orang Tionghoa di Lasem: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Abdullah Faqih (bicara | kontrib)
xxx
Abdullah Faqih (bicara | kontrib)
xxx
Baris 9:
 
== Perubahan Pemukiman Tionghoa di Lasem ==
Keturunan Tionghoa yang bermigrasi ke Lasem tidak hanya berasal dari satu golongan, mereka terdiri dari berbagai macam golongan. Tempat tinggal para golongan tersebut di negeri asalnya (Tiongkok) juga tidak saling berdekatan. Sebagai misal, orang Tionghoa yang mendiami pemukiman Tionghoa di Lasem berasal dari daerah Fukien Selatan yang merupakan imigran terbesar di negara-negara Asia pada abad ke-19. Sama halnya dengan orang Tionghoa pada umumnya, mereka juga memiliki kepiawaian dalam berdagang dan memiliki etos kerja yang tinggi. Orang Tionghoa lain yang bermukim di Lasem adalah suku bangsa Hokka yang berasal dari Provinsi Guandong di bagian Cina selatan. Mereka lebih senang merantau ke daerah selatan dari tempat tinggal aslinya. Sementara itu, suku Tie Ciu dan Kwang Fu yang berasal dari pantai utara China atau tepatnya pedalaman Swatow di bagian timur Provinsi Kwantung juga banyak mendiami pemukiman di Lasem.<ref name=":4" />
 
Dalam perkembangannya, pertumbuhan penduduk Tionghoa di Lasem menjadi semakin banyak jika dibandingkan dengan daerah-daerah lain di pantai utara Jawa, seperti Jakarta, Semarang, dan Surabaya. Terlbih lagi ketika terjadi huru-hara pembantaian etnis Tionghoa di berbagai wilayah, Lasem menjadi pelarian banyak di antara mereka. Perasaan sebangsa dan senasib tentu menjadi pemicu tingginya orang Tionghoa yang bermigrasi ke Lasem dalam momentum itu. Namun demikian, berkaitan dengan pembrontakan yang pernah terjadi antara penduduk Lasem melawan VOC, pemerintah Belanda selalu menaruh kecurigaan kepada kota ini. Lasem dianggap seperti api dalam sekam yang perlu diawasi dan dikontrol. Akhirnya, Lasem yang semula adalah ibu kota kabupaten, diubah statusnya menjadi kecamatan. Kabupaten Lasem kemudian dipindahkan ke Rembang. Hal itu membuat pertumbuhan Lasem makin hari makin ditekan untuk tidak bisa berkembang. Perekonomian orang Tionghoa di Lasem pun semakin mengalami ketidakpastian. Begitu pula dengan wilayah pemukiman mereka, jika dibandingkan dengan kota-kota di Pantai Utara Jawa lainnya seperti Jakarta, Semarang, dan Surabaya, pemukiman mereka terhitung sangat tidak berkembang.
Baris 25:
Seiring berjalannya waktu, datanglah seorang penjual arak (''ciu'') pada tahun 1700-an di Lasem. Perantau tersebut juga berasal dari negeri Tiongkok yang tiba bertepatan dengan masa penjajahan Belanda berlangsung. Sang pendatang sangat terkejud ketika menyaksikan penduduk Tiongkok di Lasem mengalami penderitaan dan kesulitan ekonomi. Dengan rasa iba, ia akhirnya bertekad untuk menetap di Lasem dan membantu meningkatkan derajat perekonomian orang Tionghoa di sana. Ia kemudian memberikan pengetahuan kepada orang Tionghoa tentang cara membuat batik tulis. Mula-mula, ia yang mendirikan usaha batik tulis dengan memperkerjakan orang Tiongho sebagai pekerjanya. Hal itu ia lakukan sembari mengajarkan kepada mereka keterampilan dalam membuat batik tulis. Lambat laun, orang Tionghoa berpikir untuk tidak selamanya menjadi pekerja atau buruh batik tulis. Mereka bertekad untuk memiliki usaha batik tulis sendiri. Dalam perkembangannya, usaha batik tulis tersebut rupanya lebih dari mampu untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka. Bahkan, industry batik tulis di Lasem menjadi berkembang lebih cepat berkat sentuhan tangan dingin orang Tionghoa. Mereka pun dikenal sebagai pengusaha batik tulis yang mahir di Lasem.
 
Berkaitan dengan motif dan stylenya, batik tulis Lasem juga sedikit banyak tersentuh oleh pengaruh budaya Tionghoa, Jawa Tengah (Solo dan Yogyakarta), serta pengaruh selera Pantai Utara Jawa. Beberapa contoh motif batik yang disebarluaskan oleh orang Tionghoa adalah motif naga (atau liong dari bahasa Cina long) dan motif swastika (banji), motif awan ‘Cina’ mudah dikenali pada pinggiran yang sejajar yang diberi warna bergradasi (motif mega mendung, ‘awan mendung’) atau motif ‘kebun’ (tamansari), dengan tumbuh-tumbuhan di atas warna dasar cerah dan dipenuhi wadasan yang ditarik ke atas. Motif-motif tersebut kini dikenal baik oleh pengrajin maupun pecinta batik Jawa, bahkan menjadi sebuah kelaziman dan dikenal paling masyhur. Pengaruh budaya Tionghoa juga tercermin dalam motif berbentuk burung-burung Phoenix yang merupakan kekhasan dari budaya Tionghoa. Sementara pengaruh gaya batik Jawa Tengah tercermin dalam pusat seni batik yang selalu memiliki nilai filosofi.<ref name=":5">Rindita Anggarini Santosa, “Perkembangan Usaha Perbatikan di Kalangan Etnis Cina di Lasem Tahun 1960-1998”. Skripsi S-1, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, 2009.</ref>
 
Seiring berjalannya waktu, batik tulis Lasem kini menghadapi ancaman kepunahan. Berbagai permasalahan muncul yang mengarah pada ancaman kepunahan batik Lasem. Permasalahan mendasar yang dihadapi oleh industri batik tersebut adalah rendahnya minat generasi muda untuk melanjutkan usaha batik maupun menjadi pengrajin. Sebagian besar dari mereka lebih memilih untuk bekerja di sektor formal, baik di sekitar Kabupaten Rembang maupun di luar Kabupaten Rembang. Hal itu menyebabkan terjadinya dua masalah kritis dalam industri batik tulis di Lasem, berkurangnya aktor yang menekuni usaha batik tulis dan berkurangnya penghasilan bagi para penduduk di Lasem.<ref name=":2" />
 
Apabila dibandingkan dengan periode sebelumnya, batik tulis di Lasem memberikan kontribusi yang besar bagi perekonomian warga lokal, termasuk penduduk Jawa yang tinggal di sana. Para juragan batik dari Tiongkok itu pada abad ke-13 banyak memberikan kesempatan belajar membatik, menilai produksi yang baik, merencanakan dan menentukan sasaran penjualan, serta merencanakan target-target di masa depan dalam jangka waktu yang lama. Penduduk lokal banyak dipekerjakan dan mereka diperkenankan untuk mengerjakan pekerjaan membatiknya di rumah mereka masing-masing. Tidak cukup sampai di situ, juragan batik asal Tiongkok bahkan juga banyak banyak membantu perekonomian pnduduk sekitar dengan memberikan pinjaman atau hutang dalam jumlah kecil kepada para pekerja untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka.<ref name=":5" />
 
== Interaksi Tionghoa-Pribumi ==
Baris 42:
Dalam bidang ekonomi juga terjadi hal demikian. Bidang ekonomi menengah tengah sampai atas dikuasai oleh warga keturunan Tionghoa. Pertokoan di sepanjang jalan utama Lasem adalah bukti nyata bahwa orang Tionghoa banyak mengambil peran dominan. Hal itu terlihat jelas sebelum masa orde baru berakhir. Setelah masa orde baru selesai, orang Tionghoa banyak memidahkan bisnisnya ke kota-kota besar seperti Jakarta, Semarang, dan Surabaya. Sementara itu, orang Jawa yang tinggal di Lasem mulai mengembangkan bisnisnya di berbagai macam sektor, terutama pakaian dan kebutuhan rumah tangga. Dalam perkembangannya, saat ini orang-orang Jawa justru lebih banyak mendominasi roda perekonomian di Lasem, terutama di sekitar masjid Lasem, dan mengambil alihnya dari tangan orang Tionghoa. Toko-toko pakaian dan rumah tangga yang berdiri di sekitar Taman Lasem hampir seluruhnya dikuasai oleh warga Jawa Lasem. Bahkan, hampir seluruh mall kecil di Lasem juga dimiliki oleh orang Jawa Lasem.<ref name=":3" />
 
Dalam bidang kebudayaan dan praktik keagamaan pun terjadi hal serupa. Ketika keturunan Tionghoa akan menggelar ritual budaya seperti perayaan Imlek, ''Cap Go Meh'', maupun acara kirap budaya perayaan ''Mak Co'' di Klenteng, mereka akan meminta izin terlebih dahulu kepada para kiayi di Lasem yang dinilai sebagai tokoh masyarakat. Komunikasi kultural tersebut bertujuan untuk menjamin keamanan dan ketertiban selama kegiatan mereka berlangsung.<ref name=":0">http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/02/150219_lasem_toleransi</ref> Meskipun beberapa kiayi ada yang tidak sepakat, kegiatan mereka terbukti mampu berjalan dengan lancar. Karnaval yang mereka gelar juga bahkan melintasi Masjid Jami’ Lasem dan jalan-jalan di sekitar pesantren. Warga sekitar pun menyambut baik perayaan tersebut sebagai hiburan dan tontonan yang menyenangkan.<ref name=":4">Atabik, Ahmad. 2016. Percampuran Budaya Jawa China: Harmoni dan Toleransi Beragama Masyarakat Lasem. Sabda, Volume 11, Tahun 2016 </ref>
 
== Referensi ==