Masjid Syuhada: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Abdullah Faqih (bicara | kontrib)
ccc
Abdullah Faqih (bicara | kontrib)
xxx
Baris 4:
Pembangunan [[Masjid]] Syuhada di Yogyakarta berawal dari kegiatan pegajian yang diadakan di rumah keluarha Moch. Joeber Prawiroyuwono yang berada di Jalan Ngasem, [[Yogyakarta]]. Pengajian itu digelar setelah mundurnya [[Belanda]] dari [[Yogyakarta]] dan menjelang pemindahan ibu kota negara dari [[Yogyakarta]] ke [[Jakarta]]. Pada saat itu, beberapa tokoh yang hadir dengan dipantik oleh Mr. Asaat berpikir tentang kenang-kenangan apa yang pantas dihadiahkan kepada rakyat [[Yogyakarta]]. Mereka berpikir bahwa kemerdekaan yang dinikmati Indonesia saat ini tidak terlepas dari perjuangan rakyat [[Yogyakarta]] dan [[Sri Sultan Hamengkubuwono VII]] yang telah menjadikan [[Yogyakarta]] sebagai Ibu Kota Revolusi Indonesia.<ref>http://eprints.uny.ac.id/21705/3/3.%20BAB%20I.pdf</ref>
 
Berkenaan dengan itu, jauh ketika penjajahan [[Belanda]] masih berlangsung, Lapangan Kridosono di Kotabaru dimonopoli oleh [[Belanda]]. Lapangan sepakbola tersebut sejatinya adalah lapangan sepakbola terbesar di Yogyakarta. [[Belanda]] mempergunakan lapangan tersebut untuk kepentingan klub sepakbola mereka yang bernama ''Voetbalbond Djokja'' (VDB). Pribumi yang tinggal di sekitar lapangan bahkan dilarang untuk memasuki area tersebut. Hanya golongan berkebangsaan Belanda yang diperbolehkan untuk memasuki dan memanfaatkan fasilitas tersebut. Keadaan berubah sekejab ketika Jepang menjajah Indonesia dan mengusir Belanda dari Yogyakarta. [[Jepang]] dengan politik dan tipu muslihatnya berupaya untuk mengambil hati rakyat [[Indonesia]]. Mereka memberikan kesempatan kepada rakyat Yogyakarta untuk dapat memanfaatkan fasilitas lapangan sepakbola tersebut. Hal itu menjadi dalih Jepang yang mengaku sebagai saudara tua Indonesia. Rakyat Yogyakarta diperkenankan untuk menggunakan lapangan yang ada sebagai sarana hiburan menonton pertandingan sepakbola. Di tengah-tengah pertandingan sepakbola yang sedang berlangsung, terjadi percakapan antara dua tokoh masyarakat bernama Muhammad Muammal dan H.M Syuja’. Ketika waktu Shalat Ashar tiba di antara berlangsungnya pertandingan sepakbola, mereka kesulitan untuk mencari tempat ibadah. Mereka lupa bahwa di daerah Kotabaru belum ada [[masjid]]. Bahkan, [[Gereja Kristen Batak Protestan]] yang ada di sana dahulu juga sempat dijadikan masjid jami’ untuk Shalat Jumat. Berkenaan dengan dua peristiwa tersebut, maka beberapa tokoh [[agama]] dan masyarakat sepakat untuk membangun [[masjid]] di Kotabaru sekaligus sebagai hadiah dari pemerintah Indonesia kepada rakyat Yogyakarta.<ref name=":1">http://eprints.uny.ac.id/21705/10/10.%20RINGKASAN.pdf</ref>
 
== Proses Pembangunan Masjid ==
Proses pembangunan [[Masjid]] Syuhada mengalami dinamika dan pasang surut di awal prosesnya. Semula, kepanitiaan di periode pertama yang diketahui oleh Mohammad Muammal dan periode kedua diketua oleh H. M. Syuja’ mengalami kegagalan. Sampai saat ini, masih belum dipastikan apa penyebab kegagalan tersebut. Baru pada pembentukan panitia periode ketiga yang diketua oleh Mr. Asaat, pembangunan [[Masjid]] Syuhada berlangsung dengan lancar. Pada kepanitiaan tersebut, Mr. Asaat membentuk tujuh belas orang anggota panitia yang kemudian dikenal dengan sebutan Panitia 17. Kepanitiaan tersebut dibentuk pada hari Jumat, 14 Oktober 1949 di rumah keluarga M. Prawirojuwono dan kemudian diresmikan oleh Menteri Agama RI Kabinet Hatta, K.H. Masjkur.<ref name=":1" />
 
Berkantor di Jalan Ngabean Nomor 29, [[Yogyakarta]], proses pembangunan [[Masjid]] Syuhada dimulai dari pemilihan nama terlebih dahulu. Atas dasar masjid tersebut dibangun dalam momentum perjuangan prajurit dan rakyat [[Yogyakarta]] yang mempertahankan kemerdekaan Indonesia, Haji Benjamin yang merupakan salah satu pemuda muslim dari [[Yogyakarta]] mengusulkan nama “Masjid Peringatan Syuhada”. Nama tersebut kemudian disingkat menjadi “[[Masjid]] Syuhada”. Nama tersebut kemudian disetujui oleh seluruh panitia yang hadir. Namun demikian, sang pengusul nama tersebut wafat pada tanggal 4 Juli 1950 dan tidak dapat menyaksikan proses pembangunan serta menikmati Masjid Syuhada.
 
Setelah nama masjid disepakati, Pantia 17 kemudian membentuk susunan organisasi yang bertugas untuk mempersiapkan pembangunan masjid. Susunan organisasi itu antara lain terbagi menjadi empat, yaitu badan tertinggi, direksi, ''opzichter'', dan penasihat teknik. Badan tertinggi berwenang dan bertanggung jawab atas segala proses pembangunan [[masjid]]; direksi bertugas untuk melakukan kegiatan pembelian barang dan diupayakan untuk memperoleh barang dengan harga murah namun dengan kualitas baik; opzichter terdiri dari para ahli teknik yang bertugas untuk menilai pembangunan; penasihat teknik bertugas untuk memberikan saran terkait kelancaran dan hasil pekerjaan dari para ahli teknik. Para anggota panitia membentuk susunan atau struktur kepanitiaan semacam itu dimaksudkan untuk membuat proses pembangunan menjadi lebih efektif dan rapi.<ref name=":2">http://eprints.uny.ac.id/21705/4/4.%20BAB%20II.pdf</ref>
 
Setelah terbentuk susunan panitia yang rapi, anggota panitia kemudian berunding untuk memutuskan lokasi yang cocok didirikan [[Masjid]] Syuhada. Pada waktu itu, ada tiga pilihan yang ditawarkan, yaitu lapangan Widoro yang saat ini berdiri kantor [[Telkom Indonesia]] di [[Yogyakarta]]; lapangan sebelah barat [[SMA Negeri 3 Yogyakarta]]; dan tanah yang di atasnya telah berdiri bangunan gedung dinas purbakala. Setelah berdiskusi panjang lebar, mereka akhirnya memutuskan untuk membangunnya di pilihan ke-3.
Baris 17:
Bangunan Masjid Syuhada kemudian berada di antara Jalan Batanawarsa, [[Kali Code]] dan Tidar. Lebih jelasnya, di sebelah barat bersebelahan dengan [[Kali Code]], di bagian timur bersebelahan dengan Jalan Batanawarsa, dan Tidar. Dalam perkembangannya, [[Sri Sultan Hamengkubuwono VII]] juga membebaskan tanah seluas 2000 m2 di depan [[masjid]] untuk dibangun asrama. Bangunan asrama tersebut juga disusul dengan berdirinya bangunan-bangunan lembaga lain di sekitar [[masjid]] yang kemudian membuat Masjid Syuhada berintegrasi dengan lembaga-lembaga yang ada.
 
Dalam perkembangan pembangunan [[masjid]], Mr. Asaat sebagai ketua panitia juga menghadap [[Presiden Soekarno]] yang pada waktu itu masih berada di [[Yogyakarta]]. Mr. Asaat menyampaikan rencana pembangunan [[Masjid]] Syuhada di Kotabaru dan disambut dengan sangat positif oleh [[Presiden Soekarno]]. Seperti yang diketahui, Presiden Soekarno selalu menginginkan kemewahan dan kemegahan. Maka, Beliau juga menginginkan agar Masjid Syuhada dibangun dengan megah. Namun demikian, Beliau menyindir Mr. Asaat terkait konsep pembangunan masjid yang menurutnya masih serupa dengan langgar kecil, bukan masjid jami’ sebagaimana yang dikatakan. Hal itu membuat Mr. Asaat beserta anggota panitia 17 lainnya bekerja lebih keras untuk mencari sumber dana serta memperbaiki konsep pembangunan [[masjid]] agar menjadi megah sebagaimana yang dikatakan oleh [[Presiden Soekarno]]. Hal itu juga diamini oleh tokoh-tokoh bangsa lainnya yang kemudian juga memberikan berbagai macam dukungan untuk kelancaran pembanguan Masjid Syuhada.<ref name=":2" />
 
Membangun sebuah [[masjid]] yang megah sebagaimana yang dikatakan oleh [[Presiden Soekarno]] bukanlah hal yang mudah, terutama di tengah kondisi bangsa yang masih belum stabil paska-kemerdekaan. Terlebih lagi menyoal keuangan negara, [[Indonesia]] tentu belum cukup mampu untuk mendirikan bangunan masjid semacam itu. Namun demikian, para panitia bekerja keras untuk mengimpun dana dari para dermawan dan hartawan di Yogyakarta. Para tokoh-tokoh bangsa pun tidak sedikit yang memberikan harta bendanya demi lancarnya pembangunan [[Masjid]] Syuhada, termasuk Presiden Soekarno sendiri. Pada saat itu, panitia memperkirakan dana yang dibutuhkan untuk pembangunan Masjid Syuhada adalah sekitar 1 juta rupiah. Namun demikian, total pengeluaran yang ada ternyata lebih dari 1,2 juta rupiah. Pengeluaran itu hanya mampu mencakup bangunan masjid (material), belum termasuk perlengkapan di dalam masjid seperti sajadah, mimbar, kipas angin, dan lain sebagainya. Terlebih lagi, panitia pembangunan [[masjid]] juga tidak dibayar sedikit pun. Mereka yang kebanyakan adalah pra tokoh bangsa dan masyarakat bahkan mengeluarkan pengeluaran pribadinya untuk pembangunan Masjid Syuhada. Dalam prosesnya, pembangunan [[Masjid]] Syuhada juga tidak membayar kontraktor khusus. Seluruh proses pembangunan murni dikerjakan oleh rakyat [[Yogyakarta]] sendiri. Mereka menyadari betul, keuangan dan ekonomi negara sedang tidak kondusif. Pada saat itu, Kepala Pembangunan Nasional, Supomo, didampingi oleh penasihat teknik dari ''N.V. Associatie'' Jakarta bernama Ir. R. Feenstra bertanggung jawab untuk mengawasi pembangunan [[masjid]]. Sementara itu, H.M. Zaini W.S. dan kawan-kawan diberikan tanggung jawab untuk mencari alat, bahan, dan pekerja (tukang) yang akan mengerjakan pembangunan [[masjid]].<ref name=":1" />
 
Kemudian, pada tanggal 17 Agustus 1950, dilakukan peletakan kiblat pertama yang dipimpin oleh K.H. Badawi. Peletakan kiblat menjadi sangat penting sebelum pembangunan [[masjid]] dilakukan, karena berkaitan dengan arah shalat. Pada tanggal 23 September 1950, peletakan batu pertama oleh [[Sri Sultan Hamengkubuwono VII]] yang pada saat itu menjabat sebagai Menteri Pertahanan Republik Indonesia, dilaksanakan. Peletakan batu pertama juga dihadiri oleh [[Sjafruddin Prawiranegara]] dan [[Paku Alam VIII]] yang membacakan amanat dari Presiden Soekarno yang berhalangan hadir dalam kesempatan itu. Setelah melalui proses yang panjang, akhirnya pada tanggal 20 September 1952, Masjid Syuhada selesai dibangun dan diresmikan. Kegiatan peresmian [[Masjid]] Syuhada dihadiri oleh [[Presiden Soekarno]], para menteri, dan para duta besar negara Islam. Setelah kegiatan peresmian berupa pengguntingan pita berlangsung, mereka melakukan Shalat Dhuhur berjamaah di dalam [[masjid]] yang dilanjutkan dengan kegiatan berjalan-jalan di sekitar [[Masjid]] Syuhada untuk menikmati kemegahan yang ada.<ref>http://eprints.uny.ac.id/21705/5/5.%20BAB%20III.pdf</ref>
 
== Visi dan Misi ==
Sebagai masjid yang menyimpan nilai sejarah dan perjuangan kemerdekaan bangsa, [[Masjid]] Syuhada memiliki visi dan misi sebagai berikut:<ref>http://eprints.uny.ac.id/21705/5/5.%20BAB%20III.pdf</ref>
 
Visi: “Mengembangkan [[Masjid]] Syuhada sebagai salah satu masjid yang memiliki keunggulan di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan serta menjadi model (rujukan) penyelenggaraan fungsi dan peranan masjid modern”.
Baris 41:
Di samping itu, dua pilar penyangga di lantai ke-2 [[Masjid]] Syuhada juga menyimpan makna filosofis bagi kehidupan manusia. Manusia harus selalu menjaga hubungan baik dengan sesama makhluk ciptaan Allah (Habluminannas) dan menjaga hubungan baik dengan Allah SWT (Habluminallah). Masjid Syuhada tidak hanya mengajarkan kepada manusia mengenai bagaimana menjalin hubungan yang baik dengan Sang Pencipta, melainkan juga bagaimana menjaga hubungan dengan sesama manusia. Keduanya harus berjalan dengan seimbang. Masjid Syuhada juga mengajarkan keseimbangan untuk membagi waktu, tenaga, pikiran, dan lain sebagainya dengan cara seimbang. [[Masjid]] Syuhada bukan hanya menjadi tempat ibadah shalat berjamaah, melainkan juga tempat untuk menanamkan jiwa nasionalisme dan semangat perjuangan para syuhada yang mempertahankan Indonesia.<ref name=":0" />
 
Simbol akan [[nasionalisme]] itu masih melekat pada bangunan [[Masjid]] Syuhada dan terawat dengan baik meskipun umurnya sudah lebih dari 50 tahun. Simbol yang dipergunakan oleh Masjid Syuhada adalah tanggal kemerdekaan [[Republik Indonesia]], yaitu 17 Agustus 1945. Simbol tersebut dipilih untuk mengenang jasa para pahlwan (syuhada) yang telah berjuang mati-matian untuk memperjuangkan kemerdekaan [[Indonesia]]. Selain itu, simbol tersebut juga dipilih untuk menunjukan kepada generasi penerus tentang semangat nasionalisme para pejuang yang patut untuk diteladani. Secara lebih rinci, angka 17 dalam simbol tersebut digambarkan melalui jumlah anak tangga utama yang berjumlah 17. Anak tangga tersebut dibuat karena pada masa awal pembangunan kondisi tanah di sekitarnya lebih rendah daripada pintu masuk utama [[masjid]]. Keberadaan anak tangga sangat diperlukan oleh para jamaah. Sementara itu, angka delapan disimbolkan dengan adanya pilar gapura di depan anak tangga utama yang berbentuk segi delapan. Pilar-pilar gapura tersebut menjadi satu kesatuan dengan bangunan masjid dan tidak terpisah seperti berada menjorok ke depan dari bangunan. Keberadaan pilar tersebut menjadi “penyambut” bagi para jamaah yang datang ke [[Masjid]] Syuhada. Lebih jauh lagi, angka ‘45’ dalam Masjid Syuhada disimbolkan dengan jumlah kupel pada bagian atap [[masjid]]. Empat kupel berada pada atap bagian bawah, sedangkan lima kupel berada pada atap bagian atas yang salah satunya merupakan kubah utama Masjid Syuhada. Atap [[Masjid]] Syuhada sendiri masih meneraplan hiasan-hiasan khas [[Jawa]] yang disebut dengan ''Mustaka''. Atap tersebut juga memegang konsep meru yang merupakan sisa peninggalan masa [[Hindu n budha|Hindu dan budha]] atau sebelum Islam berkembang di [[Nusantara]]. Hal itu menunjukkan bahwa meskipun [[Masjid]] Syuhada dianggap sebagai masjid modern, bangunan masjid sama sekali tidak meninggalkan karakter atau falsafah setempat yang berbudaya Jawa. Hal itu sebagaimana terjadi di masjid-masjid kuno khas [[Jawa]] seperti masjid di [[Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat]].<ref name=":1" />
 
== Lembaga Pendidikan di Masjid Syuhada ==