Hak menentukan nasib sendiri: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k Menambah Kategori:Hukum internasional menggunakan HotCat |
Anatolia.kr (bicara | kontrib) Tidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 1:
'''Hak menentukan nasib sendiri''' (''self-determination'') adalah hak setiap orang untuk secara bebas menentukan kehendaknya sendiri, khususnya dalam hal prinsip mengenai status [[politik]] dan kebebasan mengejar kemajuan di bidang [[ekonomi]], [[sosial]], serta [[budaya]]. Kepentingan akan menentukan nasib sendiri, oleh sebab itu terletak pada adanya [[kebebasan]] dalam membuat pilihan.<ref name=":0">{{Cite web|url=http://www.unpo.org/article/4957|title=UNPO: Self-determination|website=www.unpo.org|language=en|access-date=2017-12-06}}</ref> Namun demikian, dewasa ini, penggunaan menentukan nasib sendiri lebih mengacu pada hak ‘orang’ untuk menentukan nasib politik. Namun dalam acuan tersebut, tidak ada kriteria hukum yang menjelaskan siapa ‘orang’ yang dimaksud, atau kelompok mana yang dapat secara sah membuat klaim terhadap hak tersebut dalam kasus tertentu, yang menjadikannya salah satu di antara isu kompleks yang dihadapi para pembuat kebijakan.<ref name=":1">{{Cite web|url=https://web.archive.org/web/20080220083041/http://findarticles.com/p/articles/mi_gx5215/is_2002/ai_n19132482|title=Self-Determination {{!}} Encyclopedia of American Foreign Policy {{!}} Find Articles at BNET.com|date=2008-02-20|access-date=2017-12-06}}</ref>
Pada mulanya prinsip menentukan nasib sendiri merupakan pedoman dalam pembangunan ulang [[Eropa]] pasca-[[Perang Dunia I]].<ref name=":0" /> Ketika sistem Eropa terdahulu mulai hancur setelah berakhirnya Perang Dunia I, prinsip menentukan nasib sendiri mendapat pembelaan dari tokoh internasional yang memiliki landasan [[ideologi]] berbeda, yakni [[Vladimir Lenin]] (dari 1903 sampai 1917)<ref name=":2">http://etheses.lse.ac.uk/923/1/Knudsen_Moments_of_Self-determination.pdf</ref><ref>{{Cite web|url=https://www.marxists.org/archive/lenin/works/1914/self-det/ch01.htm|title=Lenin: 1914/self-det: 1. WHAT IS MEANT BY THE SELF-DETERMINATION OF NATIONS?|last=Lenin|first=V.I.|website=www.marxists.org|access-date=2017-12-07}}</ref> dan presiden [[Woodrow Wilson]] (pada 1918)<ref name=":2" />.<ref name=":3">{{Cite web|url=http://www.austlii.edu.au/au/journals/MqLJ/2003/3.html|title=SELF-DETERMINATION, INTERNATIONAL SOCIETY AND WORLD ORDER - [2003] MqLJ 3; (2003) 3 Macquarie Law Journal 29|website=www.austlii.edu.au|access-date=2017-12-06}}</ref> Pidato Lenin bersifat lebih universal, meskipun pada akhirnya kurang berpengaruh. Sebaliknya, [[14 Pokok Wilson]] menguraikan sejumlah prinsip berkenaan dengan menentukan nasib sendiri,<ref name=":11">{{Cite journal|title=Self|url=http://opil.ouplaw.com/view/10.1093/law:epil/9780199231690/law-9780199231690-e873|language=en|doi=10.1093/law:epil/9780199231690/law-9780199231690-e873}}</ref> namun hanya diterapkan untuk orang-orang Eropa,<ref name=":4">{{Cite news|url=https://www.beyondintractability.org/essay/self-determination|title=Self-Determination Procedures|last=corissajoy|date=2016-07-13|newspaper=Beyond Intractability|language=en|access-date=2017-12-06}}</ref> dimana gagasan menentukan nasib sendiri tersebut berkembang secara berbeda di [[Eropa Tengah]] dan [[Eropa Timur]], dengan di [[Eropa barat]].<ref>Thomas D. Musgrave, Self-Determination and National Minorities (New York: Oxford University Press, 1997), chr. 1.</ref> Berkembangnya negara-negara moderen di Eropa, dan meningkatnya kesadaran nasional yang tengah populer di masa itu, meningkatkan status ‘menentukan nasib sendiri’ sebagai prinsip politik.<ref name=":1" />
Lingkup prinsip menentukan nasib sendiri dianalisis oleh dua kelompok ahli internasional yang ditunjuk oleh ''League of Nations'' ([[liga bangsa-bangsa]] – LBB) untuk memeriksa kasus [[pulau Aland]], wilayah yang secara budaya dan bahasa termasuk wilayah orang-orang [[Swedia]], dan wilayah tersebut menginginkan kembali bersatu dengan pulau induk Swedia daripada tetap menjadi bagian negara [[Finlandia]] yang baru merdeka dari [[kekaisaran Rusia]] pada Desember 1917.<ref name=":5">{{Cite web|url=https://pesd.princeton.edu/?q=node/254|title=Legal Aspects of Self-Determination {{!}} Encyclopedia Princetoniensis|website=pesd.princeton.edu|access-date=2017-12-06}}</ref> Kelompok ahli yang pertama berpendapat bahwa menentukan nasib sendiri jelas tidak mendapat status hukum internasional karena meskipun prinsip menentukan nasib sendiri berperan penting dalam pandangan politik moderen, terutama sejak Perang Dunia I, prinsip ini tidak ditemukan dalam perjanjian LBB.<ref name=":11" /> Pengakuan prinsip menentukan nasib sendiri pada sejumlah perjanjian internasional tertentu tidak dapat dianggap cukup untuk prinsip ini dapat diletakkan pada kaki yang sama dengan [[peraturan positif]] Hukum Bangsa-Bangsa ''(Law of Nations'').<ref>Report of the International Committee of Jurists entrusted by the Council of the League of Nations with the task of giving an advisory opinion upon the legal aspects of the Aaland Islands question, League of Nations Off. J., Spec. Supp. No. 3 (Oct. 1920) at 5.</ref> Kelompok ahli kedua mencapai simpulan yang hampir serupa dengan lingkup menentukan nasib sendiri kelompok pertama, mengistilahkannya sebagai “sebuah prinsip keadilan dan kebebasan
== Varian interpretasi ==
Baris 18:
=== Periode pertama ===
Periode pertama konsep menentukan nasib sendiri dimulai pada abad ke-19, bertahan hingga zaman pemerintahan [[Amerika Serikat]] dipimpin oleh presiden Woodrow Wilson, dan berakhir pada sekitar tahun 1945. [[John Stuart Mill]], di antara ahli yang lainnya, menyatakan bahwa keterkaitan antara etnisitas; bahasa; dan budaya pada satu sisi, dan status sebagai negara pada sisi lain, merupakan pijakan yang melatarbelakangi pergerakan nasional di abad ke-19. Namun Hanum berpendapat, pergerakan nasional klasik pada periode tersebut bukanlah untuk memecah suatu kekuasaan, melainkan untuk menggabungkan kelompok-kelompok/bangsa-bangsa, seperti yang terjadi di [[Jerman]] dan [[Italia]]. Menentukan nasib sendiri sebagai kekuatan politik dalam masyarakat internasional merupakan fenomena yang baru muncul sebagai akibat dari perang dunia I, dan akibat pemisahan [[kekaisaran Ottoman]] dan [[kekaisaran Austro-Hongaria]]. Kelompok-kelompok nasional yang lebih kecil di dalam kekaisaran berkehendak menarik diri dan membagi wilayah mereka. Menentukan nasib sendiri setelah terdisintegrasinya kekaisaran Ottoman dan kekaisaran Austro-Hongaria, dengan demikian, mengambil bentuk berupa pembagian/pemisahan diri daripada penggabungan teritorial.<ref name=":11" /><ref name=":6" />
====== Konferensi perdamaian ======
[[Berkas:The Big Four, Paris peace conference.jpg|jmpl|"Empat Besar" (''the Big Four'') pembuat keputusan utama dalam Konferensi Perdamaian Paris (dari kiri ke kanan, David Lloyd George dari Inggris, Vittorio Emanuele Orlando dari Italia, Georges Clemenceau dari Perancis, Woodrow Wilson dari Amerika Serikat)]]
Periode pertama setelah perang dunia I ini yang menyebabkan menentukan nasib sendiri menjadi terkemuka secara internasional, dimana prinsip menentukan nasib sendiri suatu bangsa berubah menjadi hak suatu bangsa untuk mendapatkan kemerdekaan.<ref name=":1" /><ref name=":7" /> Oleh sebab itu, dalam istilah umum, prinsip ini disederhanakan menjadi suatu kepercayaan bahwa setiap bangsa mempunyai hak untuk membuat negara sendiri dan menentukan pemerintahan mereka sendiri.<ref name=":1" /> Namun
====== Praktik diskriminasi ======
[[Berkas:Čuvajte Jugoslaviju.jpg|jmpl|"Jaga/Lindungi Yugoslavia" (''Čuvajte Jugoslaviju''), variasi kalimat yang dianggap sebagai kalimat terakhir Raja Aleksander, dalam sebuah ilustrasi orang-orang [[Yugoslavia]] menarikan tarian bernama [[kolo]].]]
[[Kerajaan Serbia, Kroasia dan Slovenia]] (Kerajaan Yugoslavia) merupakan kasus yang menjadi simbol untuk praktik diskriminasi
=== Periode ke-dua ===
[[Berkas:Nazi Holocaust by bullets - Jewish mass grave near Zolochiv, west Ukraine.jpg|jmpl|Sisa-sisa korban orang Yahudi setelah dieksekusi peluru oleh Nazi Jerman di dekat Zolochiv, [[Ukrania]] barat]]
Periode ke-dua konsep menentukan nasib sendiri ditandai dengan berdirinya ''United Nation'' – UN ([[Perserikatan Bangsa-Bangsa]] – PBB) di tahun 1945.<ref name=":6" /> Menentukan nasib sendiri [[kelompok etnis]], seperti yang didefinisikan dalam [[Konferensi Perdamaian Paris 1919|Konferensi Perdamaian Paris]], yang muncul dari [[Perang Dunia II]] ini relatif lebih lemah daripada akibat yang ditimbulkan oleh Perang Dunia I
# adanya ketegangan ekonomi dan politik yang menurunkan keinginan [[kekuatan Eropa]] untuk mempertahankan koloni/wilayah jajahan mereka.
# pertempuran [[perang dingin]] yang mengekspos [[kontradiksi]] klaim barat dalam membela kebebasan, namun pada saat yang sama mempertahankan kekuasaan di wilayah jajahan mereka.
# bahaya [[perang nuklir]] dan kepentingan yang saling menguntungkan di antara negara-[[negara adidaya]] dalam menopang supremasi mereka, menempatkan sebuah batas ketat pada derajat masing-masing negara [[Dunia Ketiga|dunia ketiga]] untuk meraih apa yang disebut
# kegiatan para aktivis dalam memperjuangkan [[hak asasi manusia]] yang mendapat perhatian luas internasional.
Pada tahun 1945, blok sekutu mengakui adanya dua kelemahan utama dalam konsep menentukan nasib sendiri dari yang diformulasikan setelah Perang Dunia I. Kelemahan pertama ialah norma etnis yang melekat pada konsep menentukan nasib sendiri, dan definisi orang-orang, yang dapat digunakan untuk mendukung praktik-praktik yang tidak boleh dilakukan. Kelemahan kedua ialah kurang terformulasikan dengan jelasnya konsep menentukan nasib sendiri setelah Perang Dunia I, sehingga menyebabkan digunakannya konsep tersebut sebagai instrumentalisasi berbahaya dan menciptakan fenomena yang belum pernah terjadi sebelumnya secara internasional.<ref name=":7" /> Di [[musim semi]] tahun 1945, [[Pihak Sekutu di Perang Dunia II|blok sekutu]] menghadapi tanggung jawab melakukan rekonstruksi pascaperang. Di antara tugas mereka ialah mengutuk dan memberikan penghukuman atas kejahatan sistematik terhadap populasi domestik yang dilakukan atas nama prinsip yang diakui secara internasional, menentukan nasib sendiri. Di dalam konteks yang tengah dihadapi oleh blok sekutu pada saat itu, satu hal yang jelas bagi mereka ialah peninjauan dan formulasi ulang yang harus dilakukan terhadap prinsip menentukan nasib sendiri. Oleh sebab itu, prinsip tersebut kemudian diformalkan dalam [[hukum internasional]] melalui inklusinya di dalam [[piagam PBB]].<ref name=":7" />
====== Piagam PBB ======
Menentukan nasib sendiri di dalam PBB menempati posisi yang lebih penting dibandingkan di dalam organisasi pendahulunya, LBB,<ref name=":8"><nowiki>https://scholarship.law.duke.edu/cgi/viewcontent.cgi?referer=https://www.google.com/&httpsredir=1&article=1957&context=dlj</nowiki> </ref> karena menentukan nasib sendiri secara jelas tertera dalam artikel piagam PBB.<ref name=":0" /> Perjanjian LBB tidak menyebut secara langsung prinsip menentukan nasib sendiri (tidak menggunakan kata/istilah tersebut) di dalam sistem mandat yang didirikannya, dan identifikasi mandat dan implementasi sistem sepenuhnya bergantung pada politik, bukan pada hukum.<ref name=":5" /><ref>Quincy Wright, Mandates under the League of Nations (Chicago: Univ. of Chicago Press, 1930); R.N. Chowdhuri, International Mandates and Trusteeship Systems: A Comparative Study (The Hague: Martinus Nijhoff, 1955).</ref> Tidak seperti dalam perjanjian LBB, piagam PBB menyebut menentukan nasib sendiri sebanyak dua kali.<ref name=":6" /> Artikel 1(2) piagam PBB secara eksplisit menyebutkan bahwa tujuan PBB ialah menjadi pengembang “hubungan persahabatan di antara bangsa-bangsa berdasarkan penghormatan terhadap prinsip persamaan hak dan menentukan nasib sendiri orang-orang, dan mengambil langkah yang sesuai untuk memperkuat kedamaian universal.” Artikel 55 piagam PBB, berhubungan dengan ekonomi internasional dan kerjasama sosial, menyatakan bahwa PBB akan mendorong obyektif tertentu “dengan pandangan untuk menciptakan kondisi yang stabil dan kesejahteraan yang diperlukan untuk kedamaian dan hubungan persahabatan di antara bangsa-bangsa berdasarkan penghormatan terhadap prinsip persamaan hak dan menentukan nasib sendiri orang-orang…”<ref name=":8" /> Pencantuman menentukan nasib sendiri dalam Piagam PBB menandai pengakuan universal prinsip ini sebagai dasar pemeliharaan hubungan perdamaian dan persahabatan di antara negara-negara.<ref name=":0" /> Namun seperti halnya dalam Konferensi Perdamaian Paris, menentukan nasib sendiri terdefinisi secara lepas dan mengundang perbantahan karena mengandung norma yang diduga melebihi langkah yang dapat terjadi untuk semua pihak.<ref name=":7" /> Istilah dalam piagam tersebut merujuk pada negara, dan bukan pada orang-orang atau kelompok. Meskipun demikian, dengan dituliskannya di dalam piagam, gagasan tersebut segera berkembang dari sebuah prinsip menjadi sebuah hak.<ref name=":6" /> Pada artikel 73 Piagam PBB bahkan ditekankan mengenai keunggulan pemerintahan kolonial atas nama “kesejahteraan penduduk wilayah (yang tidak diperintah sendiri).”<ref name=":11" /> Hal ini mengungkap kontradiksi yang semakin berkembang, yang oleh delegasi kekuatan kolonial itu temukan dalam diri mereka sendiri.<ref name=":7" />
====== Pekerjaan persiapan (''travaux preparatoires'') ======
Dalam proposal Dumbarton Oaks, pada artikel 1(2) dan artikel 55 tidak mengandung referensi apapun mengenai menentukan nasib sendiri. Proposal Dumbarton Oaks sesuai artikel 1(2) dirancang sederhana “untuk mengembangkan hubungan persahabatan di antara bangsa-bangsa dan mengambil langkah dalam memperkuat kedamaian internasional.” Pernyataan “berdasarkan penghormatan terhadap prinsip persamaan hak dan menentukan nasib sendiri orang-orang” ditambahkan untuk pertama kalinya di [[Konferensi San Fransisco]], pada saat empat kekuatan pendukung- [[Tiongkok]], [[Kerajaan Inggris]], Amerika Serikat, dan Uni Soviet- berkumpul.<ref name=":8" /> Disebutkan bahwa Uni Soviet menginisiasi penambahan yang muncul di artikel 1(2) proposal Dumbarton Oaks, yang mengandung referensi untuk “menentukan nasib sendiri orang-orang.” Dalam menjelaskan lingkup konsep tersebut, Tuan [[Molotov]] dilaporkan telah mengatakan dalam sebuah konferensi pers bahwa Uni Soviet “meletakkan kepentingan peringkat pertama” prinsip “persamaan dan menentukan nasib sendiri bangsa-bangsa” yang baru ditambahkan tersebut. Tujuan penambahan tersebut
====== Pendapat hukum ======
Baris 51 ⟶ 53:
# menentukan nasib sendiri pada saat itu dipertimbangkan sebagai hak mutlak- meskipun, sekali lagi, hanya diterapkan untuk koloni; prinsip ini menandakan perubahan signifikan dari periode sebelumnya.
# menentukan nasib sendiri tidak mengizinkan penarikan/pemisahan diri; melainkan integritas teritorial dari negara yang sudah ada, dan diasumsikan untuk wilayah jajahan.
[[Berkas:Africa independence dates.PNG|jmpl|Tahun kemerdekaan negara-negara Afrika]]
[[Euforia]] umum yang menimbulkan opini publik internasional sedemikian halnya sehingga menandakan tahun 1960 sebagai “tahun Afrika,” tidak terjadi dengan cara yang sama di antara beberapa negara yang baru terbentuk. Ketika negara bekas jajahan menarik batas komunitas politik mereka, diskriminasi seringkali masih berlaku dengan suatu pengecualian kecil, pemimpin dari negara yang baru diproklamirkan menetapkan praktik diskriminasi formal dan informal, dan sering melibatkan ikatan kekerabatan yang dekat dengan mereka untuk menyokong kelompok domestik tertentu atas kelompok lainnya.<ref name=":7" /> Perangkat nilai yang mengatur orde [[liberal]] internasional dalam negara yang baru dibentuk, secara sederhana tidak tecermin dalam wilayah negara baru tersebut. Hal itu dapat dipahami karena negara-negara baru tersebut tidak mempunyai pengalaman dengan struktur negara dan pengakuan [[hak]]. Negara-negara baru tersebut kesemuanya terbentuk mengikuti prinsip arbitrase [[Uti possidetis|''uti possidetis'']], bahwa status negara merdeka diberikan dengan syarat mengikuti panduan formal dari negara-negara kolonial/penjajah mereka.<ref name=":7" /> Meski demikian, penjelasan yang menekankan persistensi norma kolonial di dalam negara yang baru terbentuk, tidak mendapatkan banyak popularitas. Sebagai gantinya, sebagian besar ahli berpendapat bahwa diskriminasi terjadi karena penerapan menentukan nasib sendiri berakibat pada kemerdekaan yang prematur, atau pada suatu [[retribalisasi]] politik.<ref name=":7" /><ref>Mazrui, Ali A. Africa’s International Relations: The Diplomacy of Dependence and Change. London [u.a.]: Heinemann [u.a.], 1977.</ref>
Baris 56 ⟶ 59:
=== Periode ke-tiga ===
Periode ke-tiga perkembangan prinsip menentukan nasib sendiri dimulai dengan berakhirnya masa dekolonialisasi di akhir tahun 1970an, dan berlanjut hingga ke masa sekarang. Tahap ini ditandai dengan percobaan dalam beberapa dekade terakhir untuk menggabungkan dua periode menentukan nasib sendiri sebelumnya, yaitu hak etnis dan budaya minoritas, seperti yang dicetuskan presiden Woodrow Wilson, dengan absolutisme teritorial dekolonialisasi. Periode ketiga ini menghasilkan kecenderungan untuk mendefinisikan ulang gagasan menentukan nasib sendiri yang berarti setiap etnis atau kelompok nasional berbeda mempunyai hak untuk merdeka. Meskipun gagasan menentukan nasib sendiri dalam pengertian populer telah diartikan sedemikian, pengertian tersebut tidak diterima oleh negara manapun, ataupun oleh hukum internasional.<ref name=":6" /> Selanjutnya prinsip menentukan nasib sendiri disebut dalam ''1975 Helsinki Final Act'' (undang-undang akhir Helsinki), yang memberikan asal-mula pada konferensi untuk keamanan dan kerjasama di Eropa (''Conference for Security and Cooperation in Europe''). Namun, [[Koskenniemi]] berpendapat bahwa suatu hal yang meragukan, apakah pernyataan prinsip yang dimaksud akan diambil secara harfiah, sebab potensi revolusioner prinsip yang dihasilkan dari konferensi tersebut menekankan pada integritas teritorial.<ref name=":7" />
Pada periode ke-tiga ini telah terdapat gerakan untuk mengombinasikan gagasan hak minoritas dan dekolonialisasi, yang mendukung pendefinisian menentukan nasib sendiri sebagai hak untuk setiap kelompok etnis. Sisi menarik dari nilai [[demokratis]] juga mendorong kesadaran diri masyarakat etnis, dan pada beberapa kasus menyebabkan gerakan pemisahan diri. [[Komunikasi massa]] oleh sebab itu, memiliki peran yang besar pula dalam penyebaran gagasan menentukan nasib sendiri seperti yang diartikan dalam periode ke-tiga ini. [[Nasionalisme]], [[etnisitas]], dan [[agama]] semakin meningkat penggunaannya sebagai alat untuk mengekspresikan ketidakseimbangan kekuatan ekonomi
====== Pemisahan Yugoslavia ======
Sementara waktu perdebatan atas menentukan nasib sendiri dianggap telah berakhir, pemisahan Yugoslavia membawa kembali klaim nasional menentukan nasib sendiri atas nama etnisitas
[[Berkas:Yugoslavia ethnic map.jpg|jmpl|Map etnik Yugoslavia berdasarkan data sensus 1991]]
Pada tahun 1991, lebih dari satu tahun setelah Kroasia dan Slovenia menunjukkan tanda-tanda awal mereka ingin memproklamasikan kemerdekaan dari Serbia, ''Council of Ministers of the European Community'' – EC (dewan menteri komunitas Eropa) membentuk komisi arbitrase khusus, yang dikenal dengan nama [[Komite Badinter]]. Pada September 1991, dimulai Konferensi Internasional mengenai Yugoslavia yang dipimpin oleh Sekretaris Luar Negeri Inggris [[Lord Carrington]]. Konferensi ini terdiri dari para mediator dewan komunitas Eropa dan perwakilan pihak-pihak yang terlibat, yakni delegasi Yugoslavia dan perwakilan masing-masing republik konstituen. Beberapa bulan kemudian, Komite konferensi tersebut mengikuti prinsip ''uti possidetis'' mengakui batas antara Kroasia, Bosnia, dan Serbia. Dengan menerapkan prinsip kolonial pengakuan batas kepada orang-orang Balkan, Konferensi mengakui batas internal yang diakui sebelumnya, sebagai perbatasan internasional yang baru. Dalam melakukan hal tersebut, Konferensi mengakui kemungkinan adanya kebetulan (''coincidence'') di antara batas-batas negara-negara baru tersebut dengan klaim bangsa etnis. Maka sejak tahun 1990an, pemimpin yang baru memproklamirkan diri menemukan di dalam pengakuan internasional, adanya justifikasi tidak langsung untuk membentuk negara berdasar pada etnis.<ref name=":7" />
Kebingungan yang meliputi respon terhadap klaim menentukan nasib sendiri etnis menjadi semakin menonjol. Intervensi terakhir yang terjadi di [[Bosnia]], bersamaan dengan pendirian daerah perlindungan internasional, stigmatisasi Serbia, dan indulgensi internasional terhadap Kroasia, diikuti dengan kejadian panjang di Kosovo, mengendapkan hal yang diistilahkan sebagai krisis menentukan nasib sendiri internasional.<ref name=":7" /> Dalam pidato di depan Majelis Umum PBB pada tahun 1991, pangeran [[Hans-Adam II dari Liechtenstein]] mengutarakan niatnya untuk mengejar arahan baru untuk menentukan nasib sendiri. Pandangan yang ia terangkan ialah untuk menciptakan kerangka hukum baru dengan tujuan memberikan administrasi sendiri yang lebih besar kepada komunitas lokal. Ia berharap agar dalil menentukan nasib sendiri menjadi berkurang, kaitannya dengan batas nasional. Beberapa pihak melihat manfaat proposal dari pangeran [[Liechtenstein]] itu berpotensi menegaskan hak menentukan nasib sendiri secara simbolik,
== Dalam hukum internasional ==
Menentukan nasib sendiri dalam hukum internasional mengambil dua bentuk. Satu bagian yakni mengembangkan hukum hak asasi manusia, yang disebutkan dalam gagasan memberikan kepada setiap individu kendali yang lebih besar atas kehidupan mereka. Bagian lainnya, yaitu bagian yang lebih mengundang perdebatan, melibatkan kelompok yang membuat klaim untuk mendirikan negara independen yang berkedaulatan.<ref name=":4" /><ref name=":9">Richard Falk, Self-Determination Under International Law: The Coherence of Doctrine Versus the Incoherence of Experience. In The Self-Determination of Peoples: Community, Nation, and State in an Interdependent World, ed. Wolfgang Danspeckgruber (Boulder: Lynne Rienner Publishers, 2002), 42-3.</ref> Atau dalam gagasan moderen mengenai hak menentukan nasib sendiri
Beberapa ahli menilai bahwa semua klaim separatis terikat pada wilayah, dan berakar dari sejarah keluhan mereka, sehingga penyelesaian apapun memerlukan pemecahan terkait kebutuhan wilayah. Hanya beralasan pada sekumpulan orang-orang yang berbeda, tidak cukup kuat membuat kelompok orang mengklaim menentukan nasib sendiri, menurut pandangan [[Brilmayer]].<ref name=":4" /><ref>Lea Brilmayer, "Secession and Self-Determination: A Territorial Interpretation," Yale Journal of International Law 16 (1991): 177-202.</ref> Norma hukum internasional, oleh sebab itu, tidak berakar dari klaim teritorial, tetapi pada kelompok yang dirugikan,
== Dalam tinjauan HAM ==
Baris 77 ⟶ 80:
[[Wallensteen]] dan [[Sollenberg]] menemukan bahwa setidaknya setengah dari perang yang diperjuangkan di akhir abad ke-20 melibatkan kelompok yang mengklaim hak menentukan nasib sendiri mereka dirugikan oleh pihak/negara yang ingin mereka memisahkan diri darinya.<ref name=":3" /> Kasus-kasus yang terjadi berkenaan dengan menentukan nasib sendiri, timbul sebagai gejala krisis di dalam hak asasi manusia. Hal tersebut dikarenakan setiap klaim dalam menentukan nasib sendiri biasanya mengindikasikan masalah hak asasi manusia pada tahap akhirnya. Oleh sebab itu, alasan utama keluhan mengenai pelanggaran hak asasi manusia sepatutnya ditangani terlebih dahulu sebelum mencapai ranah menentukan nasib sendiri, dan<ref name=":6" /> upaya apapun yang dilakukan untuk membangun sebuah standar, sepatutnya memperhitungkan pula hak asasi manusia serta kemampuan dalam menerapkan standar tersebut.<ref name=":4" /><ref name=":10" /> Secara [[hukum]], menentukan nasib sendiri umumnya terbatas pada level negara. Namun secara [[empiris]], pergerakan menentukan nasib sendiri yang mempergunakan kekerasan dan mendapat kesuksesan, cenderung akan mendapatkan pengakuan (menyebarkan pesan melalui jalan kekerasan).<ref name=":4" /><ref name=":9" /> Hal ini menimbulkan konflik dengan pemahaman yang sudah berjalan lama bahwa perbatasan internasional tidak dapat diganggu gugat.<ref name=":4" /> [[Barkin]] dan [[Cronin]] berpendapat, kekuatan besar dalam hal tersebut belum dapat ditentukan secara konsisten prioritas yang seharusnya disetujui untuk prinsip yang saling bersaing, kedaulatan territorial dan menentukan nasib sendiri nasional.<ref name=":3" />
Penolakan secara mutlak pemisahan diri untuk setiap kasus, juga berada dalam landasan yang tidak kokoh, terutama toleransi penindasan suatu pihak atau pembantaian terhadap pihak lainnya atas nama integritas territorial. Pemisahan diri dapat merupakan arahan yang sah untuk beberapa gerakan menentukan nasib sendiri, khususnya sebagai jawaban atas pelanggaran yang berat serta sistematik atas hak asasi manusia, dan ketika entitas tersebut berpotensi sehat secara politik dan ekonomi. Beberapa bangsa atau kelompok yang dirugikan dan ditindas sedemikian buruknya oleh pemerintah mereka, sehingga otonomi lokal yang mungkin tercukupi untuk suatu kasus tertentu, tidak lagi dinilai cukup, maka kemerdekaan penuh dapat menjadi tujuan yang dapat diterima. Oleh sebab itu, dalam konteks tersebut, [[Scheffer]] tidak setuju dengan pendapat [[Hanum]], bahwa konsep menentukan nasib sendiri harus dikembalikan ke dalam kerangka statik
{| class="wikitable"
|+
|-
|Orde pertama:
|dekolonialisasi; eliminasi pemerintah asing (contoh: [[Indonesia]], [[India]], [[Tunisia]])
|-
Baris 91 ⟶ 94:
|satuan unit administratif (contoh: Chechnya, Kosovo, [[Dagestan]])
|-
|Orde ke-empat:
|komunitas atau bangsa asli (contoh: [[Cree]], [[Navajo]],
|-
| colspan="2" |'''Tipe B – Klaim hak asasi manusia dan demokrasi'''
Baris 106 ⟶ 109:
|-
|Orde ke-empat:
|pilihan pengaturan [[
|}
Penerimaan menentukan nasib sendiri yang terlalu bermurah hati dapat berakibat pada fragmentasi dan meningkatnya intoleransi
== Referensi ==
[[Kategori:Hukum internasional]]
|