Masyarakat Hukum Adat Rongi: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Abdullah Faqih (bicara | kontrib)
xx
Abdullah Faqih (bicara | kontrib)
dd
Baris 59:
 
=== Struktur Adat ===
''Parabela'' adalah sebutan untuk pemimpin atau ketua dari perangkat adat Rongi yang disebut dengan ''Sara Kadie Rongi.'' Perangkat adat tersebut secara garis besar terdiri dari dua bagian, yaitu ''Sara Adati'' dan ''Sara Hukumu.'' Pembagian ''Sara Adati'' dan ''Sara Hukumu'' didasari oleh kepentingan duniawi dan [[spiritual]]. Urusan ada yang berhubungan dengan duniawi seperti masalah [[tanah]] dan [[sumber daya alam]] akan diurus oleh perangkat adat ''Sara Adati''. Sementara itu, ''Sara Hukumu'' akan lebih banyak mendampingi ''Parabela'' mengurus persoalan spiritual MHA Rongi, seperti ibadah dan ritual-ritual tertentu. Pemilihan kedua perangkat adat tersebut dilakukan sendiri oleh ''Parabela'' dengan meminta pertimbangan dari tetua [[adat]], termasuk ''Kayaro'' yang merupakan mantan ''Parabela.''<ref name=":7">Rahman, Ruslan. 2005. Parabela di Buton . Disertasi. Universitas Hasanuddin. Makassar </ref>
 
Seoarang ''Parabela'' yang menjadi pemimpin MHA Rongi haruslah memenuhi kriteria tertentu kriteria utama menjadi ''Parabela'' haruslah memiliki garis keturunan dan mewarisi darah dari ''Parabela'' sebelumnya. Namun demikian, seorang [[anak]] atau keturunan dari ''Parabela'' tidak secara otomatis dapat memegang jabatan sebagai ''Parabela'' sebab ''Parabela'' tersebut akan dipilih langsung oleh MHA Rongi. Seorang ''Parabela'' juga harus memahami hukum adat Rongi secara substansial. Selain itu, seorang calon Parabela juga harus memiliki sifat-sifat kepemimpinan seperti ''amembali'' (sakti), ''atomaeka'' (wibawa), ''aumane'' (berani), ''akoadati'' (beradat), ''atoamsiaka'' (disegani), ''atobungkale'' (terbuka), dan ''akosabara'' (kesabaran). Apabila calon ''Parabela'' telah memenuhi syarat-syarat tersebut, pemilihan mereka akan melalui persetujuan tetua adat terlebih dahulu, terutama ''Kayaro'' yang merupakan mantan ''Parabela''.<ref name=":7" />
 
Di samping itu, seorang ''Parabela'' hanya boleh seorang [[laki-laki]]. Namun demikian, sebelum mencalonkan diri menjadi ''Parabela'', mereka harus memiliki [[istri]] terlebih dahulu. Seseorang yang belum memiliki [[istri]] tidak diperbolehkan menjadi ''Parabela''. Begitu pula bagi ''Parabela'' yang istrinya meninggal, ia harus rela melepas jabatannya sebagai ''Parabela''. Hal itu jelas menunjukkan posisi [[perempuan]] sangat penting untuk menentukan [[lelaki]] Rongi berpeluang menjadi ''Parabela'' atau tidak. Sebab, ketua hendak dikukuhkan menjadi ''Parabela'', ia harus memperoleh restu dari istrinya terlebih dahulu. Hal itu bagi MHA Rongi sangat penting mengingat mereka tidak mungkin memilih pemimpin adat yang sebelumnya belum berpengalaman dalam memimpin [[keluarga]].
 
Mula-mula, sebelum ''Parabela'' baru dikukuhkan, ''Parabela'' sebelumnya harus melakukan kegiatan peramalan (''kelola'') terlebih dahulu. Apabila tetua adat merasa bahwa ''kilala''-nya baik, maka yang bersangkutan akan dikukuhkan menjadi ''Parabela'' setelah sebelumnya memperoleh persetujuan [[istri]]. Apabila [[istri]] tidak menyetujui, maka pengukuhan ''Parabela'' akan dibatalkan. Sementara untuk durasi atau lamanya jabatan sebagai ''Parabela'', MHA Rongi tidak memiliki batasan tertentu. Seorang ''Parabela'' bisa mengundurkan diri apabila memang merasa sudah tidak mampu lagi menjadi ''Parabela'', seperti kondisi [[kesehatan]] yang tidak lagi memungkinkan. Namun demikian, anggota MHA Rongi akan menolaknya apabila dirasa sang ''Parabela'' masih di rasa mampu menjalankan pemerintahan adat di [[perkampungan]] mereka.<ref name=":2" />
 
Selain itu, MHA Rongi juga bisa meminta ''Parabela'' yang ada untuk mundur dari jabatannya apabila istri ''Parabela'' tersebut telah [[meninggal dunia]]. Tanda-tanda alam juga digunakan sebagai indikator apakah pemerintahan ''Parabela'' yang ada masih layak untuk dilanjutkan atau tidak. Tanda-tanda alam itu meliputi [[bencana alam]] dan gagal panen yang menimpa MHA Rongi. Hal itu pernah terjadi di akhir masa pemerintahan [[Kesultanan Buton]] atau sekitar tahun 1960-an. Beberapa hari setelah ''Parabela'' terpilih, MHA Rongi mengalami gagal [[panen]]. Ketua adat dengan didukung oleh masyarakat Rongi kemudian meminta ''Parabela'' yang menjabat untuk meletakkan jabatannya.
Baris 82:
C. ''Pamondo'' (Mediator)
 
Tugas atau fungsi lain ''Parabela'' adalah sebagai mediator dalam berbagai sengketa atau persoalan yang dialami oleh anggota MHA Rongi. Sengketa yang paling umum dialami oleh MHA Rongi biasanya berkaitan dengan penguasaan [[tanah]].<ref name=":5" />
 
Meskipun ''Parabela'' memilki [[kekuasaan]] yang tertinggi menyangkut hajat hidup MHA Rongi, ''Parabela'' tidak boleh semena-mena dalam mengambil keputusan. Keputusan yang diambil atas dasar pertimbangan pribadi sebelumnya harus diketahui terlebih dahulu oleh perangkat adat sebelum diumumkan ke seluruh anggota MHA Rongi. ''Parabela'' juga dapat mengambil keputusan dengan mempertimbangkan pendapat perangkat desa lain seperti ''Moji'', ''Wati'', dan ''Pande''. Hal yang paling utama dalam pengambilan keputusan itu haruslah dilakukan dengan transparan dan tidak ditutup-tutupi dari apa pun atau disebut dengan istilah ''atobungkale.'' Transparansi tersebut penting dilakukan terutama yang berkaitan dengan keputusan adat tertinggi atau ''unano kabotoki''.<ref name=":7" />
 
Sementara itu, apabila permasalahan yang hendak dipecahkan ''Parabela'' tergolong rumit, maka musyawarah yang melibatkan seluruh perangkat adat perlu dilakukan di rumah ''Parabela''. Apabila permasalahan tersebut belum juga menemukan titik terang, maka ''Parabela'' dapat melakukan musyawarah lanjutan di ''Baruga'' yang merupakan tempat pertemuan seluruh perangkat dan tokoh adat. [[Musyawarah]] tersebut akan dihadiri oleh perangkat adat, tokoh adat, ''Kayaro'', dan pihak-pihak yang bertikai. Semua peserta [[musyawarah]] memiliki hak yang sama untuk mengemukakan pendapat mereka.
Baris 90:
Menurut beberapa penelitian yang telah dilakukan, ''Parabela'' juga memiliki kewenangan dalam pengaturan [[tanah]] dan [[sumber daya alam]]. Hak ulayat tersebut dinilai mengandung dimensi [[hukum perdata]] seperti kepemilikan bersama dalam MHA Rongi sekaligus hukum publik yang berisi kewenangan dalam mengatur masyarakatnya sendiri. Secara tidak langsung, ''Parabela'' juga memiliki kewenangan untuk menyentuh dimensi hukum perdata dan hukum publik tersebut.<ref name=":2" />
 
Dalam dimensi hukum perdata, ''Parabela'' pernah mewakili MHA Rongi dalam penandatanganan akta untuk memberikan tanah wakaf dalam wilayah adat Rongi seluas 50 meter dan dibangun fasilitas [[pendidikan]] di Rongi yang saat ini telah didirkan sebuah sekolah dasar di tanah wakaf tersebut. Di tahun 2010, ''Parabela'' juga pernah menjadi wakil MHA Rongi untuk pengajuan gugatan terkait sengketa batas wilayah adat antara Desa Sandang Pangan dengan Desa Hendea. Dalam pengajuan banding atas putusan Pengadilan Negeri Baubau Nomor 27/Pdt/G/2010/PN Baubau pada [[Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara]], ''Parabela'' juga bertindak sebagai wakil MHA Rongi.<ref>https://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/9cb1c5974a005c7432724d82ebea8e06</ref>
 
Sementara itu, dalam dimensi hukum publik, Parabela memiliki wewenang untuk mengatur masyarakatnya sendiri serta pemberian penguasaan atau pemanfaatan [[tanah]] dan [[sumber daya alam]] kepada MHA Rongi maupun pihak di luar MHA Rongi. Secara lebih jelas, kewenangan Parabela dalam dimensi hukum publik adalah sebagai berikut:<ref name=":2" />
Baris 142:
 
=== Pengaturan untuk pertanian dan perkebunan ===
Anggota MHA Rongi kini bersikap lebih berhati-hati dalam memberikan kuasa untuk mengolah lahan [[pertanian]] atau [[perkebunan]] kepada ''kadie'' lain di luar kelompok mereka. Hal itu disebabkan oleh pernah munculnya konflik antara ''kadie'' Rongi dengan ''kadie'' Hendea pada tahun 1959 terkait adanya perbedaan batas wilayah adat menurut perjanjian adat dan keputusan [[pemerintah]]. <ref name=":6" />Semenjak saat itu, anggota MHA Rongi lebih banyak memanfaatkan tanah [[pertanian]] dan [[perkebunan]] untuk kepentingan mereka sendiri. Meskipun demikian, di beberapa kasus tertentu, mereka masih bersedia memberikan kesempatan kepada pihak lain untuk memanfaatkan tanah mereka. Mereka tetap memiliki aturan-aturan tertentu dalam mengatur pengajuan pinjam-meminjam dan sewa-menyewa tanah oleh MHA Rongi kepada pihak dari luar MHA Rongi. Beberapa aturan itu adalah apabila orang yang ingin menggarap lahan [[pertanian]] atau [[perkebunan]] berasal dari ''kadie'' lain, maka orang yang bersangkutan harus menghubungi ''Sara Kadie Rongi'' yang kemudian akan dilakukan musyawarah untuk menentukan memberikan persetujuan atau penolakan. Apabila disetujui, maka tanah [[pertanian]] atau [[perkebunan]] itu akan dikenai pajak 12:1 terhadap hasil panennya. Sebagai misal, apabila petani dari ''kadie'' lain menanam komoditas [[jagung]] dan memetik jagung sebanyak 12.000 buah, maka sebanyak 1.000 buah harus diperuntukan kepada ''kadie'' Rongi. Apabila penyewa tanah berasal dari luar [[Kesultanan Buton]], maka musyawarah akan dilakukan dengan Sultan Buton, ''Bobato'', dan ''Sara Kadie''. Apabila memungkinkan, pemberian kuasa pakai dengan status sewa akan diberikan dengan kewajiban membayar seperdua dari hasil panen mereka kepada ''kadie'' Rongi. Selain itu, MHA Rongi juga memberikan aturan khusus kepada golongan ''Kaomo'' dan ''Walaka''. Golongan tersebut dapat langsung mengajukan permohonan hak kepada ''Sara Kadie'' dan akan langsung diputuskan apakah permohonannya diterima atau ditolak. Apabila diterima, mereka diperkenankan mengolah tanah [[pertanian]] dan [[perkebunan]] dengan tanpa pajak. Mereka tidak perlu membagi hasil panenya sebagaimana aturan adat untuk orang di luar ''Kadie'' Rongi dan di luar [[Kesultanan Buton]]. Namun demikian, mereka hanya dibatasi atas hak pakai tersebut selama satu kali musim panen. Mereka dapat memperpanjang masa penggunaan [[lahan]] apabila memungkinkan.<ref name=":2" />
 
=== Pengaturan untuk kepentingan umum oleh pemerintan ===
Baris 148:
 
=== Pengaturan untuk kegiatan pertambangan oleh perusahaan ===
Pemanfaatan [[tanah ulayat]] kepada perusahaan yang hendak melakukan pertambangan juga lebih terbuka daripada untuk memanfaatkannya sebagai lahan [[pertanian]]. Pemberian wewenang penggunaan tanah untuk kegiatan [[pertambangan]] dapat dilakukan melalui pemberian penguasaan atau pemanfaatan tanah dengan hak pakai dalam jangka waktu tertentu atau melalui pelepasan tanah adat oleh ''Parabela''. Perusahaan yang sedang melakukan kegiatan [[pertambangan]] di permukiman MHA Rongi adalah PT Metrix Elcipta dan perusahaan pengembang PLTM. PT Metrix Elcipta yang bergerak di bidang [[pertambangan]] [[aspal]]. Perusahaan tersebut sejak tahun 2003 telah mengantongi izin yang dikeluarkan oleh pemerintah [[Kabupaten Buton]] berdasarkan ketentuan di dalam UU No. 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan dengan jangka waktu 30 tahun, sejak tahun 2003 hingga 2033<ref>http://prokum.esdm.go.id/Lain-lain/SULTRA.pdf</ref>. Izin yang dikantongi oleh perusahaan tersebut meliputi beberapa hal, termasuk izin melakukan penyelidikan umum, eksplorasi, [[eksploitasi]], pengolah dan pemurnian, hingga pengangkutan dan penjualan.
 
Semula, perusahaan tambang tersebut mengajukan izin usaha ekstraksinya kepada pemerintah [[Kabupaten Buton]]. Kemudian, pemerintah setempat melakukan sosialisasi atau pemberitahuan kepada MHA Rongi melalui ''Parabela'' yang ada mengenai rencana kegiatan [[pertambangan]] itu.
 
Setelahnya, MHA Rongi melakukan musyawarah internal setelah pemerintah kabupaten memberitahukan rencana kegiatan pertambangan oleh PT Metrix Elcipta. Musyawarah internal tersebut dilakukan di ''Baruga'' dan banyak melibatkan seluruh perangkat adat, termasuk ''Anakamia'' dan ''Kayaro''. MHA Rongi kemudian menggelar musyawarah bersama dengan seluruh perangkat adat, pemerintah kabupaten dan pihak dari PT Metrix Elcipta. Musyawarah bersama tersebut juga dilakukan di ''Baruga''. ''Parabela'' sebagai perwakilan MHA Rongi memberikan persetujuan lisan kepada PT Metrix Elcipta dengan melakukan pelepasan tanah adat melalui jual-beli dan memberikan izin kepada [[perusahaan]] tersebut untuk melakukan kegiatan pertambangan. Setelah muncul kesepakatan di antara seluruh pihak yang terlibat, barulah perusahaan tersebut diperkenankan untuk melakukan kegiatan [[pertambangan]]. Namun demikian, kegiatan [[pertambangan]] mereka baru benar-benar bisa dilakukan setelah MHA Rongi melakukan upacara adat di lokasi tanah yang akan dijadikan sebagai lokasi tambang.<ref name=":2" />
 
Proses jual-beli tanah tersebut kemudian dilakukan oleh perusahaan tambang kepada setiap warga yang bidang tanahnya dijadikan lokasi tambang. Setiap meter bidang tanah dihargai sebesar Rp3.000 ditambah dengan ganti rugi atas pohon kelapa, jambu mede, kopi, dan jati yang telah tiga kali produksi senilai Rp50.000 untuk setiap pohon. Setelah proses jual-beli selesai, maka tanah yang telah dilepaskan tersebut secara resmi berada di bawah kekuasaan negara dengan pemberian izin kegiatan [[pertambangan]] kepada PT Metrix Elcipta. Apabila masa berlaku kegiatan [[pertambangan]] habis, hak milik tanah akan dikembalikan ke negara dan bukan lagi menjadi hak milik MHA Rongi. Namun demikian, MHA Rongi tetap memberikan batasan kepada mereka untuk tidak memanfaatkan tanah yang ada di dalam hutan ''kaombo''.<ref name=":2" />
 
Selain itu, PT Metrix Elcipta juga akan memberikan bantuan terhadap kegiatan-kegiatan sosial masyarakat serta berkomitmen memberikan bantuan apabila terjadi bencana alam, sebagaimana tanggung jawab sosial perusahaan (''Corporate Social Responsibility'')<ref>{{Cite web|url=https://www.iisd.org/business/issues/sr.aspx|title=Corporate social responsibility (CSR) {{!}} Current issues|website=www.iisd.org|access-date=2017-12-09}}</ref>.