Jalur ABG: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Golkar sebagai kendaraan politik Orde Baru
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 22:
Stabilitas politik diperlukan untuk membangun ekonomi yang lebih baik karena [[Orde lama]] dibawah [[Soekarno]] meninggalkan warisan sekaligus tantangan bagi negara [[Indonesia]], yaitu berupa inflasi yang tinggi (sekitar 650%) yang mengakibatkan pada kemiskinan yang luar biasa. Kemereosotan ekonomi Indonesia pasca Orde Lama itu kemudian menjadi tanggungjawab Orde Baru untuk memperbaikinya, maka kemudian Orde Baru lebih mengutamakan kepada pembangunan ekonomi, dan untuk itu kelompok militer dianggap sebagai kelompok yang paling mampu menjaga stabilitas politik agar pembangunan ekonomi dapat berjalan dengan baik. Militer mampu menjadi stabilisator karena memiliki sumber daya yang tidak dimiliki sipil, yaitu senjata, sistem komando, dan disiplin yang tinggi.<ref>Haniah Hanafie dan Suryani, ''Politik Indonesia'', (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2011) hal. 79</ref>
 
Militer menjadi salah satu unsur utama di dalam pemerintahan [[Orde Baru]] [[Soeharto|Jenderal Soeharto]]. Peran militer itu selain sebagai stabilisator, juga sebagai fasilitator, sistem [[otoritarianisme]] melalui [[Dwifungsi ABRI]]. ABRI menerapkan doktrin Dwifungsi diseluruh tingkatan dalam pemerintahan, dari yang tertinggi sampai yang terendah. Implementasi Dwifungsi ABRI itu dilakukan dengan cara memasukan personil militer yang aktif maupun yang telah [[purnawirawan]] ke dalam jabatan-jabatan publik, dari presiden, [[gubernur]], [[walikota]], [[bupati]], [[camat]], bahkan [[lurah]]. Tujuan dari memasukkan personil militer aktif kedalam struktur pemerintahan adalah untuk membangun struktur komando seperti halnya stuktur komando teritorial dalam militer, sehingga pemerintah dapat mengendalikan masyarakat. Alasan keamanan dan ketahanan, menjadi alasan pemerintah untuk menempatkan perwira militer yang diangkat menjadi pejabat publik.<ref>Haniah Hanafie dan Suryani, ''Politik Indonesia'', (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2011) hal. 81</ref>
Atas nama pembangunan ekonomi, kemudian pihak penguasa militer atau [[junta militer]] di masa [[Orde Baru]] kemudian menjalankan kebijakan apapun untuk menjaga stabilitas politik, agar pembangunan ekonomi dapat berlangsung dnegan baik dan sesuai rencana. Salah satu yang dilakukan oleh [[junta militer]] adalah membatasi kebebasan berpendapat, karena kebebasan berpendapat yang tanpa batas akan memunculkan potensi-potensi disabilitas dan ideologi-ideologi yang dianggap destruktif, seperti [[anarkisme]]. Namun, pembatasan yang dilakukan oleh [[Orde Baru]] kemudian bersifat terlalu mengekang, membatasi partisipasi masyarakat, dan cenderung represif. Kebijakan-kebijakan represif yang dilakukan oleh [[Orde Baru]] antara lain; mewajibkan para [[mubalig]] untuk melaporkan tema [[khotbah]] mereka, para [[mahasiswa]] dilarang untuk mengikuti [[organisasi]] yang dianggap bertentangan dengan negara, kekuatan politik [[sayap kiri]] dibungkam, dan [[sayap kanan]], khususnya [[fundamentalisme keagamaan]] mengalami kriminalisasi.<ref>Haniah Hanafie dan Suryani, ''Politik Indonesia,'' (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011) hal. 80</ref>
 
Atas nama pembangunan ekonomi, kemudian pihak penguasa militer atau [[junta militer]] di masa [[Orde Baru]] kemudian menjalankan kebijakan apapun untuk menjaga stabilitas politik, agar pembangunan ekonomi dapat berlangsung dnegan baik dan sesuai rencana. Salah satu yang dilakukan oleh [[junta militer]] adalah membatasi kebebasan berpendapat, karena kebebasan berpendapat yang tanpa batas akan memunculkan potensi-potensi disabilitas dan ideologi-ideologi yang dianggap destruktif, seperti [[anarkisme]]. Namun, pembatasan yang dilakukan oleh [[Orde Baru]] kemudian bersifat terlalu mengekang, membatasi partisipasi masyarakat, dan cenderung represif. Kebijakan-kebijakan represif yang dilakukan oleh [[Orde Baru]] antara lain; mewajibkan para [[mubalig]] untuk melaporkan tema [[khotbah]] mereka, para [[mahasiswa]] dilarang untuk mengikuti [[organisasi]] yang dianggap bertentangan dengan negara, kekuatan politik [[sayap kiri]] dibungkam, dan [[sayap kanan]], khususnya [[fundamentalisme keagamaan]] mengalami kriminalisasi. Kestabilan politik juga direkayasa oleh pemerintah [[Orde Baru]] kepada peran [[legislatif]] atau [[Dewan Perwakilan Rakyat|Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)]]. Fungsi kontrol dan pengawasan dari DPR kepada pihak [[eksekutif]] atau pemerintah tidak berjalan dengan seharusnya. Setiap anggota DPR yang dianggap terlalu vokal atau terlalu kritis dalam menyerang pemerintah akan dicopot, sehingga kinerja DPR menjadi tidak maksimal, dan seringkali ada ugkapan pekerjaan DPR hanya, "D5" yaitu "Datang, Duduk, Dengar, Dapat Duit".<ref>Haniah Hanafie dan Suryani, ''Politik Indonesia,'' (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011) hal. 80</ref>
 
Pada rentang waktu 1980 - 1990 peran militer mulai berkurang, hal ini karena adanya proses [[demokratisasi]] yang terjadi di seluruh dunia, banyak rezim militer [[sayap kanan]] yang mulai berjatuhan seperti di [[Spanyol]], [[Argentina]], [[Chile]], [[Portugal]], dan masih banyak lagi, selain itu [[komunisme]] yang menjadi lawan dari [[militerisme]] juga mengalami kebangkrutan di banyak negara yang dahulu menjadi pusatnya, seperti [[Uni Soviet]], hal ini juga berdampak pada rezim [[Orde Baru]] yang kemudian tumbang pada 1998.
 
== Birokrasi sebagai Penggerak ==