Jalur ABG: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 25:
 
Atas nama pembangunan ekonomi, kemudian pihak penguasa militer atau [[junta militer]] di masa [[Orde Baru]] kemudian menjalankan kebijakan apapun untuk menjaga stabilitas politik, agar pembangunan ekonomi dapat berlangsung dnegan baik dan sesuai rencana. Salah satu yang dilakukan oleh [[junta militer]] adalah membatasi kebebasan berpendapat, karena kebebasan berpendapat yang tanpa batas akan memunculkan potensi-potensi disabilitas dan ideologi-ideologi yang dianggap destruktif, seperti [[anarkisme]]. Namun, pembatasan yang dilakukan oleh [[Orde Baru]] kemudian bersifat terlalu mengekang, membatasi partisipasi masyarakat, dan cenderung represif. Kebijakan-kebijakan represif yang dilakukan oleh [[Orde Baru]] antara lain; mewajibkan para [[mubalig]] untuk melaporkan tema [[khotbah]] mereka, para [[mahasiswa]] dilarang untuk mengikuti [[organisasi]] yang dianggap bertentangan dengan negara, kekuatan politik [[sayap kiri]] dibungkam, dan [[sayap kanan]], khususnya [[fundamentalisme keagamaan]] mengalami kriminalisasi. Kestabilan politik juga direkayasa oleh pemerintah [[Orde Baru]] kepada peran [[legislatif]] atau [[Dewan Perwakilan Rakyat|Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)]]. Fungsi kontrol dan pengawasan dari DPR kepada pihak [[eksekutif]] atau pemerintah tidak berjalan dengan seharusnya. Setiap anggota DPR yang dianggap terlalu vokal atau terlalu kritis dalam menyerang pemerintah akan dicopot, sehingga kinerja DPR menjadi tidak maksimal, dan seringkali ada ugkapan pekerjaan DPR hanya, "D5" yaitu "Datang, Duduk, Dengar, Dapat Duit".<ref>Haniah Hanafie dan Suryani, ''Politik Indonesia,'' (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011) hal. 80</ref>
 
[[Orde Baru]] menggunakan militer dan termasuk badan intelejen untuk membatasi ruang gerak aspirasi masyarakat, banyak kelompok-kelompok masyarakat yang kemudian bila melakukan aksi protes terhadap pemerintah kemudian akan dilabeli [[subversif]] yang kemudian harus berhadapan dengan pihak militer. Militer menjadi pilar penopang stabilnya rezim Orde Baru dalam mempertahankan [[status quo]] atas nama keberlangsungan pembangunan ekonomi. Akhirnya atas nama menjaga dan mempertahankan itulah, [[ABRI]] tersandung banyak kasus pelanggaran terhadap [[Hak Asasi Manusia]], seperti di [[Aceh]], [[Irian Jaya]] (sekaran [[Papua]]), dan [[Timor Timur]] (sekarang [[Timor Leste]]), selain itu ABRI juga bertanggungjawab atas hilangnya [[aktivis]] dan beberapa tragedi kemanusiaan lainnya, seperti [[Tragedi Semanggi]], [[Tragedi Trisakti]], [[Tragedi Tanjung Priok]], dan masih banyak lagi.
 
Pada rentang waktu 1980 - 1990 peran militer mulai berkurang, hal ini karena adanya proses [[demokratisasi]] yang terjadi di seluruh dunia, banyak rezim militer [[sayap kanan]] yang mulai berjatuhan seperti di [[Spanyol]], [[Argentina]], [[Chile]], [[Portugal]], dan masih banyak lagi, selain itu [[komunisme]] yang menjadi lawan dari [[militerisme]] juga mengalami kebangkrutan di banyak negara yang dahulu menjadi pusatnya, seperti [[Uni Soviet]], hal ini juga berdampak pada rezim [[Orde Baru]] yang kemudian tumbang pada 1998.