Gereja Santa Theresia Liseux, Boro: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
xx |
xx |
||
Baris 4:
Gereja Theresia Liseux Boro disebut juga sebagai Gereja Boro karena lokasinya yang berada di Komplek Misi Boro. Di dalam Komplek Misi Boro juga terdapat bangunan lain seperti pastoran dan kantor pengelola [[gereja]], Rumah Sakit Santo Yusup, Susteran St. Fransiskus Boro, Bruderan F.I.C Boro, Panti Asuhan Sancta Maria Boro, Pertenunan Sancta Maria dan Sekolah Pangudi Luhur (SD-SMP). Dalam sejarahnya, Gereja Theresia Liseux Boro mulai dibangun pada tanggal 31 Agstus 1931. Sebelum dibangun Gereja Boro, Boro awalnya merupakan bagian dari stasi-stasi Kalibawang yang dilayani oleh ''Paroki'' dari [[Muntilan, Magelang]], Magelang. Kehidupan kegamaan di sana mulai hidup kembali ketika Romo J. Prenthaler, S.J.<ref>Haryono, Anton. 2009. Awal Mulanya Adalah Muntilan. Penerbit Kanisius: Yogyakarta.</ref> ditugaskan sebagai pembimbing wilayah Boro. Komplek Misi Boro sendiri terdiri dari beberapa bangunan seperti [[gereja]], susteran, panti asuhan, pabrik tenun, bangunan Bruderan F.I.C Boro, bangunan Taman Kanak-Kanak, dan Sekolah Dasar “Marsudirini”, serta Sekolah Menengah Pertama “Pangudi Luhur”.
Pembangunannya sendiri berlangsung dari tahun 1928 hingga 1938 dengan bangunan pastoran sebagai bangunan pertama yang dibangun. Pembangunan dilanjutkan ke bangunan-bangunan lain hingga panti asuhan yang menjadi bangunan terakhir yang dibangun. Sumber dana yang digunakan untuk membangun Komplek Misi Boro diperoleh dari bantuan [[Belanda]], mengingat biaya yang diperlukan tidak sedikit pada saat itu. Namun demikian, Romo J. Prenntahaler, S. J. tidak ingin terlalu banyak bergantung pada Belanda, sehingga ia mendirikan perkumpulan untuk menggalang dana dari para donator, yaitu Serikat St. Klaver, ''Rooms Katholieke Meisjes Hogere Burger School'' (Sekolah Tinggi Katolik Roma untuk pada Pemudik)<ref>{{Cite web|url=https://www.erfgoedleiden.nl/component/lei_verhalen/verhaal/id/648|title=Verhalen: Hogere Burgerschool voor Meisjes, 1883-1963|website=www.erfgoedleiden.nl|language=nl-nl|access-date=2017-12-11}}</ref> yang ada di [[Amsterdam]], [[Belanda]]. Dalam perkembangannya, dana yang dibutuhkan untuk pembangunan [[gereja]] ternyata semakin berkurang. Akhirnya, Romo J. Prennthaler memilih untuk menutupi kekurangan dana tersebut dengan mengambil dana pribadinya dari hasil menulis artikel di majalah F''ahne Mariens, Ktaholische Mariens'', serta menggalang dana dari tokoh-tokoh Katolik yang lain sekaligus menjual perangko. Selain itu, umat [[Katolik]] yang ada di Kalibawang juga ikut andil dalam pembangunan Komplek Misi Boro tersebut. Mereka juga berpartisipasi menggalang dana untuk pembangunan meskipun tidak banyak. Lambat laun, kerjasama segala unsur masyarakat tersebut mampu membuat Komplek Misi Boro berdiri hingga saat ini.<ref name=":0">Hardawiryana, S.J., Dr. Robert. ''Romo JB Prennthaler SJ: Perintis Misi Di Perbukitan Menoreh Kenangan Penuh Syukur HUT 75 Tahun Paroki St. Theresia Lisieux Boro.'' Boro: Paroki Santa Theresia Lisieux Boro, 2002.</ref>
Secara khusus, Gereja Boro baru dibangun pada bulan Juni-Juli 1928 yang terdiri dari [[dapur]], [[kamar mandi]], kamar makan, kamar untuk ''katekis'', kamar untuk para romo ''Paroki'', satu kamar tamu, serambi depan, jalan kecil yang melintasi pastoran, dam tangga-tangga di depan serambi. Dalam perkembangannya, bangunan pastoran mengalami banyak perubahan akibat semakin meningkatnya kebutuhan mereka akan ruang-ruang tertentu. AKhirnya dibangunlah beberapa ruang baru seperti ruang [[komputer]], ruang santai atau ruang televisi, dan garasi. Pastoran dan Gereja Boro adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan, mengingat bangunan gereja baru didirikan satu tahun kemudian setelah bangunan pastoran berdiri. Pembangunnanya sendiri dilakukan pada tahun 1929 dengan melibatkan beberapa tokoh perintis pembangunan [[Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus, Ganjuran]], yaitu Dr. Schmutzer dan seorang arsitek bernama Maclaine Pont. Awalnya, Dr. Scmutzer mengajukan gagasan untuk membangun Gereja Baru sebagaimana arsitektur gereja-gereja di [[Eropa]]. Ide tersebut oleh Romo J. Prennthaler ditolak karena dirasa tidak mencerminkan kondisi sosial budaya masyarakat di Boro. Akhirnya, arsitektur gereja dibuat dengan corak [[Jawa]] dimana atapnya berbentuk Joglo. Gereja juga dibangun dalam teras-teras dengan bagian tertinggi sebagai altar, kerangka dari bahan besi, dan tinggi fasad mencapai 16-20 meter. Gereja juga menggunakan penutup berupa dinding, tetapi lebih cenderung terbuka seperti pendopo.<ref name=":1">End, Van Den Th, and S.J., Jan Weitjens. ''Ragi Cerita II. Sejarah Gereja di Indonesia 1860-an - Sekarang.'' Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 2002.</ref>
Sebagaimana penjelasan di muka, dalam Komplek Misi Boro juga terdapat Susteran Santa Fransiskus Boro. Susteran tersebut mulai dibangun sekitar tahun 1931 hampir bersamaan dengan pembangunan Rumah Sakit Santo Yusup Boro pada tahun 1930.<ref name=":1" /> Kedunya menjadi sangat berkaitan mengingat kedatangan pertama suster-suster ke Boro sangat menitikberatkan karya mereka di bidang kesehatan, karena dalam konteks sosial waktu itu sangat dibutuhkan oleh masyarakat Boro dan sekitarnya. Perlu diketahui, pada sekitar tahun 1926 hingga tahun 1930, di Boro terjadi wabah [[disentri]] dan [[malaria]]. Keberadaan para suster di Boro berikut Rumah Sakit Santo Yusup dengan demikian menjadi sangat diperlukan. Dalam perkembangannya, peran suster-suster tersebut tidak hanya mencakup bidang [[kesehatan]], melainkan juga bidang-bidang lain seperti [[pendidikan]] dan pelayanan sosial. Oleh karena itu, di Komplek Misi Boro juga dibangun Sekolah Dasar St. Theresia Marsudirini dan beberapa panti asuhan.
== Kondisi Lokasi Bangunan ==
Baris 42:
Semula, bangunan pastoran yang ada di Kompleks Misi Boro berdenah “L” yang terdiri atas beberapa ruangan, seperti dapur, kamar mandi, kamar makan, kamar katekis, kamar untuk room, satu kamar tamu, dan serambi depan. Seiring berjalannya waktu, kebutuhan bangunan menjadi semakin banyak dan beragam. Pengurus kompleks kemudian menambahkan ruang-ruang lain seperti ruang untuk tamu dan ruang untuk menonton televise. Kedua ruangan tersebut berfungsi sebagai ruang pendukung dari bangunan berdenah “L”. Aktivitas pelayanan tetap dilangsungkan di bangunan lama. Perbahan ruang tidak hanya terjadi pada ruang menonton [[Televisi]] atau ruang tamu, melainkan juga terjadi pergantian fungsi pada ruang-ruang lain seperi ruang sekretariat ''Paroki'' dan kamar romo.
Bangunan utama lain dari Kompleks MIsi Boro selain pastoran adalah bangunan Gereja Boro. Bangunan gereja tersebut berada di lahan seluas 40 x 35 m dengan luas bangunan 32 x 29 m dan memiliki arah hadap ke barat-timur. Bangunan atap gereja berbentuk limas berjajar tinggi dan membentuk denah salib tambun dengan bagian bawah lebih pendek. Gereja Boro juga memiliki menara setinggi 20 m dengan ujung berupa tugu salib. Pada badan menara, terdapat relief berupa ikan, mangkuk, dan gelas serta relung dengan patung Santa Theresia yang ditutup dengan kaca. Bagian badan gereja juga setengahnya menggunakan batu alam tempel, tetapi hanya berupa hiasan dan setengahnya menggunakan konstruksi bata.<ref name=":0" />
Pada bagian dalam [[gereja]], akan terlihat ruang utama berupa persegi panjang yang terdiri atas ruang depan, panti umat, dan panti imam. Keempat ruangan tersebut diapit oleh sayap bangunan di sisi utara dan di sisi selatan. Ruang depan gereja terdiri dari balkon dan ruang yang berada di antara pintu utama dengan panti umat. Di ruang depan juga terdapat fasilitas peribadatan seperti bejana berbentuk setengah lingkaran, lukisan “Jalan Salib” dan tempat pentimpanan barang. Sementara itu, panti umat adalah salah satu ruang utama yang menjadi ruang bagi umat untuk prosesi peribadatan. Panti umat dilengkapi dengan dua deret kursi kayu yang masing-masing memanjang dari utara ke selatan dan [[keramik]] merah yang juga disusun memanjang menuju panti imam yang kontras karena berwarna [[keramik]] putih susu. Selain itu, panti imam dalam bangunan gereja dijadikan sebagai tempat imam memimpin peribadatan. Letak ruangan tersebut berada di sisi timur panti umat dengan posisi yang lebih tinggi dari permukaan di sekitarnya. Lantai panti imam tertutup keramik yang berwarna putih susu dengan bentuk ruangan berupa segi delapan yang bertingkat dua. Pada sisi depan tembok panti imam juga terdapat hiasan berupa ornamen gapura dari kayu yang diukir bermotif sulur-suluran, buah anggur, serta bentuk yang menyerupai burung dengan sayap mengembang.
== Perubahan Kompleks Misi Boro ==
Kompleks Misi Boro telah mulai dibangun pada tahun 1928. Lama waktu berdirinya gereja tersebut tentu tidak luput dari berbagai perubahan, termasuk penambahan maupun pengurangan, yang banyak dipengaruhi oleh kondisi [[alam]]. Sebagai misal, bencana [[gempa bumi]] yang menimpa [[Yogyakarta]] pada tahun 2006 silam turut memberikan pengaruh pada kondisi bangunan [[gereja]]. Sebagian besar bangunan mengalami retakan-retakan sehingga perlu dilakukan perbaikan. Sebelum terjadinya [[gempa bumi]], seluruh bangunan berwarna putih, namun setelah terjadi gempa, seluruh bangunan dirubah dengan konstruksi batu alam yang kemudian juga diterapkan pada sebagian besar dinding bagian bawah [[gereja]]. Proses renovasi bangunan itu berlangsung dari bulan Maret tahun 2008 sampai bulan Juli 2008 yang mencakup tahap awal hingga tahap akhir.<ref name=":2">Paroki Santa Theresia Lisieux Boro. ''80 Tahun Gereja Santa Theresia Lisieux Boro 1922-2007 "Ayo Gumregah Amrih Dadia Berkah".'' Boro, 2007.</ref>
Perubahan yang terjadi pada ''fasade'' [[gereja]] juga diikuti dengan perubahan pada ruang [[gereja]]. Secara umum, ruangan gereja tidak memiliki perubahan yang signifikan. Perubahan pada ruangan [[gereja]] hanya mencakup hal-hal minor seperti penambahan lukisan “Perjalanan Salib” yang berderet di clerestory dan dinding ruang depan. Perubahan yang signifikan justru terjadi pada ruang imam, terutama pada bagian relung dan dinding depan. Sebelumnya, ruang imam belum berbentuk relung seperti saat ini. Pondasi lantai panti imam juga hanya terdiri dari satu tingkat. Kini, bangunan itu berubah menjadi dua tingkat.<ref name=":2" />
Bukan hanya pada [[gereja]], perubahan juga terjadi pada kompleks secara kesluruhan, baik dari eksterior maupun interior ruangan. Pada interior, perubahan terjadi pada penambahan komponen bangunan untuk memenuhi kebutuhan akan ruang. Perubahan itu terwujud pada penambahan ruang pada kompleks Rumah Sakit Santi Yusup Boro. Ruang yang berubahh itu adalah ruang denah, ruang [[fisioterapi]], ruang ''rontgen'', dan ruang pemeriksaan yang baru selesai direnovasi pada tahun 2015. Sedangkan pada awal pembangunannya, rumah sakit tersebut menempati ruangan yang sekarang difungsikan sebagai susteran. Lebih jauh, bangunan susteran yang ada di dalam kompleks ternyata tidak mengalami perubahan signifikan sebagaimana bangunan-bangunan lainnya. Dalam bangunan susteran hanya terdapat perubahan interior berupa perubahan penataan kursi dan meja serta penambahan keramik untuk memperindang dinding.<ref name=":0" />
|