Orang Krowe: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Abdullah Faqih (bicara | kontrib)
xxx
Abdullah Faqih (bicara | kontrib)
ss
Baris 1:
'''Orang Krowe''' atau disebut sebagai ''Ata Krowe'' adalah sekelompok masyarakat lokal yang hidup di Kampung Romanduru, [[Kabupaten Sikka]], [[Pulau Flores]], Indonesia[[Nusa Tenggara Timur]]. Julukan sebagai ''Ata Krowe'' merujuk pada makna kata “Krowe” yang berarti [[gunung]] dan "Ata" yang berarti orang. Dengan demikian, Orang Krowe sering diidentikan sebagai orang [[gunung]] karena wilayah dan tempat tinggalnya. Mereka juga menggunakan Bahasa Sikka sebagai penutur kesehariannya.
 
Orang Krowe memiliki cara dan sistem sendiri dalam hal pengaturan [[lahan]]. Berbeda dengan masyarakat [[Nias]] yang menggunakan batas alam sebagai penanda batas antarkomunitas, Orang Krowe justru menggunakan kesepakatan-kesepakatan yang dilakukan secara turun temurun kemudian disimbolkan dalam bentuk budaya materi. Mereka tidak mengacu pada bentang alam seperti bukit dan jurang layaknya masyarakat [[Nias]], tetapi mengacu pada simbol-simbol berupa budaya materi. Penelitian dari Utama (2014) menyebutkan bahwa beberapa simbol materi atau bendawi yang digunakan Orang Krowe untuk menandai suatu wilayah adalah watu mahang yang berarti batu sudut; ''wisung wangar'' yang berarti lokasi di mana terdapat rumah utama tiap-tiap klan; ''wu’a mahe'' yang diartikan pula sebagai batu mahe; ''ai tali'' yang juga diartikan sebagai tempat bersemayamnya roh leluhur yang berlokasi di kebun adat setiap klan. Seluruh simbol-simbol bendawi tersebut berlokasi pusat permukiman dan mengelilingi permukiman.
 
== Kondisi Permukiman ==
Sebagaimana yang telah dijelaskan di muka, Orang Krowe bermukim di [[Kabupaten Sikka]], [[Pulau Flores]], [[Nusa Tenggara Timur]]. Secara geografis, wilayah Sikka merupakan daerah landai dan perbukitan yang memiliki luas wilayah 1.713,91 km2. Kabupaten Sikka juga berbatasan dengan daerah-daerah lain, seperti
* Utara : [[Laut Flores]]
* Selatan : Laut Sawu
* Barat : [[Kabupaten Ende]]
* Timur : [[Kabupaten Flores Timur]]<nowiki/>r.
Di dalam [[Kabupaten Sikka]] terdapat 18 pulau, baik pulau yang didiami maupun yang sudah tidak didiami. Orang Krowe yang tinggal di [[Sikka]] amat akrab dengan keberadaan [[pegunungan]], sebab daerah tersebut didominasi oleh [[pegunungan]] dan [[dataran rendah]]. Mereka tidak hanya bermukim di [[gunung]], melainkan juga memberikan makna khusus terhadap gunung. Gunung mereka anggap sebagai “mama” yang memberikan mereka makanan dan menjamin seluruh kehidupan mereka. Mereka meyakini bahwa nenek moyang menitipkan gunung-gunung itu untuk mereka jaga, sehingga tidak sepatutnya dijarah atas dasar kekuasaan perorangan. Dalam beberapa cerita lisan yang berkembang, Orang Krowe juga sangat memberikan keistimewaan pada keberadaan [[Gunung Mapitara]] yang berada di sebelah [[Gunung Egon]], gunung vulkanik yang masih aktif hingga saat ini.
 
Di dalam permukiman itu, juga masih banyak dijumpai perkampungan tradisional yang ditandai dengan pohon bambu setinggi dua meter yang mengeliling permukiman dan masih adanya lokasi untuk berperang. Sebagai misal, sebuah desa Watublai di tahun 1890-an masih dijadikan sebagai lokasi untuk berperang suku-suku yang tinggal di wilayah tersebut. Secara khusus, Orang Krowe bermukim di kampung-kampung tua di wilayah pegunungan [[Sikka Tengah]]. Ada beberapa kampung di wilayah tersebut, di antaranya adalah Kampung Bola, Kampung Eha, Kampung Hewokloang, Kampung kewagahar, dan lain-lain.
 
Kampung Romandaru adalah perkampungan yang menjadi tempat tinggal Orang Krowe. Secara khusus, kampung tersebut merupakan bagian dari Desa rubitRubit, Kecamatan Hewokloang, [[Kabupaten Sikka]]. Nama Romandaru berasal dari kata “roma” yang berarti cabut dan “duru” yang berarti tanaman. Romanduru diartikan sebagai mencabut tanaman duru. Nama itu dipakai karena pada saat membuka lahan Kampung Romanduru, banyak terdapat semak belukar dan tanaman duru. Untuk mengingat asal-usul tersebut, mereka menggunakan kata Romanduru.
 
== Tradisi ''Ngen'' ==
Tradisi ''Ngen'' dalam perspektif Orang Krowe diartikan sebagai cara hidup yang berpindah-pindah tempat atau migrasi. Tradisi tersebut telah diterapkan oleh Orang Krowe sejak masa silam bahkan sejak zaman [[bahari]] masih menyelimuti kehidupan suku-suku lain di sana. Tradisi ''Ngen'' tersebut juga ditujukan dengan penggunaan bendawribendawi materi sebagai simbol yang masih dipertahankan di tempat tinggal barunya sebagai keberlanjutan dari budaya di tempat sebelumnya. Selain dapat ditelusuri melalui materi bendawi, tradisi ''ngen'' juga dapat dilacak melalui mitos-mitos yang diturunkan kepada keturunan mereka. Mitos-mitos yang ada mampu menjelaskan bentuk persebaran Orang Krowe di permukiman itu. Selain itu, Orang Krowe juga memiliki cerita tentang kedatangan sekelompok orang ke kampung tua dengan menggunakan [[perahu]]. Mitos itu diwariskan secara turun temurun sebagai asal usul penghuni kampung tua di permukiman Orang Krowe. Hal itu dibuktikan dengan keberadaan miniatureminiatur [[perahu]] yang terbuat dari [[logam]], yang disebut sebagai ''Jong Dobo''. "Jong" dalam Bahasa Sikka diartikan sebagai [[perahu]], sedangkan "Dobo" diartikan sebagai tempat keberadaan perahu tersebut saat ini, yaitu berada di Desa Dobo.
 
Menurut cerita yang ada, perjalanan orang-orang dari kampung lain itu dimulai dari [[India]], [[Thailand]], [[Selat Malaka]] dan berlanjut ke [[Indonesia]] melalui [[Sumatera]], [[Jawa]], [[Irian Jaya]], Bima, L[[Labuan Bajo]]. Kelompok pendatang itu berlayar ke pesisir pantai utara [[Pulau Flores]] dan mampir ke Koli Dobo hingga kemudian melanjutkan perjalanan ke [[Ende]]. Dari Ende, kelompok tersebut melanjutkan perjalanan mereka ke Waipare yang kemudian menyebabkan jangkar kapal mereka terputus sehingga mengharuskan mereka untuk melanjutkan perjalanan pada keesokan harinya. Setelah melalui perjalanan panjang ke beberapa wilayah, kelompok tersebut kemudian melabuhkan kapalnya ke Wolon Gele dan bekas tarikan kapal mereka dimanfaatkan masyarakat setempat sebagai jalan kampung. Mereka kemudian melanjutkan perjalanan ke Kampung Dobo karena keberadaan mereka tidak diterima di wilayah yang sebelumnya. Di Kampung Dobo mereka yinggaltinggal sejenak karena diterima oleh Moat Wogo Pigang. Setelah menetap di Kampung Dobo, Jong Dobo berubah menjadi perahu kecil yang terbuat dari [[logam]]. Menurut beberapa peneliti dari [[Belanda]] dan [[Australia]], perahu logam tersebut dinilai berasal dari [[Sumeria]] pada abad ke-3 SM. Di dalam kapal tersebut terdapat 20 figur manusia, lonceng, dan ayam. [[Ayam]] tersbut mereka gunakan sebagai penanda waktu, sebagaimana penanda waktu yang ada saat ini.
 
Tradisi ''Ngen'' hampir dikenal baik oleh seluruh Orang Krowe yang tinggal di Romanduru. Meskipun begitu, jumlah Orang Krowe yang tinggal di setiap kampung jumlahnya tidak sama. Di Romanduru misalnya, terdapat sepuluh suku yang terdiri dari ''Ili Lewa, Wodon, Buang Baling, Mana, Keytimu, Waen, Weweniur, Lio Watu bao, Lio Lepo Gai, Keytimu Lamen'', dan ''Kluku Mude Lau''. Masing-masing suku tersebut memiliki seorang Tana Pu’an, yaitu seseorang yang tokoh adat yang bertanggung jawab untuk memimpin [[ritual]] serta mengatur urusan pertanahan, [[pertanian]], [[peternakan]], dan perburuan. Dengan demikian, kedudukan Tana Puan hanya berada di level kampung.
 
== Kepercayaan Lokal ==