Orang Krowe: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
xx |
cc |
||
Baris 31:
Orang Krowe di Romanduru memercayai kekuatan [[gaib]] sebagai “hakikat mutlak”. Kekuatan [[gaib]] itu mereka sebut dengan “''Nian Tana Lero Wulan''” yang merupakan perpaduan dari Nian Tana (bumi) dan Lero-Wulan (matahari-bulan). Dengan demikian, mereka percaya dan menyembah pada unsur mutlak sebagai [[Tuhan]], yaitu Tuhan Bumi dan Tuhan Matahari dan Bulan. Wujud penghambaan kepada dua unsur mutlak itu dipandang sebagai ekspresi masyarakat Krowe atas “wujud tertinggi”, bukan bermaksud untuk mengatakan bahwa mereka menyembah lebih dari satu [[Tuhan]].
Selain pada
Kepercayaan-kepercayaan lokal tersebut dinilai menjadi upaya bagi Orang Krowe untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebagai misal, upacara [[pernikahan]] di kalangan mereka yang dilakukan agar hubungan antarkeluarga menjaid makin baik setelah melakukan [[pernikahan]]. Selain itu, Orang Krowe juga percaya tiga unsur kehidupan yang memiliki abilitas untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Ketiga unsur itu adalah [[alam]], arwah, dan [[Allah]]. Bagi mereka, alam seperti pohon, batu, [[gunung]] memiliki kekuatan yang berguna bagi kehidupan [[manusia]] sehingga harus dihormati. Sementara itu, hubungan antar Orang Krowe tidak akan terputus oleh kematian, termasuk arwah leluhur yang akan selalu memberikan pengaruh pada kehidupan kerabat yang ditinggalkan. Bagi mereka, sangat penting untuk menjaga hubungan dengan [[arwah]] para leluhur melalui berbagai upacara adat dengan harapan kehidupan duniawi mereka tidak terganggu. Selain itu, Allah juga merupakan unsur penting dalam kehidupan Orang Krawe. Ciri-ciri kehidupan [[Kristiani]] kini telah mewarnai sebagain besar kehidupan Orang Krowe, meskipun beberapa catatan sejarah menunjukan bahwa agama [[Kristen]] baru masuk ke daerah itu bersamaan dengan kedatangan orang [[Portugal]].<ref name=":1">Atmosudiro, Sumijati. 1984. "Tempat Upacara di Daerah Flores Timur, Suatu Tradisi Megalitik" dalam ''Rencana Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi,'' Cisarua, 5-10 Maret 1984. ''tidak diterbitkan''. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional</ref>
Sebagaimana yang telah dijelaskan di awal, penghormatan kepada leluhur melalui praktik-praktik kepercayaan adalah hal yang sangat penting bagi Orang Krowe. Mereka kemudian membedakan leluhur ke dalam tiga kelompok, yaitu arwah [[leluhur]] yang masih menjalani proses penyucian atau disebut dengan ''ina nitu pitu wali higun'', ''ama noan walu wali hulu''; para leluhur yang telah menjalani proses penyucian atau dikenal dengan ''ina nian tana wawa, ama lero wulan reta'' (ibu yang berada di [[bumi]], [[bapak]] yang berada di atas angkasa); dan leluhur yang menguasai alam atau ''ina du’a ei mula pu’an, ama mo’an ei ongen unen''. Bentuk penghormatan yang mereka lakukan terhadap arwah-arwah tersebut adalah dengan melakukan ritual di tempat-tempat yang dianggap sakral. Tiga tempat sakral yang digunakan oleh Orang Krowe untuk menghormati arwah nenek moyang adalah ''watu mahang'' yang disebut sebagai sebuah piringan batu di salah satu ruangan rumah; ''wu’a mahe'' yang merupakan perkampungan arwah [[leluhur]] yang telah mengalami proses penyucian; ''ai taliya'' yang berarti altar persembahan kepada [[leluhur]] yang berada di bawah [[pohon]] tertentu di dalam [[hutan]].<ref name=":1" />
== Pola Perkampungan Tua ==
|