Orang Krowe: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
xxmcc |
ss |
||
Baris 9:
* Barat : [[Kabupaten Ende]]
* Timur : [[Kabupaten Flores Timur]]<nowiki/>r.
Di dalam [[Kabupaten Sikka]] terdapat 18 pulau, baik pulau yang didiami maupun yang sudah tidak didiami. Orang Krowe yang tinggal di [[Sikka]] amat akrab dengan keberadaan [[pegunungan]], sebab daerah tersebut didominasi oleh [[pegunungan]] dan [[dataran rendah]]. Mereka tidak hanya bermukim di [[gunung]], melainkan juga memberikan makna khusus terhadap gunung. Gunung mereka anggap sebagai “mama” yang memberikan mereka makanan dan menjamin seluruh kehidupan mereka. Mereka meyakini bahwa nenek moyang menitipkan gunung-gunung itu untuk mereka jaga, sehingga tidak sepatutnya dijarah atas dasar kekuasaan perorangan. Dalam beberapa cerita lisan yang berkembang, Orang Krowe juga sangat memberikan keistimewaan pada keberadaan [[Gunung Mapitara]] yang berada di sebelah [[Gunung Egon]], gunung vulkanik yang masih aktif hingga saat ini.<ref name=":0" />
Di dalam permukiman itu, juga masih banyak dijumpai perkampungan tradisional yang ditandai dengan pohon bambu setinggi dua meter yang mengeliling permukiman dan masih adanya lokasi untuk berperang. Sebagai misal, sebuah desa Watublai di tahun 1890-an masih dijadikan sebagai lokasi untuk berperang suku-suku yang tinggal di wilayah tersebut. Secara khusus, Orang Krowe bermukim di kampung-kampung tua di wilayah pegunungan [[Sikka Tengah]]. Ada beberapa kampung di wilayah tersebut, di antaranya adalah Kampung Bola, Kampung Eha, Kampung Hewokloang, Kampung kewagahar, dan lain-lain.
Baris 17:
Kampung Romandaru adalah perkampungan yang menjadi tempat tinggal Orang Krowe. Secara khusus, kampung tersebut merupakan bagian dari Desa rubit, Kecamatan Hewokloang, Kabupaten Sikka. Nama Romandaru berasal dari kata “roma” yang berarti cabut dan “duru” yang berarti tanaman. Romanduru diartikan sebagai mencabut tanaman duru. Nama itu dipakai karena pada saat membuka lahan Kampung Romanduru, banyak terdapat semak belukar dan tanaman duru. Untuk mengingat asal-usul tersebut, mereka menggunakan kata Romanduru.<ref name=":0" />
Kampung Romanduru memiliki cerita-cerita lokal tertentu terutama yang berkaitan dengan asal-usul mereka. Di dalam Kampung Romanduru, terdapat struktur kekuasaan [[tradisional]]. Struktur tersebut bermula ketika Suku Buang Baling yang merupakan suku pertama menemukan [[mata air]] dan mengajak suku Mana untuk membuka kampung baru yang disepakati sebagai ''Tana Pu’an.'' Suku kedua yang datang yaitu Suku Mana kemudian ditetapkan sebagai wakil Suku Buang. Terdapat suku lain yaitu Suku Keytimu Lamen yang ditunjuk oleh ''Tana Pu’ang'' untuk memimpin ritual penghormatan kepada awrah [[leluhur]]. Dalam hal itu, setiap suku memiliki perannya masing-masing sesuai dengan waktu kedatangan mereka ke Kampung Romanduru. Seluruh [[ritual]] penghormatan kepada arwah [[leluhur]] itu disebut dengan istilah ''tong piok''. Dalam ritual yang diselenggarakan di Kampung Romanduru itu, seluruh suku harus mengundang ''Tana Pu’ang.'' Apabila ''Tana Pu’ang'' tidak bisa hadir, maka harus diwakili oleh saudara [[laki-laki]] dari Suku Buang.<ref name=":
Tidak hanya sampai di situ, Kampung Romanduru juga dihuni oleh puluhan suku-suku lain, selain ketiga suku yang datang terlebih dahulu tersebut. Baik Suku Buang Baling, Mana, dan Keytimu dianggap sebagai “wakil” dari suku-suku lain apabila terdapat berbagai persoalan [[adat]]. Sebagai misal, ketiga suku tersebut memiliki wewenang untuk menunjukan batas-batas tanah adat di Kampung Romanduru, sekaligus memutuskan berbagai keputusan penting terkait tanah adat mereka.
Baris 33:
Selain pada “unsur mutlak” tersebut, Orang Krowe juga percaya pada roh-roh halus. Bagi mereka, roh halus mampu memengaruhi kehidupan [[manusia]] di [[bumi]]. Oleh sebab itu, bagi Orang Krowe, sangat penting untuk menjaga hubungan dengan roh-roh halus tersebut. Setidaknya, ada tiga jenis roh halus yang mereka kenal. Pertama disebut dengan ''Nitu Noan'' yang mana “''Nitu''” diyakini sebagai penguasa dunia bawah atau bumi dan “Noan” yang diyakini sebagai pengiasa [[dunia]] atas atau [[langit]]. Kedua adalah ''Ata Ube'' yang mewujudkan dirinya sebagaimana manusia biasa namun memiliki kekuatan ghaib seperti roh-roh jahat lainnya. ''Ata Ube'' diyakini sebagai makhluk pemakan [[manusia]]. Ketiga adalah ''Ata haling'' yang diyakini sebagai kelompok roh halus yang berasal dari roh-roh jahat. Terlepas dari ketiga roh tersebut, Orang Krowe juga percaya bahwa arwah nenek moyang memiliki peranan penting dalam kehidupan ''Ata Krowe''. Mereka meyakini bahwa [[kematian]] adalah proses dimana orang yang meninggal bersatu kembali dengan para [[leluhur]].<ref name=":2" />
Kepercayaan-kepercayaan lokal tersebut dinilai menjadi upaya bagi Orang Krowe untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebagai misal, upacara [[pernikahan]] di kalangan mereka yang dilakukan agar hubungan antarkeluarga menjaid makin baik setelah melakukan [[pernikahan]]. Selain itu, Orang Krowe juga percaya tiga unsur kehidupan yang memiliki abilitas untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Ketiga unsur itu adalah [[alam]], arwah, dan [[Allah]]. Bagi mereka, alam seperti pohon, batu, [[gunung]] memiliki kekuatan yang berguna bagi kehidupan [[manusia]] sehingga harus dihormati. Sementara itu, hubungan antar Orang Krowe tidak akan terputus oleh kematian, termasuk arwah leluhur yang akan selalu memberikan pengaruh pada kehidupan kerabat yang ditinggalkan.<ref name=":4" /> Bagi mereka, sangat penting untuk menjaga hubungan dengan [[arwah]] para leluhur melalui berbagai upacara adat dengan harapan kehidupan duniawi mereka tidak terganggu. Selain itu, Allah juga merupakan unsur penting dalam kehidupan Orang Krawe. Ciri-ciri kehidupan [[Kristiani]] kini telah mewarnai sebagain besar kehidupan Orang Krowe, meskipun beberapa catatan sejarah menunjukan bahwa agama [[Kristen]] baru masuk ke daerah itu bersamaan dengan kedatangan orang [[Portugal]].<ref name=":1">Atmosudiro, Sumijati. 1984. "Tempat Upacara di Daerah Flores Timur, Suatu Tradisi Megalitik" dalam ''Rencana Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi,'' Cisarua, 5-10 Maret 1984. ''tidak diterbitkan''. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional</ref>
Sebagaimana yang telah dijelaskan di awal, penghormatan kepada leluhur melalui praktik-praktik kepercayaan adalah hal yang sangat penting bagi Orang Krowe. Mereka kemudian membedakan leluhur ke dalam tiga kelompok, yaitu arwah [[leluhur]] yang masih menjalani proses penyucian atau disebut dengan ''ina nitu pitu wali higun'', ''ama noan walu wali hulu''; para leluhur yang telah menjalani proses penyucian atau dikenal dengan ''ina nian tana wawa, ama lero wulan reta'' (ibu yang berada di [[bumi]], [[bapak]] yang berada di atas angkasa); dan leluhur yang menguasai alam atau ''ina du’a ei mula pu’an, ama mo’an ei ongen unen''. Bentuk penghormatan yang mereka lakukan terhadap arwah-arwah tersebut adalah dengan melakukan ritual di tempat-tempat yang dianggap sakral. Tiga tempat sakral yang digunakan oleh Orang Krowe untuk menghormati arwah nenek moyang adalah ''watu mahang'' yang disebut sebagai sebuah piringan batu di salah satu ruangan rumah; ''wu’a mahe'' yang merupakan perkampungan arwah [[leluhur]] yang telah mengalami proses penyucian; ''ai taliya'' yang berarti altar persembahan kepada [[leluhur]] yang berada di bawah [[pohon]] tertentu di dalam [[hutan]].<ref name=":1" />
|