Kelentangan: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Abdullah Faqih (bicara | kontrib)
xx
Abdullah Faqih (bicara | kontrib)
nn
Baris 3:
 
== Asal Usul ==
Penamaan “Kelentangan” belum diketahui awal Mulanmula penyebutannya. Dalam artian, [[masyarakat]] tidak memiliki data otentik mengenai waktu pasti kesenian tersebut muncul. Sesuatu yang mereka yakini adalah, Kelentangan hadir sejak zaman dahulu dan merupakan warisan dari leluhur mereka. Namun demikian, penamaan Kelentangan tersebut mereka yakini berasal dari suara alat musik yang dihasilkan berbunyi ''“tang tang tang tang”tang''”.
 
Dalam sejarahnya, musik Kelentangan diyakini memiliki keterkaitan panjang dengan sejarah masuknya musik di [[Kalimantan]]. Pada waktu itu, terdapat banyak sekali gong-gong di pedalaman [[Kalimantan]] yang sebagian besar dari [[Tiongkok Selatan]]. Hal itu dibuktikan sejak tahun 1930-an yang telah ditemukan banyak sekali alat perunggu di Annam atau tepatnya di desa Dong-son yang instrumennya mirip dengan instrumen gong yang ada pada suku [[Dayak]] di pedalaman [[Kalimantan]]. Pengaruh kebudayaan masyarakat [[Tiongkok]] dalam kehidupan masyarakat [[Dayak]] di [[Kalimantan]] itu terlihat dari bbeberapa hal, seperti guci-guci, tempayan, dan perhiasan dengan berbagai ornamen bergaya [[Cina]]. Dengan demikian, pengaruh kebudayaan [[Tiongkok]] terhadap kehidupan masyarakat Dayak di [[Kalimantan]] dinilai sebagai awal mula munculnya instrumen Kelentangan dalam kehidupan masyarakat [[Dayak Benuaq]]. Dalam Bahasa sederhana, proses tersebut dimulai dari keberadaan gong-gong berukuran kecil kemudian menjadi instrumen Kelentangan dan ditambah dengan gong-gong berukuran agak besar atau ''Genikng'' serta penambahan instrumen Kendang atau gimar''Gimar''.
 
== Gambaran Umum Kelentangan ==
Baris 35:
 
== Lokasi Keberadaan Kelentangan ==
Sebagaimana yang telah disinggung di awal, instrumen Kelentangan salah satunya dimiliki oleh masyarakat [[Dayak Benuaq]] yang bermukim di desa [[Tanjung Isuy, Jempang, Kutai Barat|Tanjung Isuy]]. Wilayah tersebut memiliki kontur permukiman yang dikelilingi oleh semak belukar dan hutan [[mangrove]]. Di sana, juga terdapat [[danau Jempang]] serta dikelilingi oleh ladang penduduk serta perkebunan [[kelapa sawit]]. Di dalam hutan tersebut banyak tumbuh tumbuhan-tumbuhan khas tropis seperti [[rotan]], kayu, langsat, durian hutan, cempedak, dan lain sebagainya. Berbagai macam jenis [[fauna]] juga terdapat di sana, seperti ular, biawak, monyet, rusa, buaya, dan berbagai jenis burung. [[Hutan]] yang berada di wilayah itu merupakan milik bersama atau milik adat, karena belum ada yang memilikinya secara personal atau belum ada lembaga bersertifikat yang memilikinya. Hal itu menyebabkan berbagai pihak memiliki kebebasan untuk ikut andil menikmati hasil [[hutan]] yang ada.
 
Sementara itu, di lokasi keberadaan musik Kelentangan tersebut juga terdapat Dana[[Danau Jempang]] yang menjadi penopang kehidupan masyarakat di Desa [[Tanjung Isuy, Jempang, Kutai Barat]]. Danau tersebut dilengkapi dengan tanaman [[mangrove]] berikut hutan bakaunya. Perlu diketahui, danau tersebut dikenal sebagai danau terbesar di wilayah Kutai Barat yang menghubungkan wilayah desa [[Tanjung Isuy, Jempang, Kutai Barat|Tanjung Isuy]] dengan anak [[Sungai Mahakam]]. Di wilayah tersebut juga terdapat pelabuhan untuk persinggahan kapal-kapal barang yang membawa aneka kebutuhan pokok dan juga hasil hutan untuk dibawa ke [[Kota Samarinda]] maupun untuk dibawa ke wilayah pedalaman di sekitar Kecamatan Jempang.
 
Di dalam [[danau]] itu juga terdapat kekayaan [[flora]] dan [[fauna]], seperti ikan air tawar, udang, kepiting, dan juga berbagai macam tanaman palem dan tanaman [[anggrek]] hidup yang menempel di pohon [[mangrove]] di sekitar [[danau]] itu. Selain itu, daerah itu juga dikenal sebagai daerah [[dataran rendah]] sebab menjadi kelanjutan dari lereng bukit-bukit kecil di sekitarnya. Dalam hal kondisi morfologi, wilayah keberadaan Kelentangan itu memiliki suhu udara sekitar 25-30 derajat celcius yang membuat wilayah tersebut berpotensi untuk ditanami berbagai tanaman [[industri]], seperti [[karet]], [[akasia]], dan juga perkebunan [[kelapa sawit]].<ref>Data Kependudukan Desa Tanjung Isuy Tahun 2011.</ref>
 
Masyarakat [[Dayak Benuaq]] yang mendiami wilayah itu memanfaatkan [[ladang]] dan [[kebun]] untuk ditanami palawija dan buah-buahan di pinggir [[danau Jempang]] yang membentuk lahan gambut. Hal itu terjadi ketika [[musim panas]] tiba. Para nelayan di Jempang juga memanfaatkannya untuk menangkap ikan sebanyak-banyaknya menggunakan berbagai macam alat penangkap, seperti lukah, pancing, suar, jala, dan lain sebagainya. Hal itu dikarenakan, [[musim kemarau]] membuat volume air menyusut sehingga proses menangkap [[ikan]] akan menjadi lebih mudah. Selain menangkap [[ikan]] di [[danau Jempang]], musim panas yang mereka nikmati juga dimanfaatkan untuk memanen ikan yang mereka pelihara dalam keramba. Ikan-ikan yang mereka tangkap tersebut kemudian mereka jual ke luar daerah dalam bentuk ikan hidup maupun dalam bentuk ikan yang sudah asin atau pija. Sementara itu, selama musim penghujan, masyarakat [[Dayak Benuaq]] biasanya memanfaatkannya untuk berada di rumah guna menikmati hasil-hasil bumi yang telah mereka dapatkan. Dalam momentum itu, biasanya mereka akan mengadakan upcara adat, baik upacara yang skala besar maupun kecil.
 
== Persepsi Masyarakat ==
Menurut penelitian Irawati (2012), saat ini eksistensi Kelentangan mengalami kontestasi dalam diri masyarakat [[Dayak Benuaq]]. Hal itu dikarenakan roda kehidupan mereka yang telah dilimpahi [[modernitas]]. Seiring dengan tingkat pendidikan mereka yang maju, kepercayaan-kepercayaan lokal juga kadangkala mengalami pengabaian. Kelentangan yang merupakan instrumen tradisional untuk mengiringi berbagai ritual adat seperti [[Belian Sentiu]] secara tidak langsung juga ikut terpengaruh. Namun demikian, masih banyak di antara mereka yang menjadikan alat instrumen itu dalam beberapa [[ritual]] tertentu. Tujuannya sebagian besar adalah untuk persoalan [[pengobatan]] penyakit, apalagi jika pengobatan secara medis sudah tidak mampu lagi memenuhi harapan mereka. Bagi sebagian dari mereka juga menganggap hal itu sebagai suatu keharusan, karena Kelentangan merupakan warisan [[leluhur]] yang harus dilestarikan dan diikutsertakan dalam berbagai upacara adat. Memainkan Kelentangan merupakan salah satu cara bagi mereka untuk menghormati roh-roh [[leluhur]] agar selalu melindungi keluarga mereka, sehingga mereka diberi keselamatan dan dijauhkan dari berbagai macam wabah penyakit.    
 
[[Kategori:Budaya Indonesia]]