Wanita di peradaban Maya: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 266:
Kebanyakan kota-kota pada peradaban Maya klasik secara penataan dapat dikatakan homogen. "Pusat" setiap kota memiliki struktur elegan dan megah berupa piramid-piramid berteras, perumahan, dan berbagai jenis kuil peribadatan. Warga dalam jumlah besar dapat berkumpul di suatu lapangan di dalam kota tersebut yang dikelilingi oleh piramid-piramid dan kuil-kuil. Piramid dibuat untuk meniru gunung dan digunakan sebagai suatu podium sakral untuk melakukan kegiatan politik ataupun ritual-ritual keagamaan.
 
Warga di setiap kota pun dapat berkumpul di suatu lapangan yang digunakan sebagai arena olahraga untuk menyaksikan pertandingan bola tradisional. Berbagai piramid, kuil, dan lapangan olahraga ini diletakan sedemikian rupa sehingga penataannya membentuk suatu bujur sangkar sesuai tradisi mereka. Umumnya, bangunan-bangunan kebudayaan Maya klasik dihiasi oleh ratusan patung batu yang merepresentasikan dewa-dewa, sosok manusia, ular yang meliak-liuk, dan juga simbol-simbol astronomis.
Banyak dari pedagang-pedagang kota
 
Peradaban maya klasik telah ada dari abad ke-3 hingga abad ke-9 Masehi. Namun, kebanyakan peninggalan-peninggalan yang berhubungan dengan wanita diyakini berasal dari periode akhir peradaban ini, atau sering disebut sebagai Periode Klasik Akhir (800-900 Masehi).
Maya city-dwellers even enjoyed the sports arenas of the time: ball courts,
 
shaped like an I, with a flat playing surface surrounded by walls. Both
 
pyramids and ball courts placed Maya squarely in long-standing MesoAmerican traditions. Maya buildings were covered in hundreds of stone
 
sculptures depicting god masks, human figures, undulating serpents,  
 
and astronomic symbols. The sculptures probably communicated messages to Maya people almost like political posters communicate to us
 
today. Other sculptures on buildings show how the Maya lived: that
 
they worshipped beside shrines, ate near the small vegetable gardens
 
next to the thatched homes of commoners, and cleaned themselves in
 
sweat baths.
 
Classic Maya civilization existed from the third through the ninth
 
centuries CE, but most of the sources about women are drawn from the
 
later years of this period, a time scholars refer to as Late Classic Maya
 
(700–900 CE).
 
== Citra ideal wanita pada peradaban Maya klasik ==
Wanita ideal dalam persepektif kebudayaan Maya dapat ditelusuri melalui mitologi-mitologi yang tertulis di naskah kuno Bangsa Maya yaitu ''Popul Vuh.'' Pada naskah itu tertulis, dua orang saudara kembar secara ajaib membuat sebuah kebun dengan bantuan nenek mereka, Xmucane. Untuk memenuhi kebun tersebut dengan manusia, "sosok manusia yang memiliki tubuh", Xmucane kemudian menanam jagung dan kemudian tepung dari olahan jagung tersebut dicampur air. Mitologi ini kemudian menggambarkan bahwa proses pengolahan makanan merupakan inti dari identitas ideal seorang wanita. Sehingga menurut pandangan Bangsa Maya, suatu peradaban manusa berasal dari pengolahan makanan yang dilakukan oleh wanita. Peradaban Maya klasik biasana menempatkan wanita pada posisi yang tinggi di bidang keagamaan, pada beberapa kasus, posisi wanita bahkan dapat menyamai posisi yang dapat diraih oleh seorang pria. Faktanya, kebudayaan Maya menggambarkan salah satu unsur dewa terpenting dalam keyakinan mereka yaitu dewa leluhur ''Totilmeiletic,'' sebagai sosok berkelamin ganda. Penggambaran ini mungkin dapat memberi kesimpulan bahwa dalam kepercayaan Maya, terdapat saling kebergantungan antara pria dan wanita.
The ideal female of Maya civilization can be explored through the creation
 
myth recorded in the Maya text Popul Vuh. In it, twin brothers magically
 
created a garden with the help of their grandmother, Xmucane. To make
 
people, “the substance of human flesh,” Xmucane ground her corn (maize)
 
and mixed the resulting flour with water.2 Thus, this myth illustrates that
 
food processing was central to the ideal female and to female identity
 
and sacred in the Maya worldview: It was through food production by a
 
woman that humanity originated. Classic Maya civilization placed women
 
in an usually high position in religious spheres, in some cases even equal
 
to men. In fact, one of the most important Maya gods was the ancestor
 
god Totilmeiletic, “Father-Mother,” which suggests that the Maya may
 
have seen the cosmic order in terms of an androgynous figure. This may
 
imply a belief in mutual dependence among men and women.
 
IDEALS OF ELITE FEMALE BEAUTY Evidence suggests that Maya aristocracy went through elaborate physical changes in order to achieve an ideal
 
look. Unlike the foot-binding women of Song China, however, their mutations did not hamper movement, and many of their alterations were also
 
undertaken by males. For instance, the elite considered sloping foreheads
 
and crossed eyes beautiful, and thus the heads of newborns were bound
 
to wooden boards to flatten their foreheads, and a small bead was tied to
 
children’s bangs, encouraging crossed eyes. Female aristocrats tattooed
 
Bukti-bukti menunjukan bahwa kalangan aristokrat Bangsa maya melakukan rekonstruksi fisik yang rumit untuk mencapai suati model ideal yang diterima masyarakat. Tidak seperti kebudayaan mengikat kaki pada wanita di Tiongkok, rekonstruksi yang mereka lakukan terhadap fisik mereka tidak mengganggu pergerakan mereka, dan banyak dari perubahan fisik tersebut juga dilakukan oleh laki-laki. Sebagai contoh, para bangsawan memandang dahi yang miring dan bentuk mata yang menyilang sebagai parameter kecantikan dalam kebudayaan mereka, sehingga bayi yang baru lahir biasanya diikatkan papan pada dahi mereka untuk meratakan bentuknya, dan pada poni mereka juga digantungkan beban kecil supaya bentuk mata mereka menyilang. Bangsawan wanita mentato tubuh mereka sendiri, mereka mencat badan mereka dengan warna merah, dan kemudian secara hati-hati menata rambut mereka untuk membentuk poni disekeliling dahi mereka yang rata.
themselves, painted their bodies in red paint, and carefully styled their
 
hair around their flattened foreheads. They decorated themselves with
 
hair ornaments that resembled sprouting plants and with ear and neck