Wanita di peradaban Maya: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 312:
====== Putri Tikal ======
 
====== Putri Yohl Ik'nal ======
 
====== Muwaan Mat ======
Baris 321:
 
== Wanita dalam ritual dan kepercayaan Maya ==
Berbagai ritual-ritual yang hanya dapat dipimpin atau dilakukan oleh wanita, posisi penting dewi-dewi dalam mitologi kebudayaan Maya, dan penggambaran sakral dari kesuburan, membuat wanita Maya mendapatkan posisi yang tinggi dalam sistem kepercayaan masyarakat Maya di periode klasik. Pada peradaban Maya klasik, terdapat banyak dewi-dewi dalam kepercayaan masyarakatnya, dan mereka digambarkan sebagai "ibu" atau "nenek", yang menunjukan penghormatan suci terhadap kekuatan dari kesuburan wanita, serta kebijaksanaan dari wanita berumur. Dua dewi utama dalam kepercayaan masyarakat Maya diantaranya : dewi yang berkaitan dengan menenun, kesuburan, dan bulan, yaitu dewi ''Ix Chel,'' dan dewi lainnya yang melambangkan kemudaan yaitu dewi ''Ix Tab''. Masyarakat Maya memuja bulan dan menghubungkannya dengan menstruasi pada wanita dan juga penanaman jagung, sehingga kedua kaitan ini membuat posisi ''Ix Chel'' menjadi penting dalam kepercayaan masyarakat Maya. Posisi ''Ix Chel'' bahkan masuk dalam trinitas fisis dalam kepercayaan bangsa Maya yang terdiri dari bumi, bulan, dan matahari, dan juga dijuluki sebagai "Ibu Kami". Dewi-dewi dalam kepercayaan Maya tidak hanya memberikan dikaitkan dengan kekuatan cinta dan welas asih yang mana dapat dijadikan petunjuk ketika dibutuhkan, tetapi sosok dewi-dewi ini juga terpersonifikasi dalam kekacauan dan situasi berbahaya yang berhubungan dengan kematian.
 
Dalam ritual-ritual kepercayan mereka, para raja dan ratu Maya berperan sebagai kombinasi kekuatan pria dan wanita di alam semesta. Disini para raja dan ratu bersama-sama berperan sebagai salah satu dewa paling penting, yaitu dewa jagung, dalam suatu ritual khusus untuk memperingati kelahiran, pengorbanan, kematian, penguburan, dan kebangkitannya. Hal ini menunjukan bagaimana pentingnya pengaruh wanita dalam peradaban Maya. Dewa jagung digambarkan sebagai sosok yang memiliki dua jenis kelamin. Ia merupakan ayah pertama, tetapi ia juga memakai suatu rok berjaring-jaring, walaupun rok ini bukan gaya berpakaian yang selalu diidentikan dengan perempuan bangsa Maya. Di dagunya tertulis hieroglif "Il" variasi dari "Ix" yang berarti dewi. Ia juga memakai kulit kerang yang melambangkan kesuburan. Bangsa Maya mungkin saja telah memahami tumbuh kembang dari tanaman jagung itu sendiri—jagung adalah tanaman yang memiliki dua "kelamin" sehingga dapat melakukan penyerbukan sendiri dalam satu batangnya. Di wilayah Copan, Raja 18 Kelinci memakai rok berjaring untuk melaksanakan ritual pertumpahan darahnya dan kemudian menggabungkan kekuatan pria dan wanita. Melukai penis agar berdarah dipandang sebagai peniruan siklus menstruasi yang terjadi pada perempuan. Dari ritual ini ia kemudian mendapatkan suatu simbol kesuburan pada wanita untuk menguatkan kekuasaannya. Penguasa wanita juga dalam ritual-ritualnya dapat memposisikan diri sebagai seorang pria atau sosok dewa maskulin. Di wilayah Palenque, ratu Zac K'uk terkadang memakai gaya rambut pria dan hanya menggunakan celana dalam saat memerankan dewi bulan. Menggabungkan jenis kelamin menandakan bahwa penguasa tersebut, terutama bagi penguasa wanita, dapat mendobrak batasan dari masyarakat biasa untuk menjadi bagian dari dewa-dewi yang memiliki kekuatan super.
In the Classic Maya civilization, many goddesses existed, and they
 
Terdapat banyak ritual dan perayaan di berbagai kota yang memerlukan para wanita untuk ikut berpartisipasi. Untuk beberapa peristiwa wanita ditugaskan untuk ritual kepercayaan khusus. Sebagai contoh, beberapa wanita dipercaya dapat menurunkan hujan pada saat musim kemarau. Berbagai ukiran dan artefak menunjukan bahwa para wanita Maya berperan di berbagai ritual dalam banyak cara. Perayaan-perayaan seperti, penghormatan terhadap dewa, berdoa, dan saat membakar ''[[copal]].'' Para wanita juga membantu para pria dalam mengonsumsi zat-zat yang mengacaukan pikiran (memabukan) seperti ''peyote''.
were referred to as either “mother” or “grandmother,” which shows
 
the sacred reverence Maya had for the power of female fertility and the
 
wisdom of aged women. Two in particular stand out: the moon weaver
 
goddesses, O (Ix Chel or sometimes Chak Chel) and the young goddess
 
I (Ix Tab). The Maya revered the moon and credited it with governing
 
women’s menstrual cycles and the planting of maize, and thus these two
 
deities held considerable powers. Although the elder O was affiliated
 
with the waning moon, and the younger the waxing moon, the goddesses
 
were sometimes blended in Maya thinking and practice. In fact, the physical trinity of earth, moon, and maize was known as “Our Mother.” The
 
Maya, in this way, associated conception with sowing. Maya goddesses
 
not only embodied a loving life force that could offer guidance when
 
needed, but also personified chaos and dangerous heralds of death.
 
CROSS-DRESSING ROYALTY AND FEMALE RITUALS In their rituals, Maya
 
kings and queens impersonated gods and goddesses in a way that combined male and female powers of the cosmos. The way in which kings
 
impersonated the most important god, the Maize God, in special rituals to commemorate his birth, sacrifice, death, burial, and resurrection
 
show how important was female power in Maya civilization. The Maize
 
God was androgynous: He was the first father, but he also wore a net
 
skirt, albeit not in the style typical for Maya women. On his cheek the
 
hieroglyph “Il” was written, a variant of “Ix” (which meant “goddess”).
 
He also wore a fertility seashell in the center of a Xoc monster belt. (This
 
monster refers to the Maize God’s rebirth underwater.13) The Maya perhaps understood the anatomy of maize itself—that the plant possesses
 
both male tassels and female ears and silk and is thus able to fertilize and
 
give birth in the same body. In Copan, King Eighteen Rabbit wore skirts
 
for his bloodletting rituals to combine male and female power. Shedding
 
blood from the penis imitated the menstrual cycle, and he appropriated
 
such female fertility symbols to strengthen his power. Female rulers also
 
impersonated male deities. In Palenque, Queen Zac K’uk sometimes
 
wore a male haircut and a loincloth when impersonating the Moon Goddess. Mixing gender meant that the rulers, especially female, could break  
 
from the normal domains of common Maya and become deities to wield
 
extraordinary power.14
 
Many city-state occasions required rituals and ceremonies in which
 
women participated. We have already discussed the bloodletting of the
 
Maya political scene. On some occasions women were charged with special religious duties. For instance, some women were thought to be able
 
to bring rain in a time of drought. Carvings and vases suggest that Maya
 
women participated in other rituals in many ways. Festivities included
 
paying respect to the gods, praying, and burning copal. Women assisted
 
men engaged in consuming mind-altering substances, such as peyote, or
 
consumed such substances themselves. Women gave intoxicating enemas to men. Ceremonies often required sexual abstinence and purification techniques before rituals. Following rituals, women danced, feasted,
 
and drank balche (an alcoholic beverage). In these ways women played a
 
prominent public spiritual role in the Classic Maya city-states.  
 
== Wanita di akhir periode klasik peradaban Maya ==