Gerakan Jogja Independent: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Abdullah Faqih (bicara | kontrib)
xxx
Abdullah Faqih (bicara | kontrib)
xx
Baris 30:
 
== Karakteristik Politik di Kota Yogyakarta ==
Masyarakat [[Yogyakarta]] secara umum dapat dikatakan ''melek'' politik. Hal itu dapat dilihat dari data [[Komisi Pemilihan Umum]] (KPU) yang menunjukkan bahwa partisipasi pemilih di [[Yogyakarta]] menunjukan angka yang cukup tinggi. Pada tahun 2014, partisipasi pemilih pada pemilihan presiden mencapai angka 77,15 persen yang notabene naik dibandingkan pemilu legislatif tahun 2014 yang hanya sekitar 75 persen. Di samping tingginya angka partisipasi [[politik]], masyarakat [[Yogyakarta]] juga masih sangat terikat dengan keberadaan [[Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat]] serta dominannya kekuatan [[Muhammadiyah]] dalam kehidupan sosial-budaya masyarakat. Berbagai macam partai politik dan kandidat politiknya tentu, memiliki strategi tertentu dalam rangka memenangkan hati masyarakat.<ref>{{Cite news|url=http://www.republika.co.id/berita/pemilu/berita-pemilu/14/07/17/n8ul7i-partisipasi-masyarakat-yogya-di-pilpres-hanya-77-persen|title=Partisipasi Masyarakat Yogya di Pilpres Hanya 77 Persen {{!}} Republika Online|newspaper=Republika Online|access-date=2017-12-15}}</ref>
 
Sebagai misal, data penelitian Daliyoto (2013) menyebutkan bahwa setiap partai politik di [[Yogyakarta]] telah memiliki basis masa di setiap kecamatan. Dalam artian, partai politik itu sudah memetakan akan mendominasi wilayah mana di [[Yogyakarta]]. Sebagai contoh, Kecamatan Mantrijeron, Pakualaman, Tegalrejo, Gondokusuman didominasi oleh [[Partai Demokrat]]; Kecamatan Kraton, Gondomanan, dan Kotagede didominasi oleh [[Partai Amanat Nasional]]; kecamatan Mergangsan, Wirobrajan, Gedongtengen, Jetis didominasi oleh [[Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan]]; sementara Kecematan Ngampilan, Danurejan didominasi oleh [[Partai Keadilan Sejahtera]]. <ref name=":0">Daliyoto, S., 2013. Perubahan Pilihan Politik Masyarakat pada Pemilihan Umum Legislatif (Studi Kasus: Perubahan Pilihan Politik Masyarakat Kota Yogyakarta Atas Lima Partai Utama Perolehan Suara Nasional Pemilu 2004 dan Pemilu 2009. Skripsi. Univetsitas Muhammadiyah Yogyakarta</ref>
 
Dengan demikian, wilayah-wilayah tersebut menunjukan bahwa pengaruh partai [[politik]] masih sangat kuat di dalamnya. Meskipun masyarakat juga menyadari bahwa keberadaan partai [[politik]] di sana tidak mampu menunjukan fungsinya setelah pemilukada atau pemilu berakhir. Hal ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi Gerakan Joint yang memiliki idealism non-partisan dan menolak adanya kontrak politik. Sementara itu, hampir seluruh kecamatan yang ada di [[Yogyakarta]] telah dikuasai oleh partai politik yang dapat dipastikan di dalamnya terdapat kontrak politik antara kandidat yang akan diusung dengan tim sukses dan partai politik pendukungnya. Sebagai contoh adalah calon Wali [[Kota Yogyakarta]] 2017. Calon nomor urut satu yaitu Imam Priyono dan Achmad Fadli memperoleh dukungan dari partai koalisi, yaitu [[Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan]] dan Partai Nasdem. Sementara itu, calon nomor urut dua, yaitu Hariyadi Suyuti dan Heroe Poerwadi memperoleh dukungan dari beberapa partai politik seperti Partai Golkar, [[Partai Amanat Nasional]], Partai Gerindra, [[Partai Keadilan Sejahtera]], dan [[Partai Demokrat]].<ref name=":0" />
 
== Paska Seleksi Kandidat ==
Baris 43:
Dalam perkembangannya, proses pengumpulan KTP untuk Gerakan Joint juga mengalami beberapa permasalahan. Permasalahan utamanya adalah berkaitan dengan penurunan jumlah relawan mereka. Kebanyakan relawan Joint merupakan [[mahasiswa]] aktif. Lambat laun, aktivitas mereka dalam mendukung Joint menjadi menurun karena beberapa faktor, seperti banyaknya tugas kuliah, [[Kuliah Kerja Nyata]] (KKN), ujian semester, dan lain sebagainya. Pada saat itu, terdapat pula calon kandidat Joint yang berasal dari dunia kemahasiswaan, yaitu Emmy Yuniarti Rusadi dari Fakultas Teknik [[Universitas Gadjah Mada]]. Sebelum proses pencalonan, banyak kalangan mahasiswa yang mendukung dia dan secara tidak langsung turut mendukung Gerakan Joint. Namun demikian, setelah ia dinyatakan tidak lolos dan dikalahkan oleh pasangan [[Garin Nugroho]] dan Rommy Haryanto, seketika dukungan dari kelompok mahasiswa terhadap Gerakan Joint menjadi sangat berkurang.
 
Di tengah pasang surut dukungan tersebut, Gerakan Joint masih terus berjuang untuk mewujudkan visi dan misi yang telah mereka rancang. Meskipun demikian, pada akhir periode pengumpulan KTP, Gerakan Joint hanya mampu mengumpulkan 4.027 KTP yang membuatnya tidak mampu mengusung calonnya, yaitu [[Garin Nugroho]] dan Rommy Haryanto, maju dalam Pemilihan Walikota [[Yogyakarta]] 2017. Kemudian, kandidat calon walikota [[Yogyakarta]] yang bertarung hanya ada dua pasang, yang keduanya berasal dari partai [[politik]]. Hal itu menunjukkan bahwa Gerakan Joint belum berhasil merealisasikan visi dan misinya. Bahkan calon pasangan walikota yang melaju pun keduanya berasal dari partai politik.<ref>{{Cite news|url=http://jogja.tribunnews.com/2016/07/21/braeking-news-joint-akhirnya-tamat-sebelum-berperang-di-pilkada-yogyakarta|title=BREAKING NEWS: Joint Akhirnya Tamat Sebelum 'Berperang' di Pilkada Yogyakarta - Tribun Jogja|newspaper=Tribun Jogja|language=id-ID|access-date=2017-12-15}}</ref>
 
Menurut penelitian Rizka (2017), kegagalan Joint dalam pemilihan walikota menunjukan beberapa sebab. Sebab tersebut yang menjadi asal muasal tidak tercukupinya jumlah [[KTP]] minimal yang harus dikumpulkan oleh Joint. Pertama, jumlah relawan Joint masih kurang, bahkan cenderung dianggap terlalu sedikit. Pendanaan yang dimiliki juga jauh dari kata cukup.<ref name=":1">Rizka, Desiana. 2017. Persepsi Pemuda tentang Gerakan Jogja Independent (Joint) dalam Pelaksanaan Pilwalkot Kota Yogyakarta Tahun 2017 dan Implikasinya terhadap Ketahanan Politik Pemuda. Tesis. Program Studi Ketahanan Nasional Universitas Gadjah Mada: Tidak Dipublikasikan</ref> Sebagaimana diketahui, Joint harus mengumpulkan [[KTP]] lebih dari 26.000 untuk memastikan calonnya, yaitu Garin dan Rommy, dapat mengikuti ajang pemilihan walikota. Sementara itu, Gerakan Joint hanya memiliki 15 orang relawan dengan target atau beban kerja yang cukup berat. Hal itu diakui menjadi penyebab semakin sedikitnya jumlah relawan yang bekerja dengan Gerakan Joint. Para relawan tersebut tidak memperoleh tunjangan [[transportasi]] dan [[akomodasi]]. Penyebabnya tentu saja faktor pendanaan mereka yang tidak berkelanjutan. Menurut penelitian yang sama juga disebutkan bahwa tim inisiator dan tim penyeleksi di Gerakan Joint juga kurang melibatkan para relawan dalam pengambilan keputusan. Mereka kerap kali mengambil keputusan sendiri dan terkesan memisahkan antara relawan dan tim. Hal ini menimbulkan kurangnya ikatan emosional di antara mereka.
 
Selain itu, penelitian Rizka (2017) juga menyebutkan bahwa faktor masyarakat yang kurang memiliki edukasi politik yang baik juga dinilai menjadi penyebabnya. Masyarakat masih menganggap bahwa [[politik]] tidaklah jauh dari uang.<ref name=":1" /> Masyarakat terlihat berani meminta uang secara terang-terangan kepada relawan Gerakan Joint yang sedang turun lapangan. Bahkan, ada juga masyarakat yang tidak mau tatap muka secara langsung dengan tim. Beberapa dari anggota masyarakat bahkan secara terang-terangan menutup pintunya ketika relawan atau tim Joint ingin mendatangi rumahnya. Selain kurangnya [[edukasi]] politik masyarakat, hal itu juga dapat dinikmati sebagai bentuk ketidakdekatan masyarakat dengan Joint serta kandidat yang hendak diusung oleh mereka. Bahkan, ketika Gerakan Joint melakukan peresmian posko, masyarakat sekitar juga tidak dilibatkan.  Hal itu merupakan indikator bahwa Gerakan Joint belum cukup dekat dengan masyarakat.
 
== Persepsi Pemuda ==