Kelentangan: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Abdullah Faqih (bicara | kontrib)
xxx
Abdullah Faqih (bicara | kontrib)
xx
Baris 16:
 
== Penyajian Kelentengan ==
Pada umumnya, masyarakat [[Dayak  Benuaq]] dan masyarakat Dayak keseluruhan tidak memiliki aturan yang baku mengenai bagaimana mereka memainkan musik Kelentengan. Aturan memainkan Kelentengan masih dilakukan melalui lisan dan tidak tertulis serta tidak ada acuan mengenai notasi-notasi tertentu. Selama ini, pemain musik Kelentengan hanya memainkannya berdasarkan pada interpretasi pribadi dan kreativitasnya masing-masing. Secara garis besar, musik Kelentengan dimainkan dengan cara duduk menghadap ke instrumen sambil membawa alat pukul atau ''stick'' sebanyak dua buah dan dipegang oleh tangan kanan dan tangan kiri. Alat pukul tersebut terbuat dari kayu yang tidak dilapisi apa pun dengan ukurann sekitar 20-25 cm dan diameter 1,5-2 cm. Alat musik tersebut dapat dimainkan oleh satu atau dua orang sekaligus.<ref name=":0" />
 
Lebih jauh lagi, para pemain Kelentengan juga tidak memiliki aturan baku mengenai jangkauan nada yang harus di raih oleh masing-masing tangan. Hal terpenting yang bisa mereka lakukan adalah semua nada yang dimainkan sesuai dengan melodi yang diinstruksikan oleh ''Pemeliatn''. Cara memainkannya pun hampir sama dengan cara memainkan alat musik berpencon pada umumnya, yaitu dengan menggunakan stick yang dipukulkan. Namun demikian, bagi pemain Kelentengan yang mahir, mereka tidak hanya akan memukulkan ''stick'' secara polos atau asal-asalan, melainkan mereka memainkannya dengan setiap nada yang telah dipukul dengan ''stick'' harus menghasilkan efek bunyi atau suara yang tidak terputus antara satu nada dengan nada yang lain, yakni dengan memberikan getaran pada ''stick'' tersebut. Perlu digarisbawahi, pada Kelentengan, tangan kanan dan tangan kiri memiliki fungsi dan pembagian yang sama, yaitu tangan kiri dengan ritme tetap sedangkan tangan kiri mengembangkan pola ritme dan membentuk pola melodi.<ref name=":4">Irawati, Eli. 2016. Transmisi ''Kelentangan'' dalam Masyarakat Dayak Benuaq. Vol. 17 No. 1, April 2017 </ref>
 
Sebagaimana yang telah disinggung di awal bahwa musik Kelentangan digunakan untuk mengawal upacara ''Beliaun sentiu''. Secara garis besar, ada empat tahap penyajian Kelentangan, yaitu pembacaan ''Bememang'' yang merupakan mantera untuk memanggil makhluk halus dan roh-roh [[leluhur]]; Kelentangan jenis pertama; Kelentangan jenis kedua; dan ''sulikng dewa.'' Musik-musik itu disajikan dalam ritual ''Belian Sentiu'' karena proses [[pengobatan]] melalui [[ritual]] yang ada tidak akan berjalan lancar apabila tidak diiringi dengan keberadaan alat musik. Bunyi-bunyian yang dihasilkan dari Kelentangan juga amat ditentukan oleh instrumen dan gerakan dari ''Pemeliatn''. Namun demikian, meskipun melodi yang ditentukan adalah mengacu pada perintah ''Pemeliatn,'' para pemain Kelentangan tetap memiliki kebabasan untuk memainkan alat musik itu sesuai dengan kreativitas dia, dengan syarat tidak keluar dari melodi yang harus dihasilkan.<ref name=":0" />
 
== Klasifikasi Instrumen ==
Dalam konteks kehidupan masyarakat [[Dayak]], terutama apabila dikaitkan dengan uoacara [[Belian Sentiu]], Kelentengan digolongan musik ansambel, yang merupakan gabungan dari dua atau lebih permain. Pemain tersebut seluruhnya terlibat dalam memainkan alat musik dengan lebih dari dua instrumen. Sementara itu, instrmen-instrumen yang digunakan dalam ansambel Kelentangan terdiri dari Kelentangan yang merupakan instrumen berpecon (semacam bende/gong berukuran kecil). Jumlahnya ada enam buah dan diletakkan pada ''rancakan.'' Instrumen kedua adalah ''gimar'' yang disebut sebagai instrumen yang berupa kendang silindris dengan dua membran yang hampir berada di instrumen-instrumen musik di seluruh [[Indonesia]], seperti [[kendang]], jidor, dan lain-lain. Instrumen ketiga adalah ''genikng'' yang merupakan instrumen berpencon yang berukuran agak besar (semacam kempul) dari kelentangan dan ''sulikng dewa'' yang merupakan suling dari [[bambu]] yang dituiup secara vertikal.<ref name=":3">Suwardi,Hasjim Achmat. Peralatan Hiburan dan Kesenian Tradisional Daerah Kalimantan Timur. Diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan. Diakses melalui https://books.google.co.id/books?id=bz_DCgAAQBAJ&pg=PA54&lpg=PA54&dq=alat+musik+%C2%A0+Kelentangan+kalimantan&source=bl&ots=MYo9vx8vBf&sig=cf2Whx6l7uCzWl7qxKnBRzRaoVY&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwisqMvDz4vYAhUKT7wKHWWcDAAQ6AEIWzAL#v=onepage&q=alat%20musik%20%C2%A0%20Kelentangan%20kalimantan&f=false</ref>
 
Dalam ansambel Kelentangan, ''sulikng dewa'' terbuat secara ''handmade'' oleh para pemain musik itu sendiri. Instrumen tersebut juga digolongkan sebagai [[idiophone]] karena cara memainkannya dibunyikan dengan ditiup atau dipompa. Namun demikian, instrumen ''sulikng dewa'' yang dimainkan antara pemain yang satu dengan pemain yang lain mengalami perbedaan nada. Hal itu disebabkan karena belum ditemukannya ''tuning system'' atau sistem penalaan. Hal terpenting bagi mereka adalah suara tersebut dapat dihasilkan dengan interval yang berbeda tinggi dan rendahnya interval. Sekali pun belum ditemukan ''tuning system'' –nya, hal itu bukann menjadi masalah bagi mereka. Lebih jauh lagi, ''Sulikng dewa'' juga terbuat dari [[Bambu kuning]] yang telah dipotong sesuai dengan kebutuhan bunyi, kemudian dikeringkan. Setelah itu, mereka akan membuat lubang tiup yang dapat menghasilkan nada-nada suling. Secara umum, instrumen tersebut memiliki tiga bagian, yaitu bagian atas yang berfungsi sebagai lubang tiup, bagian tengah yang berfungsi sebagai lubang nada, dan bagian bawah yang merupakan hiasan. Pada bagian atas, mereka membubuhkan ''reed'' yang berbentuk seperti cincin yang terbuat dari rotan untuk memfilter keluar masuknya udara yang ditiupkan oleh mulut. Bagian tengah merupakan lubang-lubang nada yang berfungsi untuk mengatur tinggi rendahnya nada, sedangkan bagian bawah memiliki fungsi sebagai hiasan.<ref name=":4" />
 
Sementara itu, terkait ukuran, ''Sulikng Dewa'' juga memiliki ukuran yang variatif, mulai dari yang berukuran kecil sampai yang berukuran besar. Ukuran kecil biasanya berkisar antara 25 cm dengan diameter 3 cm, sedangkan ukuran besar berkisar antara 40-5- cm dengan diameter 305 cm; sementara ukuran besar berkisar antara 60-60 cm dengan diameter 6-7 cm. Dalam kaitannya dengan instrumen Kelentangan, ''Sulikng Dewa'' memiliki fungsi sebagai pemberi tanda bahwa ''pemeliatn'' akan melakukan prosesi terbang ke langit untuk memenuhi para makhluk halus dan juga untuk membangun suasana yang sakral dan magis.<ref name=":3" />
 
Selain ''Sulikng Dewa,'' instrumen utama yang ada pada Kelentengan adalah instrumen yang juga bernama ''kelentangan.'' Instrumen tersebut digolongkan sebagai [[idiophone]] yang merupakan instrumen melodi yang dominan dalam musik kelentangan. Instrumen itu terbuat dari logam [[perunggu]] yang merupakan warisan dari nenek moyang masyarakat [[Dayak Benuaq]] dan sampai saat ini belum diketahui siapakah pembuat alat musik tersebut. Tidak ditemukannya pembuat alat musik itu berkaitan dengan kondisi lapangan bahwa di [[Kalimantan]] tidak ada tempat pembuatan alat musik berbentuk [[gamelan]]. Kelentangan disebut sebagai instrumen berupa gong kecil berpencon sejumlah enam buah yang berdiameter sekitar 5-3 cm dan diletakkan di sebuah rancaakan dari kayu ulin. Instrumen tersebut menjadi bagian dari perangkat Kelentangan yang dipergunakan oleh masyarakat Dayak Benuaq untuk berbagai kegaiatn, seperti iringan upacara ritual maupun iringan tari yang bersifat hiburan.<ref name=":4" /> Berbeda dengan Kelentangan, ''Genikng'' juga digolongkan menjadi instrumen ''idiophone'' namun memiliki diameter lebih besar, yaitu sekitar 50 cm. Meskipun keduanya sama-sama terbuat dari [[logam]], perbedaan ukuran tersebut tentu juga memengaruhi kualitas suara yang dihasilkan. Dalam kaitannya dengan upacara magis ''belian sentiu,'' keberadaan ''Genikng'' juga menjadi sangat penting karena menjadi instrumen yang memiliki nilai magis dan memiliki kekuatan [[spiritual]] untuk mengusir roh-roh jahat yang mengganggu saat upacara berlangsung. Keberadaan ''Genik'' juga dinilai sangkat langka, karena tidak seluruh masyarakat [[Dayak]] dapat memilikinya. Hanya orang kaya dan turunan ''Dangut'' saja yang dapat memilikinya.<ref name=":0">Irawati, Eli. 2012. Makna Simbolik Pertunjukan Kelentanan dalam Upacara Belian Sentiu Suku Dayak Benuaq Desa Tanjung Isuy, Kutai Barat, Kalimantan Timur. Tesis. Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Universitas Gadjah Mada: Tidak Dipublikasikan </ref>
 
Selain itu, dalam ansambel Kelentangan, instrumen ''gimar'' juga menjadi sangat penting. ''Gimar'' adalah instrumen yang tergolong dalam [[Membranofon]]. ''Gimar'' berbentuk kendang silindris dengan dua membran yang hampir terdapat di seluruh daerah di [[Indonesia]] dan berdiameter 55 cm. Dalam melaksanakan upacara [[Belian Sentiu]]'', Gimar'' yang digunakan adalah sebanyak 2 buah dengan ukuran yang sama. Fungsinya sendiri adalah untuk membawa irama dan juga menambah warna suara yang berbeda dengan instrumen lainnya. Sedangkan bahan yang digunaan untuk membuatnya adalah kayu ulin yang dilubangi bagian tengahnya. Sementara itu, bagian atas dan bawahnya ditutup dengan menggunakan kulit binatang yang telah dikeringkan lalu diberi pantek dari [[kayu]] dan diikat dengan menggunakan tali yang terbuat dari [[rotan]]. Hal itu dilakukan untuk mengikat pantek dan menyetem agar dapat menghasilkan karakter suara seperti yang diinginkan. <ref name=":4" />
 
== Lokasi Keberadaan Kelentangan ==
Sebagaimana yang telah disinggung di awal, instrumen Kelentangan salah satunya dimiliki oleh masyarakat [[Dayak Benuaq]] yang bermukim di desa [[Tanjung Isuy, Jempang, Kutai Barat|Tanjung Isuy]]. Wilayah tersebut memiliki kontur permukiman yang dikelilingi oleh semak belukar dan hutan [[mangrove]]. Di sana, juga terdapat [[danau Jempang]] serta dikelilingi oleh ladang penduduk serta perkebunan [[kelapa sawit]]. Di dalam hutan tersebut banyak tumbuh tumbuhan-tumbuhan khas tropis seperti [[rotan]], kayu, langsat, durian hutan, cempedak, dan lain sebagainya. Berbagai macam jenis [[fauna]] juga terdapat di sana, seperti ular, biawak, monyet, rusa, buaya, dan berbagai jenis burung. [[Hutan]] yang berada di wilayah itu merupakan milik bersama atau milik adat, karena belum ada yang memilikinya secara personal atau belum ada lembaga bersertifikat yang memilikinya. Hal itu menyebabkan berbagai pihak memiliki kebebasan untuk ikut andil menikmati hasil [[hutan]] yang ada.
 
Sementara itu, di lokasi keberadaan musik Kelentangan tersebut juga terdapat [[Danau Jempang]] yang menjadi penopang kehidupan masyarakat di Desa [[Tanjung Isuy, Jempang, Kutai Barat]]. Danau tersebut dilengkapi dengan tanaman [[mangrove]] berikut hutan bakaunya. Perlu diketahui, danau tersebut dikenal sebagai danau terbesar di wilayah Kutai Barat yang menghubungkan wilayah desa [[Tanjung Isuy, Jempang, Kutai Barat|Tanjung Isuy]] dengan anak [[Sungai Mahakam]]. Di wilayah tersebut juga terdapat pelabuhan untuk persinggahan kapal-kapal barang yang membawa aneka kebutuhan pokok dan juga hasil hutan untuk dibawa ke [[Kota Samarinda]] maupun untuk dibawa ke wilayah pedalaman di sekitar Kecamatan Jempang.<ref name=":4" />
 
Di dalam [[danau]] itu juga terdapat kekayaan [[flora]] dan [[fauna]], seperti ikan air tawar, udang, kepiting, dan juga berbagai macam tanaman palem dan tanaman [[anggrek]] hidup yang menempel di pohon [[mangrove]] di sekitar [[danau]] itu. Selain itu, daerah itu juga dikenal sebagai daerah [[dataran rendah]] sebab menjadi kelanjutan dari lereng bukit-bukit kecil di sekitarnya. Dalam hal kondisi morfologi, wilayah keberadaan Kelentangan itu memiliki suhu udara sekitar 25-30 derajat celcius yang membuat wilayah tersebut berpotensi untuk ditanami berbagai tanaman [[industri]], seperti [[karet]], [[akasia]], dan juga perkebunan [[kelapa sawit]].<ref>Data Kependudukan Desa Tanjung Isuy Tahun 2011.</ref>