Daftar sultan Utsmaniyah: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 18:
| ended = 1 November 1922
}}
Para sultan [[Wangsa Utsmaniyah]] menguasai wilayah kekuasaan transkontinental yang sangat luas mulai dari tahun 1299 hingga 1922. Pada puncak kejayaannya, [[Kesultanan Utsmaniyah]] berkuasa mulai dari [[Hongaria]] hingga ke bagian utara [[Somalia]] di sebelah selatan, dan dari [[Aljazair]] di sebelah barat hingga [[Irak]] di sebelah timur. Ibukotanya mula-mula adalah [[Bursa]] di [[Anatolia]], kemudian dipindahkan ke [[Edirne]] pada tahun 1366 dan ke [[Konstantinopel]] atau [[Istanbul]] pada tahun 1453 setelah [[Kejatuhankejatuhan Konstantinopel]] yang merupakan ibukota [[Kekaisaran BizantiumRomawi Timur]].<ref>[[#Sta01|Stavrides 2001]], p. 21</ref>
<!--The Ottoman Empire's [[Rise of the Ottoman Empire|early years]] have been the subject of varying narratives due to the difficulty of discerning fact from legend; nevertheless, most modern scholars agree that the empire came into existence around 1299 and that its first ruler was [[Osman I]] [[Khan (title)|Khan]] (leader) of the [[Kayı tribe]] of the [[Oghuz Turks]].<ref>[[#Gla96|Glazer 1996]], "The Ottoman Empire"</ref> The Ottoman Dynasty he founded was to endure for six centuries through the reigns of 36 sultans. The Ottoman Empire disappeared as a result of the defeat of the [[Central Powers]] with whom it had allied itself during [[World War I]]. The [[Partitioning of the Ottoman Empire|partitioning of the empire]] by the victorious [[Allies of World War I|Allies]] and the ensuing [[Turkish War of Independence]] led to the birth of the modern [[Turkey|Republic of Turkey]].<ref>[[#Gla96|Glazer 1996]], "War of Independence"</ref>--><ref>[[#Qua05|Quataert 2005]], p. 91</ref> Pada tahun 1617, hukum pergantian keturunan dalam Kesultanankesultanan ini diubah dari "siapa yang kuat akan menang" menjadi suatu sistem yang didasarkan atas tingkat senioritas ''agnatik'' (''ekberiyet''), yaitu tahta akan diteruskan oleh laki-laki tertua dalam keluarga. Ini menyebabkan sejak abad ke-17 sultan yang meninggal jarang digantikan oleh putranya, tetapi biasanya oleh seorang paman atau saudara laki-laki.<ref>[[#Qua05|Quataert 2005]], p. 92</ref> Sistem "senioritas agnatik" (''agnatic seniority'') dipertahankan sampai pembubaran kesultanan, meskipun pada abad ke-19 ada usaha yang gagal untuk mengganti dengan sistem "primogeniture" (keturunan tertua).<ref>[[#Kar05|Karateke 2005]], pp. 37–54</ref>
 
== Status ==
[[Kesultanan Utsmaniyah]] adalah monarki mutlak pada hampir sepanjang sejarahnya. Pemimpin Utsmaniyah berada di puncak hierarki dan berperan sebagai pemimpin politik, militer, kehakiman, sosial, dan keagamaan, dan yangitu tercermin dalam berbagai gelar yang disandangnya. Secara teori, pemimpin Utsmaniyah hanya bertanggung jawab kepada Allah dan syariat-Nya yang mana dia adalah pelaksana dari syariat tersebut.
 
Meski pemimpin Utsmaniyah secara teori adalah pemimpin absolut, pada kenyataannya, pengaruhnya terbatas pada beberapa hal. Keputusannya sangat dipengaruhi oleh [[Wangsa Utsmaniyah|anggota penting dinasti]], para pejabat, pihak militer, dan pemuka agama.<ref name="Ottoman Institutions">[[#Gla96|Glazer 1996]], "Ottoman Institutions"</ref> Mulai akhir abad keenam belas, sebagian besar kewenangan pemimpin Utsmaniyah dalam pemerintahan mulai dialihkan kepada wazir agung (setara perdana menteri). Para wanita dalam harem istana, biasanya ibu suri ([[valide sultan|''valide sultan'']]) atau permaisuri ([[haseki sultan|''haseki sultan'']]) juga menjadi salah satu pihak paling berpengaruh dalam memandu kebijakan pemimpin Utsmaniyah. Pada masa yang disebut sebagai [[Kesultanan Wanita]], para wanita harem bahkan memiliki pengaruh sangat besar dalam pemerintahan dan menjadi penguasa dari balik tirai.<ref>{{cite web | first = Leslie | last = Peirce | authorlink = Leslie P. Peirce | title = The sultanate of women | url = http://www.channel4.com/history/microsites/H/history/e-h/harem.html | archiveurl = https://web.archive.org/web/20071203045546/http://www.channel4.com/history/microsites/H/history/e-h/harem.html | publisher = [[Channel 4]] | archivedate = 2007-12-03 | accessdate = 2009-04-18}}</ref>
 
== Gelar ==
Baris 37:
Bersama sultan, para pemimpin Utsmaniyah juga menggunakan gelar khan di belakang namanya (misal, Sultan Suleiman Khan). Khan adalah gelar bagi pemimpin bangsa Turki yang berasal dari Asia Tengah. Salah satu tokoh terkenal yang juga menggunakan gelar ini adalah [[Jengis Khan]]. Penggunaan gelar ini menunjukkan keterikatan Utsmaniyah dengan para pendahulu mereka yang berasal dari Asia Tengah.<ref name=":0"></ref>
 
Gelar yang sering digunakan di kalangan masyarakat Utsmaniyah sendiri untuk merujuk pemimpin mereka adalah ''[[Padisyah|padişah]]'' (پادشاه, dibaca pa-di-syah)<ref>{{cite magazine | last = M'Gregor | first = J. |date=July 1854 | title = The Race, Religions, and Government of the Ottoman Empire |magazine=The Eclectic Magazine of Foreign Literature, Science, and Art | volume = 32 |page=376 | publisher = Leavitt, Trow, & Co. | location = New York | oclc = 6298914 | url = https://books.google.com/?id=1MYRAAAAYAAJ&printsec=toc#PPA376,M1 | accessdate = 2009-04-25}}</ref> yang berarti '[[kaisar]]'. Hal ini sebagai pernyataan bahwa status Utsmaniyah berada di atas kerajaan sebagaimana status kaisar berada di atas raja. Gelar ini diadopsi dari bahasa Persia dan mulai digunakan pada masa Sultan [[Mehmed II]].
 
Setelah penaklukan Konstantinopel pada 1453, Sultan Mehmed II juga menyandang gelar ''Kaysar-i-Rûm'' atau 'Kaisar Romawi'. Gelar ini menyatakan bahwa para pemimpin Utsmaniyah adalah pewaris dari Kekaisaran Romawi. Sultan Mehmed II juga menyatakan dirinya sebagai pelindung bagi Gereja Ortodoks.
Baris 44:
 
=== Sebagai pemimpin dunia Islam ===
Pemimpin Utsmaniyah juga menyandang gelar [[khalifah]] yang merupakan gelar bagi pemimpin dunia Islam. Gelar ini mulai diklaim oleh Murad I, meski pada saat itu Wangsa Abbasiyah yang berada dalam perlindungan [[Kesultanan Mamluk (Kairo)|Kesultanan Mamluk Mesir]] masih menyandang gelar khalifah secara resmi. Setelah penaklukan Kesultanan Mamluk oleh Utsmaniyah pada tahun 1517 di masa Sultan Selim I, Wangsa Abbasiyah menyerahkan gelar khalifah kepada pemimpin Utsmaniyah. Dengan ini, pemimpin Utsmaniyah secara simbolis berperan sebagai pemimpin dunia Islam, meski bukan pemimpin dalam artian kepala negara seluruh dunia Islam karena semua negara Islam memiliki pemimpin berdaulatnya sendiri.
 
Pada keberjalanannya, gelar khalifah tidak digunakan oleh pemimpin Utsmaniyah hampir selama dua abad sampai Utsmaniyah kalah perang dengan [[Kekaisaran Rusia]] yang saat itu dipimpin oleh [[Yekaterina II dari Rusia|Maharani Yekaterina II]]. Dalam Perjanjian Küçük Kaynarca (1774) antara Utsmaniyah dengan Rusia, pemimpin Utsmaniyah kemudian menggunakan statusnya sebagai khalifah (bukan sebagai sultan) untuk menegaskan kepemimpinan relijiusnya atas umat Muslim di Rusia.<ref>{{cite encyclopedia | editor = Glassé, Cyril | encyclopedia = The New Encyclopedia of Islam | title = Ottomans | url = https://books.google.com/books?id=focLrox-frUC&printsec=frontcover#PPA349,M1 | accessdate = 2009-05-02 | year = 2003 | publisher = AltaMira Press | location = Walnut Creek, CA | isbn = 978-0-7591-0190-6 | oclc = 52611080 | pages = 349–351}}</ref> Ini adalah pertama kalinya di masa Utsmaniyah, gelar khalifah digunakan di luar batas Kesultanan Utsmaniyah dan diakui oleh pihak Eropa.<ref name="Cambridge">{{cite book |title=The Cambridge History of Islam I: The Central Islamic Lands |year=1970 |publisher=Cambridge University Press |language=tr}}</ref> Gelar ini lebih sering digunakan dan lebih nyata pengaruhnya pada masa Sultan Abdul Hamid II yang berusaha menyatukan dunia Islam untuk melawan pengaruh Barat yang semakin menguat. Dengan statusnya sebagai khalifah, Abdul Hamid II meminta pihak [[Kesultanan Sulu]] untuk tunduk dengan kekuasaan Amerika demi menghindari konflik yang lebih besar antara Barat dan Islam.<ref name="Akyol2011">{{cite book|author=Mustafa Akyol|title=Islam without Extremes: A Muslim Case for Liberty|url=https://books.google.com/books?id=2mRXt7NtFhEC&pg=PA159&dq=Straus+Sulu+Ottoman&hl=en&sa=X&ei=cmQZU8hTpvDRAebrgJgM&ved=0CEQQ6AEwAw#v=onepage&q=Straus%20Sulu%20Ottoman&f=false|date=18 July 2011|publisher=W. W. Norton|isbn=978-0-393-07086-6|pages=159–}}</ref> Kerjasama yang tercipta antara angkatan bersenjata Amerika dan Kesultanan Sulu tidak lain adalah bujukan Khalifah Utsmaniyah kepada pihak Kesultanan Sulu.<ref name="Moskin2013">{{cite book|author=J. Robert Moskin|title=American Statecraft: The Story of the U.S. Foreign Service|url=https://books.google.com/books?id=pc5FAQAAQBAJ&pg=PA204&dq=Straus+Sulu+Ottoman&hl=en&sa=X&ei=cmQZU8hTpvDRAebrgJgM&ved=0CEoQ6AEwBA#v=onepage&q=Straus%20Sulu%20Ottoman&f=false|date=19 November 2013|publisher=St. Martin's Press|isbn=978-1-250-03745-9|pages=204–}}</ref>
Baris 51:
 
== Daftar sultan ==
Tabel di bawah ini berisi informasi para sultan Utsmaniyah, juga kalifah Utsmaniyah, diurutkan berdasarkan kronologi. [[Tughra]] adalah lambang atau tanda kaligrafi yang digunakan oleh para sultan Utsmaniyah yang dituliskan pada semua dokumen resmi dan uang koin, dan lebih melambangkan sang sultan daripada portret sang sultan. Kolom "Catatan" berisi informasi mengenai orangtuahal danpaling nasibmenonjol dalam masa pemerintahan tiap sultan.

Pada Bilagenerasi pemerintahanawal, seorangbiasanya sultanada tidakjarak berakhirantara mangkatnya sultan lama dengan kematianpelantikan wajarsultan yang baru. Hal ini karena para pangeran ditugaskan untuk memerintah provinsi di luar ibukota sebagai bekal untuk menjadi sultan, alasannyasehingga ditandaipara denganpangeran tersebut membutuhkan waktu dari tempat pelatihannya menuju ibukota untuk dilantik menjadi sultan yang baru. Setelah masa kekuasaan Sultan Ahmed I, para pangeran tidak diberi tugas memimpin sebuah daerah yang jauh, tetapi ditempatkan cetakdi tebalistana.<!--For earlier rulers, there is usually a time gap between the moment a sultan's reign ended and the moment his successor was enthroned. This is because the Ottomans in that era practiced what historian Quataert has described as "[[survival of the fittest]], not eldest, son": when a sultan died, his sons had to fight each other for the throne until a victor emerged. Because of the infighting and numerous [[Fratricide|fratricides]] that occurred, a sultan's death date therefore did not always coincide with the accession date of his successor.-->
{| class="wikitable" style="width:100%; text-align:center;" border="1"
|-