Hubungan luar negeri Indonesia: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Ahmaditya Irsyad (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Ahmaditya Irsyad (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Baris 2:
'''Hubungan luar negeri [[Indonesia]]''' mengacu pada doktrin yang dicetuskan oleh [[Mohammad Hatta]] dengan konsep "bebas dan aktif" yang bertujuan untuk memposisikan Indonesia dalam komunitas internasional sebagai pemecah masalah dan menjaga hubungan kekuatan-kekuatan internasional lainnya. Kebijakan yang kemudian diterapkan oleh Departemen Luar Negeri Indonesia pada masa Presiden Soekarno ini diterjemahkan dengan adanya [[Konferensi Asia–Afrika]] di [[Bandung]], [[Jawa Barat]] yang mengajak 29 partisipan negara untuk memerdekakan diri dari kekuatan kolonialisme dan imperialisme, serta menggalang kekuatan baru yang bernama New Emerging Forces untuk mengimbangi dinamika perang dingin yang terjadi saat itu, namun kebijakan ini sendiri seiring pada perkembangannya dilanggar oleh Presiden Soekarno yang saat itu mulai menunjukkan kecenderungannya pada negara-negara blok timur dan beraliran kekirian dengan membentuk poros Jakarta-[[Phnom Penh]]-[[Hanoi]]-[[Beijing]]-[[Pyongyang]] serta mengambil langkah konfrontatif dengan negara tetangganya [[Malaysia]] dengan melancarkan gerakan [[Konfrontasi Indonesia-Malaysia|ganyang Malaysia]]. Kebijakan bebas aktif rasa konfrontasi ini berlanjut pada saat penyelenggaraan acara olahraga berskala internasional, [[GANEFO|Games of New Emerging Forces]] di [[Jakarta]] pada tahun 1963, untuk menyaingi [[Olimpiade Tokyo 1964]], dimana ditemukan unsur politis yang melatarbelakangi [[Komite Olimpiade Internasional]] melarang Indonesia untuk ikut dalam Olimpiade di Tokyo tahun 1964 atas upaya Indonesia melarang masuk atlet [[Israel]] dan [[Taiwan]] untuk mengikuti penyelenggaraan [[Asian Games 1962]], pada akhirnya kebijakan luar negeri Indonesia yang konfrontatif ini setelah munculnya peristiwa [[G30S]] pada tahun 1965 yang berujung pada penurunan Soekarno sebagai Presiden.
 
Pada era Orde Baru yang dipimpin Presiden [[Soeharto]], Indonesia memulai proses normalisasi hubungan bilateral dengan [[Malaysia]] dengan menunjuk [[Thailand]] sebagai mediator perdamaian antara kedua belah pihak yang menghasilkan Perjanjian Bangkok 1966 yang menjadi dasar perbaikan kembali hubungan dan Indonesia juga mulai membubarkan organisasi internasional era orde lama yang terlalu membebani kebijakan luar negeri Indonesia. Pada masa ini, Indonesia sangat berperan aktif dan bebas dibanding Presiden terdahulu dengan adanya pemetaan prioritas kebijakan luar negeri dengan nama lingkaran konsentris. Pemetaan prioritas ini bertujuan untuk mengetahui mana saja negara yang termasuk dalam radar regional hubungan luar negeri Indonesia, hal ini dilakukan agar dapat mewujudkan kepentingan nasional bangsa Indonesia, sekaligus sebagai strategi untuk dapat mewujudkan kepentingan nasional melalui menjalin kerjasama dengan negara yang ada di dunia.<ref>Asep Setiawan. ''Politik Luar Negeri Indonesia''. [pdf] Online tersedia dalam: <nowiki>https://www.academia.edu/15831465/Politik_Luar_Negeri_Indonesia</nowiki></ref> Hal ini diwujudkan dengan adanya organisasi multilateral seperti [[ASEAN]] yang beranggotakan Indonesia, [[Singapura]], [[Malaysia]], [[Thailand]] dan [[Filipina]]. Indonesia tidak hanya menyeru, tetapi bahkan berperan dalam berbagai diplomasi perdamaian internasional berupa pelibatan TNI sebagai pasukan penjaga perdamaian PBB di [[Kamboja]], [[Vietnam]], [[Sudan]] dan [[Libanon]], tidak hanya itu saja, Indonesia sekaligus juga menjadi mediator perdamaian antara MNLF dan pemerintah Filipina. kebijakan luar negeri Indonesia berkembang signifikan pada sektor perekonomian, dimana Indonesia berhasil mengadakan kerjasama ekonomi bilateral yang bertujuan untuk meningkatkan hpendapatanpendapatan dari sektor ekspor yang kemudian diperkuat dengan pencetusan [[APEC]]. Namun, kebijakan luar negeri yang dijalankan oleh presiden Soeharto juga sempat melenceng ketika Indonesia diminta oleh [[Amerika Serikat]] berserta negara-negara lain di blok barat untuk menginvasi [[Timor Leste|Timor Timur]] melalui [[operasi seroja]] pada tahun 1975 untuk membendung kebangkitan Fretilin didaerah situ dan terkuaknya [[Sengketa Sipadan dan Ligitan]] yang tidak terselesaikan seusai turunnya Presiden Soeharto akibat perbedaan landasan hukum atas kedua aturan alur batas laut yang digunakan kedua negara dari jaman kolonialisme Inggris terhadap Malaysia dan Belanda terhadap Indonesia .
 
Namun, kebijakan luar negeri yang dijalankan oleh presiden Soeharto juga sempat melenceng ketika Indonesia diminta oleh [[Amerika Serikat]] berserta negara-negara lain di blok barat untuk menginvasi [[Timor Leste|Timor Timur]] melalui [[operasi seroja]] pada tahun 1975 untuk membendung kebangkitan Fretilin didaerah itu yang berujung pada lepasnya Timor Timur menjadi negara merdeka dibwah Presiden Habibie seusai diumukannya referendum tidak dapat dielakkan karena sejak awal Timor Timur tidak mengehndaki adanya aneksasi sebagaimana kekuatan blok barat tersebut inginkan dan menguaknya [[Sengketa Sipadan dan Ligitan]] serta penjualan aset negara berupa BUMN dibawah kesepakatan antara IMF dan pemerintah Indonesia ke publik seusai turunnya Presiden Soeharto akibat kegagalannya dalam menangani krisis monenter tahun 1997 ditambah dengan keterpaksaan Indonesia untuk di''bail out'' oleh IMF dengan syarat tidak membiayai proyek seperti [[N-250]] dan mobnas, menjadi bahan konsumsi publik yang liar dengan tidak didasari atas kredibilitas informasi yang dapat dipertanggungjawabkan yang mengakibatkan munculnya misinterpretasi masyarakat terhadap Presiden Indonesia ke 5 saat itu, [[Megawati Soekarnoputri]] dituduh oleh "fakta" bahwa Ia telah menjual BUMN dan kedua pulau tersebut sebagai dasar untuk membenarkan "ketiadagunaan reformasi" yang digerakkan oleh jajaran anti-reformasi yang masih berada dalam pos pemerintahan. Padahal, dalam kenyataannya sengketa tersebut muncul akibat perbedaan landasan hukum atas kedua aturan alur batas laut yang digunakan kedua negara dari jaman kolonialisme Inggris terhadap Malaysia dan Belanda terhadap Indonesia yang akhirnya diputuskan oleh Mahkamah Internasional bahwa kedua pulau tersebut berhak dimiliki oleh Malaysia. Sementara itu, Presiden Soeharto dan Presiden IMF saat itu, Michael Camdessus menyepakati penjualan BUMN sebagai syarat pembayaran atas pinjaman IMF, karena tidak layaknya APBN saat itu untuk membayar pinjaman tersebut.
Setelah Soeharto mengundurkan diri tahun 1998, pemerintah Indonesia mempertahankan garis besar kebijakan luar negeri Soeharto yang moderat dan independen. Banyaknya masalah di dalam negeri tidak berhasil mencegah presiden-presiden selanjutnya untuk bepergian ke luar negeri serta partisipasi Indonesia dalam panggung internasional. Invasi ke [[Timor Leste]] oleh Indonesia pada bulan Desember 1975, aneksasinya tahun 1976, serta referendum kemerdekaan Timor Leste dari Indonesia pada bulan Agustus 1999 memperkuat hubungan Indonesia dengan komunitas internasional. Dalam menjalankan kegiatan politik internasional, Indonesia melakukan cara yaitu dengan melakukan kerjasama dengan negara yang ada di dunia, sehingga Indonesia membuat konsep Lingkaran konsentris politik luar negeri. Sebelum membentuk konsep lingkaran konsentris politik luar negeri, terdapat beberapa dasar yang menjadikan Indonesia menjalin kerjasama dengan beberapa negara di dunia. Dasar tersebut antara lain, ideologi, ekonomi, politik, dan keamanan. Dalam dasar ideologi, Indonesia menjalin kerjasama antar negara Asia-Afrika dimana negara tersebut adalah negara yang anti kolonialisme dan menjunjung tinggi perdamaian dunia. Keseriusan Indonesia yaitu ditunjukkan pada saat Indonesia berada pada pimpinan Soekarno, Indonesia merupakan negara yang melopori KAA (Konferensi Asia Afrika).<ref>Suryadinata, L., 1998. Faktor-Faktor Determinan Politik Luar Negeri Indonesia: Mencari Penjelasan. ''Politik Luar Negeri Indonesia di Bawah Soeharto''. Jakarta: LP3ES, pp. 7-27.</ref> Selanjutnya, dalam dasar wilayah, Indonesia memprioritaskan kerjasama pada kawasan negara Asia Tenggara dan membentuk organisasi yaitu ASEAN. Dan yang terakhir adalah, dasar keamanan dan ekonomi. dalam dasar tersebut Indonesia menjalin kerjasama dengan China dan Amerika Serikat karena dianggap dapat diandalkan untuk bekerjasama dan dapat memberikan keuntungan bagi Indonesia dan dapat menjadikan Indonesia menjadi bangsa yang kuat dan dapat bersaing dengan negara lain.
 
Setelah Soeharto mengundurkan diri tahun 1998, pemerintah Indonesia tetap menjalankan garis besar kebijakan luar negeri Soeharto yang moderat dan independen. Banyaknya masalah di dalam negeri, semapat membuat beberapa Presiden tidak mampu memanfaatkan momentum yang terjadi di komunitas internasional. Namun, dibawah pemerintahan Presiden RI ke 7, [[Joko Widodo]]. Indonesia merubah cara pendekatannya terhadap dunia internasional dengan memprioritaskan 3 hal, pertama, penguatan kedaulatan wilayah dengan penetapan Indonesia sebagai poros maritim dunia yang menjadikan Indonesia sebagai pusat kemaritiman dunia abad 21 yang didukung oleh kestabilan dan keamanan wilayah yang didukung oleh peningkatan armada militer dan pembangunan wilayah ekonomi baru didarah 3T (Terdepan, Terluar dan Tertinggal), memperdalam kualitas dan memperluas pengawasan serta perlindungan terhadap warga negara Indonesia di luar negeri dengan meingkatkan pos kekonsuleran diplomatik dan terakhir, meningkatkan kerjasama ekonomi secara bilateral dan kawasan dnegan dimulainya
 
== Peran aktif Indonesia dalam komunitas internasional ==